DAY 05: KESAN PERTAMA

64 5 0
                                    

ADNAN ternyata membawaku ke perpustakaan. Selama perjalanan ke perpustakaan, ada aura berbeda yang ku rasakan dari laki-laki itu. Adnan berjalan di depanku dengan penuh percaya diri. Tubuh tinggi yang menggendong tas dengan salah satu bahunya membuat laki-laki yang baru ku kenal ini terlihat seperti seorang karakter utama dala cerita fiksi.

Aku dan Adnan memilih meja lesehan dengan karpet yang terletak di sudut perpustakaan. Di mana tempat ini adalah salah satu tempat favoritku ketika berkunjung ke perpustakaan demi membaca novel.

"Kita mau bahas apa?" tanyaku langsung saat kami mendaratkan tubuh di atas karpet.

Adnan terlihat mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah buku tulis berwarna merah. "Gue mau minta pendapat lo soal materi buat debat nanti."

"Debat?" ucapku bingung. Apa lagi ini?

"Sebelum maju di kampanye nanti, semua kandidat OSIS bakal ikut debat buat memastikan apakah mereka siap maju ke kampanye atau nggak," jelas Adnan.

Bibirku membulat sebagai tanda pemahaman. Setelahnya, laki-laki itu menyodorkan buku tulisnya, menyuruhku untuk membaca materi-materi yang sudah dibuatnya. Sesekali Adnan juga bertanya tentang pendapat dan masukan.

Setiap berbicara dengan laki-laki ini, tiba-tiba aku merasa canggung. Mulai dari ucapannya, intonasi suaranya, responsnya, sangat mencerminkan sifat orang cerdas seperti stereotip orang-orang. Berbeda denganku, ia justru terlihat percaya diri dengan setiap gagasan yang ia sampaikan. Tak jarang aku merasa takut tiap berbicara dengannya.

"Ngomong-ngomong, kayaknya gue baru pertama kali ngeliat lo. Muka lo asing," ucapnya disela-sela sesi diskusi kami.

Keningku mengerut seketika. Padahal, beberapa hari yang lalu kami bertemu di kantin dan berebut pie buah.

"Kecuali di kantin waktu itu," lanjutnya dengan nada datar.

"Gue anak baru," jawabku singkat. "Baru tiga bulanan di sekolah ini."

Ia terlihat mengangguk samar walau kepalanya tertunduk menatap kertas-kertas di atas meja. "Sorry buat yang waktu itu."

Akhirnya ia ingat juga kejadian tempo hari. "Sebenernya masih kesel, sih, tapi ya udah. Nggak penting juga."

Adnan tidak menjawab. Ia diam sejenak, tatapannya tajam, seolah sedang menilai sesuatu. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka suara dengan nada yang sedikit datar. Namun, berhasil mengintimidasiku. "Lo bener-bener siap buat terlibat di OSIS, kan?"

Perkataannya berhasil membuat kedua mataku menyipit, bertanya-tanya dengan maksud apa laki-laki itu bertanya demikian. Aku menjadi calon bagian dari OSIS saja karena ide gila Amara. Bagaimana bisa aku menjawab pertanyaan itu? "Maksudnya gimana, tuh?"

Adnan masih menatapku dengan tatapan tajamnya. "Perjalanan kita buat jadi ketua dan wakil OSIS itu bakal panjang. Gue nggak mau lagi ada yang mengundurkan diri atau apa lah.

"Kalau lo nggak siap untuk itu, lebih baik lo pertimbangkan lagi," lanjutnya.

Ucapannya terdengar begitu pedas, membuat nyaliku sedikit menciut.

"Jangan salah tangkap maksud gue," ucapnya seperti bisa menilai mimik wajahku. "Gue cuma berharap kita bisa saling kerja sama dengan baik. Gue percaya lo dipilih karena suatu alasan."

"Gue paham, kok" ujarku. "Gue usahain semampu gue."

Hari pun berganti menjadi semakin sore. Jam kunjungan perpustakaan pun nyaris habis. Petugas perpustakaan pun sudah memperingati kami untuk lekas meninggalkan area penuh buku-buku itu. Aku dan Adnan memutuskan untuk menyudahi diskusi singkat hari ini dan bergegas keluar dari perpustakaan.

On the Day We Call It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang