20 Andai Saja

968 187 119
                                    

"Mas, makasih..." Lala mengucapkan dengan begitu lirih.

"La..." Dony meregangkan pelukannya supaya bisa melihat wajah Lala. Perempuan itu tersenyum tipis, tapi ironis.

Dony mengamati tubuh perempuan itu tidak menggigil seperti sebelumnya. Mungkin sudah lebih hangat karena sudah ganti pakaian dan masuk ke sleeping bag. Seperti aneh, Dony pun bertanya, "La, apa yang kamu rasain?"

"Kesemutan..." jawab Lala lirih.

Dony kembali khawatir, dia memeluk Lala lagi. Mencium wajah perempuan itu. Fase darurat belum berakhir. Saat Lala tidak banyak bergerak sepertinya tubuhnya tidak lagi memproduksi panas, sementara perempuan itu masih kedinginan dan lemas. Dengan energinya yang tersisa, Lala mengucap lirih namun cukup terdengar oleh tiga orang lainnya, "Maaf ya..."

Perjalanan dari basecamp Bambangan menuju puskesmas hanya sekitar 20 menit. 20 menit yang terasa sangat lama bagi Dony, juga bagi Nyoman dan Satria. Apalagi setelah ucapan maaf yang Lala sampaikan, perempuan itu tidak lagi merespon kalimat-kalimat Dony. Baik kalimat pertanyaan, sampai kalimat perintah yang Dony paksakan, tidak mendapat jawaban.

"La! Bangun, La!" Berkali-kali kalimat pendek ini menjadi perintah Dony pada Lala, tapi tanpa respon. Dony panik bukan kepalang. Laki-laki yang tidak menyukai suara keras bahkan sampai mengungkapkannya dengan sangat keras. Berharap telinga Lala bisa mendengar apa yang dia katakan.

Kalimat singkat yang begitu mengiris hati, Nyoman dan Satria terdiam dan terpaku, tidak bisa berkata apa-apa.

Dony hanya berpegang pada napas Lala yang masih terasa meski tipis dan pendek-pendek. Banyak harapan yang Dony letakan pada setiap hembusan napas Lala yang lemah itu.

Puskesmas Karangreja menyambut dengan dingin, tapi sudah ada beberapa orang yang bersiap di depan pintu masuknya. Ada sebuah brankar yang sudah siap. Beberapa orang berpakaian putih-putih, serta beberapa orang lagi mengenakan kaos berwarna orange. Seorang laki-laki yang memakai kaos orange sepertinya cukup sibuk, HT di tangan kanannya, sementara tangan kirinya menggenggam Hp. Sepertinya orang itu yang lebih dulu menghubungi puskesmas bahwa ada keadaan darurat.

Lala langsung dibawa menggunakan brankar ke Ruang Gawat Darurat (RGD). Dony berjalan cepat ikut mendorong brankar itu. "La... Lala..." ucap Dony terus di dekat Lala yang sudah tidak mampu merespon lagi.

Para tenaga kesehatan langsung memberikan penanganan pada Lala dengan sigap. Mungkin mereka sudah terbiasa menangani orang yang sakit di gunung. Jadi sudah tahu apa yang mesti mereka lakukan.

Seorang tenaga kesehatan dengan kertas di atas papan di tangan kirinya menarik Dony dari dekat brankar Lala. Meminta keterangan. Dony menjawab sebisanya. Orang itu menuliskan setiap informasi yang Dony berikan. Setelah itu Dony diminta untuk menunggu di luar supaya tidak mengganggu penanganan karena Dony sedari tadi terus memanggil nama Lala.

Dony akhirnya menurut, membiarkan Lala diurus oleh yang lebih mengerti. Dia keluar ruangan lalu mendudukan diri di lantai di depan RGD itu. Kakinya terlipat di depan dadanya. Tangannya juga terlipat di atas lututnya. Kepalanya menunduk sampai keningnya bersandar pada tangan itu. Ada perasaan tidak enak yang menggerogoti hatinya. Tidak hanya karena hal-hal yang sudah dia lakukan, tapi juga untuk hal-hal yang tidak dia lakukan. Menyesal.

Rasanya Dony juga ingin menyalahkan Lala, andai saja Lala tidak terlalu emosi. Andai saja Lala tidak berkeras hati. Andai saja perempuan itu mau mengerti.

Tapi Dony lebih banyak menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja Dony tidak menyetujui renjana Bianglala untuk naik gunung. Andai saja Dony lebih matang persiapannya, Lala tidak akan seperti ini. Dia melewatkan menyiapkan beberapa barang untuk kondisi darurat, seperti selimut thermal atau hot pack yang harganya tidak seberapa. Padahal Dony tahu Lala tidak tahan terhadap dingin.

Renjana Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang