21 Masa Lalunya

723 140 55
                                    

Mobil hitam bongsor milik Satria berjalan pelan meninggalkan Karangreja. Dari jendela sisi kanan terlihat Gunung Slamet masih setia di tempatnya. Agung dan tetap misterius. Perjalanan menuju temanggung hanya diisi obrolan antara Harwan dan Satria. Obrolan yang cukup membantu Satria untuk tidak mengantuk.

"Pancen sok kados niku biasane, milih mboten pamit. Daripada pamit tapi mboten diijinaken, malah mengkin wonten nopo-nopo," ucap Satria. Dia menjelaskan perkara anak yang memilih tidak meminta izin, daripada minta ijin tapi tidak diizinkan dan malah takut terjadi sesuatu. Satria seperti sudah pernah mengalami kejadian serupa.

"Koyo ngene iki?" Seperti ini? Tanya Harwan.

"Lala sanjang nek pun matur kalih njenengan," Satria memberi penjelasan kalau Lala mengatakan sudah bilang ayahnya. Sedikit pembelaan.

"Deknen mung ngomong, dudu pamit, yo gak entuk. Bahaya, cah wedok kok aneh-aneh," timpal Harwan membenarkan kalau Lala memang bilang, bukan izin. Tapi Harwan tetap melarang karena bahaya, kelakuan anak perempuan, kok aneh-aneh.

Satria tidak menanggapi lagi. Seluruh mobil menyimak obrolan Harwan dan Satria. Kecuali Lala yang tidur, juga Nyoman dan Dony yang hanya mendengarkan, mereka tidak paham apa yang Satria dan Harwan bicarakan.

"Belok tengen, mengko omahe nang tengen. Cete ijo," ujar Harwan memberi petunjuk pada Satria, belok kanan, nanti rumahnya di sebelah kanan, catnya hijau.

"Nggih, Pak," jawab Satria.

Tak lama mereka sampai di rumah Asih dan Harwan. Satria memarkir mobilnya di halaman rumah bercat hijau. Di depan rumah sudah ada Yu Sam dan Agus menunggu dengan cemas. Dua orang yang membantu Asih memproduksi bolu cukil.

Harwan turun terlebih dahulu dari mobil. Diikuti Satria dan Nana serta Asih. Lala dibangunkan perlahan, lalu Harwan dan Asih membantunya turun. Menuntunnya masuk ke rumah. Nana melipat kursi yang didudukinya supaya Dony dan Nyoman bisa keluar.

"Makasih, Na," ucap Nyoman manis sekali. Tiga pemuda itu masih berdiri di dekat mobil. Sementara Harwan dan Asih sudah masuk ke dalam rumah memapah Lala.

"Masuk dulu, Mas," tawar Nana, memandang Nyoman saat itu.

"Ehm..." Nyoman menatap Dony. Lelaki itu pemegang keputusan saat ini.

Dony bingung, bimbang yang paling parah. Tetapi di sana belum tentu dia diterima. Langsung pulang juga kurang sopan. Ah, kalau menuruti keinginan hatinya, dia maunya terus disana, menemani Lala. Memastikan keadaannya. Bahkan menunggu sampai Lala sembuh kalau perlu. Tapi apa daya, dia yang sedang dianggap sebagai orang salah di sini.

"Mas Dony lagi ribut sama Mbak Lala?" Tanya Nana, ceplas-ceplos seperti biasanya. Tapi kali ini tampak serius, tidak menggoda ataupun bercanda. Dia tidak mendapat jawaban dari Dony. Nyoman dan Satria juga tidak mau menjawab.

"Ehm... Na... boleh nggak kalau..." Dony membuka suara, tapi kalimatnya tertahan, dia ingin minta izin menemui Lala sebelum beranjak dari rumah itu. Adik Lala selalu bisa diajak bekerja sama.

"Na... ajak masuk dulu!" Suara Asih, memberi perintah dari pintu rumah. Lanjutnya, "Buatkan minum dulu."

Kehadiran Asih menjeda obrolan Nana dan yang lainnya. Tiga laki-laki itu belum juga bergerak dari tempatnya, saat Harwan keluar dari pintu yang sama. Ayah Lala itu berucap tegas, "Kalian pulang saja, istirahat."

"Mas..." Asih mau menyela.

"Mereka mesti yo kesel, Dek. Dari pada ono korban meneh," timpal Harwan beralasan, tidak ingin ada korban lagi, karena dia tahu kalau tiga laki-laki itu juga lelah.

Renjana Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang