15 Celakanya

1.1K 164 159
                                    

"Yang, sarung tanganmu mana?" Tanya Dony pada Lala saat mau turun dari puncak.

Dony sedang mau mengenakan sarung tangannya sendiri. Tapi kemudian melihat tangan Lala malah telanjang.

"Ini aku kantongin. Basah, Mas. Dingin. Makanya tadi aku buka," jawab Lala.

Dony menghela napas. Sepertinya tadi pagi Lala lebih banyak memegang rumput atau tanah yang basah karena embun pagi. Itu yang menyebabkan sarung tangannya basah. Dony melepas sarung tangan yang baru terpakai satu miliknya. Kemudian menyerahkan ke Lala. Perjalanan turun nanti lebih butuh sarung tangan untuk pemula seperti Lala.

"Mas?"

"Pakai, Yang."

"Kamu?"

"Nggak papa..." jawab Dony sambil memakaikan  sarung tangan itu ke Lala.

Satria dan Yono sudah melewati batu beteng. Nyoman baru saja menuruninya. Dony mengkode Lala untuk turun duluan. Dony berjaga untuk menjadi pegangan Lala di atas. Di bawah beteng, Nyoman juga sudah siap membantu Lala.

Setelah melewati batu beteng, mereka harus berjuang untuk menuruni lereng puncak yang berbatu dan berpasir. Mereka harus sangat berhati-hati. Salah langkah bisa membuat tergelincir atau terperosok.

Tadinya Lala berpikir kalau turun akan lebih mudah, tidak sepenuhnya salah. Energinya tidak sebanyak ketika naik, tapi tingkat hati-hatinya harus lebih ekstra. Tidak hanya perkara memilih langkah, tapi harus bisa mengerem saat langkah kelewat cepat. Kadang Dony melangkah lebih cepat, dan bersiap menahan Lala yang bergerak cepat juga.

Lautan awan sudah tidak terlihat saat mereka turun, digantikan kabut tipis yang terlihat bergerak naik. Yono menjadi penunjuk arah karena jarak pandang yang sedikit berkurang. Tidak boleh terlalu ke kanan karena mengarah ke jalur Gunung Malang. Juga tidak boleh terlalu ke kiri, karena di sana ada jurang. Saat turun bersama pendaki lain, teriakkan batu menggelinding lebih sering terdengar.

Satu jam 'menggelundung', mereka sudah sampai di Pos Plawangan. Banyak pendaki yang beristirahat di sana. Mereka juga beristirahat, sekejap saja. Hanya untuk minum, kemudian melanjutkan turun lagi.

Menuju Pos VIII, waktu tempuhnya jauh lebih cepat, hanya butuh sekitar 20 menit mereka sudah sampai ke samyang Jampang. Selama perjalanan Lala begitu senang melihat banyaknya tanaman edelweiss yang pagi tadi tidak terlihat olehnya. Dia senang berfoto di sana sini. Melihat Edelweiss adalah salah satu tujuannya naik gunung.

Nyoman juga, dia memotret banyak bunga itu. Mendambah koleksi fotonya. Dony juga asyik bermain dengan kamera pocketnya. Masturbasi, seperti biasanya.

Satria menunggu teman-temannya dengan duduk santai di batang tumbang, memandang kejauhan yang samar. Terhalang kabut tipis. Kadang kabut itu menipis dan hilang, tapi kemudian datang lagi dengan lebih tebal. Suasana yang khas di gunung. Berkabut, sementara matahari tetap terik. Satria menghirup napas dalam-dalam, seolah bercumbu dengan alam. Atau merasakan yang tak tersampaikan. Entah.

"Mas Yono, Jampang itu apa?" Tanya Lala sambil menunggu Nyoman yang masih sibuk dengan bunga edelweiss. Pertanyaan sederhana yang menarik Satria dari lamunannya.

"Rumput, Mbak. Itu, rumput Jampang namanya," jawab Yono sambil menunjuk sejenis rumput.

"Itu ya yang bikin gampang kebakar kalau panas banget?" Tanya Satria.

"Iya, Mas," Yono menjawab singkat.

"Kebakaran?" Tanya Lala memastikan kalau dia tidak salah dengar.

Dony mendekat ke arah Lala, meminta botol minuman yang dari tadi digenggam perempuan itu. Dia mengangkat alis, bertanya pada Lala, penasaran apa yang mereka obrolkan. Tapi Lala tidak menjawab, perhatiannya lebih ke cerita Yono.

Renjana Bianglala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang