Hari pertama masuk sekolah SMA adalah hari yang ditunggu-tunggu hampir semua murid. Penyebabnya adalah adanya semangat karena ingin bertemu dengan teman baru, penasaran dengan guru serta mata pelajarannya, atau bahkan tidak sabar untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler.
Hal yang sama juga dirasakan Alysa. Namun, hatinya bercampur dengan kecemasan. Meskipun ia sangat ingin belajar dan bertemu teman baru, tetapi perlakuan tentang orang-orang saat dirinya kecil membuatnya khawatir serta gelisah sepanjang malam.
Alysa bangun pagi-pagi, menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya, dan cepat-cepat mandi sebelum berangkat ke sekolah. Di ruang keluarga, ia duduk bersama orang tuanya, Maria dan Jonathan yang memberikan dukungan penuh sambil memberinya kekuatan
"Alysa sayang. Hari pertama pasti membuatmu gugup, ya, tetapi ingat. Kamu adalah anak istimewa. Percaya diri dan nikmati hari ini," ucap Maria.
"Kamu harus percaya diri, Alysa!" Jonathan memegang pundak Alysa.
Tangan Alysa bergerak dalam bahasa isyarat. "Bagaimana kalau mereka menertawakan kekuranganku, Bu?"
Maria segera mengelus pipi Alysa, memberikan ketenangan. "Kami ada untukmu. Selain itu, ada guru-guru yang bisa kau andalkan jika merasa kesulitan! Kau harus berangkat sekarang sebelum terlambat."
Alysa tersenyum lebar, dirinya merasa tenang. Beberapa saat berlalu dan kini dirinya sudah tiba di depan gerbang sekolah. Rasa tegang itu kembali saat dirinya melihat banyak murid lapangan. Beberapa ada yang mengobrol, tertawa bersama, dan sibuk membaca papan pengumuman.
Alysa menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menenangkan diri sambil mengingat nasihat orang tuanya. Ia memantapkan langkah kakinya dan terus berjalan. Namun, Alysa terhenti saat seorang murid laki-laki berdiri di depannya dan secara cepat menggenggam tangannya.
"Wajahmu sungguh menawan. Apakah kamu jelmaan seorang bidadari?" kata lelaki itu, "jika sekolah ini adalah padang pasir, maka kau adalah adalah sumber mata air yang menenangkan."
Alysa merasakan malu mendalam saat mendengar pujian yang tiba-tiba dari murid laki-laki itu. Wajahnya memerah hebat, merasa semua orang di sekitarnya memperhatikan momen tersebut di tengah lapangan yang ramai. Hatinya berdebar kencang karena tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini, terutama pada hari pertamanya di sekolah baru. Perasaan malu itu membuatnya ingin segera menyembunyikan wajahnya atau menghilang dari sorotan publik.
Sialnya. Laki-laki di depannya tidak berhenti dan terus mengatakan omong kosong.
"Sepertinya pertemuan kita telah ditakdirkan! Kau tidak perlu mengatakan apa pun, biar aku yang mewakili isi hatimu! Aku mencin-"
Tiba-tiba, sebuah buku tebal menghantam kepala laki-laki itu dari belakang. Suaranya cukup keras sampai-sampai laki-laki itu terhuyung ke depan.
"Siapa orang yang berani mengganggu momen bahagiaku! Aku akan memberinya pelaj-"
Belum sempat menyelesaikan kata-kata, pria itu langsung ciut ketika matanya bertemu dengan sosok di depannya.
Wanita paruh baya dengan wajah tegas serta mata melotot tajam memperlihatkannya. Namanya Emilia, guru matematika yang terkenal galak di sekolah. Rumor-rumor menyeramkan terus menyebar tentang kekerasan dan kedisiplinan beliau di antara para murid. Rumor paling terkenal adalah guru itu akan tetap masuk mengajar meskipun hujan, badai angin, gunung meletus, atau bahkan gempa bumi sekalipun.
"Apa yang akan kau berikan kepadaku, Arnold?!" kata Emilia dengan mata melotot, "mengganggu murid baru di hari pertama dan menggombal di tengah lapangan? Apa ini kelakuan seorang pelajar!?"
Arnold dengan kesadaran penuh berlutut, bersujud memohon ampunan kepada Ibu Emilia. "Ampun, Buk! Saya hanya bercanda! Ampuni saya!"
Hal itu jadi tontonan menarik anak-anak lainnya dan mereka tertawa. Namun, semuanya terhenti ketika Emilia memelototi mereka semua dan suasana berubah menjadi keheningan.
"Itu tidak lucu, Arnold!" Emilia berkacak pinggang. "Setiap tindakan ada konsekuensinya. Sekarang pergi ke toilet laki-laki dan bersihkan sampai mengkilap!"
"Saya rela melakukan apa saja, tetapi jangan ke sana, Bu! Baunya sangat menyengat, kotor, dan ada rumor tentang hantu di sana, menakutkan!" Arnold memohon sekuat tenaga.
"Tidak ada protes! Cepat kerjakan!" Intonasi Emilia mulai naik.
Arnold tidak menyerah, ia memberanikan diri untuk berkata, "Saya akan memberikan puisi yang indah jika Ibu menarik hukuman saya." Arnold menggenggam erat kedua tangannya. "Oh Ibu Emilia! Wajahmu bagai rembul-"
Emilia benar-benar kehabisan kesabaran. Ia mengepal kuat tangannya dengan mata berkilat merah. "Dasar kepala batu! Aku akan menambah hukumanmu jika tidak pergi sekarang!"
Arnold mulai berdiri, kemudian berlari karena tidak bisa membujuk Ibu Emilia. "MAAFKAN SAYA!"
Alysa sedari tadi hanya menunduk dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia sangat senang bisa lepas dari situasi aneh ini. Namun, hatinya terus berdebar kencang, canggung, dan keringat dingin terus mengucur.
Emilia mendekati Alysa. Ia sedikit khawatir dengannya. "Apakah kamu baik-baik saja, Nak?"
Namun, Alysa terlalu gugup. Detak jantungnya semakin cepat, napasnya tersengal-sengal, dan pandangannya mulai kabur. Belum sempat menjawab, tubuhnya ambruk di tanah. Beruntung Emilia sigap menangkapnya.
😎😎😎
Hai, Readers. Mohon bantuannya, ya. Untuk vote dan komennya. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.
Ah, sekedar informasi
Font miring tebal-> dialog isyarat.
Font miring-> dialog hati
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice
RomanceBerbicara adalah hal umum yang biasa dilakukan oleh orang-orang. Namun, itu adalah hal yang paling sulit untuk Alysa Evelyn. Ia memiliki kekurangan untuk berbicara. Sederhana saja, ia bisu sejak lahir. Alysa Evelyn hidup dalam kesunyian karena kekur...