#2

34 13 15
                                    

Akhirnya Alysa sadar setelah beberapa saat berlalu. Perlahan ia membuka mata, merasakan udara dingin yang menerpa kulitnya. Pandangannya mulai fokus dan ia melihat ke kiri. Matanya menangkap beberapa poster kesehatan di dinding, rak berisi obat-obatan, dan beberapa peralatan medis yang tersusun rapi.

Perasaan ini tidak asing. Pasti ini UKS. Aku pasti pingsan di lapangan tadi. Apa yang orang-orang pikirkan tentangku? Rasanya menyebalkan kalau diingat-ingat. Ah! Kenapa harus di hari pertama, memalukan sekali! Sebentar, orang sakit tidak mungkin ditinggal sendiri. Pasti ada seseorang di sini.

Alysa memutar bola matanya ke kanan, mendapati seorang murid laki-laki duduk di dekatnya. Rambutnya hitam tertata dengan gaya two block.

Laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponselnya seperti bermain game. Alysa bisa menerka karena posisi ponselnya miring dan jari-jarinya bergerak cepat.

Tiba-tiba, laki-laki itu mengangkat pandangannya dari ponsel dan mata mereka bertemu. Alysa bisa melihat dengan jelas wajahnya yang terbilang tampan. Ia berkulit putih, hidung mancung, dan bibir tipis. Namun, Alysa sedikit terpaku pada matanya yang tajam, berwarna cokelat gelap yang kadang tertutup oleh rambut di dahinya.

Alysa mengalihkan pandangannya ke segala arah, memastikan apakah ada orang lain. Namun, hanya ada mereka berdua di dalam, membuat canggung suasana.

Siapa orang ini? Mungkinkah dia yang membawaku? Ah! Kenapa hari pertama aku sudah merepotkan seseorang. Apa dia petugas UKS? Harusnya ada pembeda antara petugas dan murid biasa seperti syal atau logo seperti yang pernah kulihat di SMP. Namun, dia tidak memilikinya. Apa pun itu, sekarang aku harus berterima kasih kepadanya.

"Kau akhirnya sadar juga." Lelaki itu berdiri, mengambil segelas air dari dispenser dan menyerahkannya kepada Alysa. "Minumlah, kau pasti haus."

Alysa menerima gelas itu dan minum. Rasanya segar di tenggorokan yang kering. Ia melihat lelaki itu menatapnya dengan cermat, seolah ingin memastikan bahwa dirinya sudah baik-baik saja.

"Apakah kau merasa pusing atau sakit di bagian tertentu?" tanyanya.

Alysa diam, otaknya mengingat kejadian memalukan yang ia alami hari ini. Namun, lelaki itu melanjutkan pertanyaan. "Apakah kau sedang stres? Ya, seperti memikirkan hal berat belakangan ini?"

Alysa tetap diam, kali ini ia mengeraskan genggamannya pada gelas karena teringat tatapan semua orang di lapangan tadi.

"Ah, maaf. Sepertinya aku terlalu banyak bertanya dan mengganggumu, ya," ujarnya sembari menggosok belakang kepala, "aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Sekali lagi maaf!"

Alysa tersentak mendengar perkataan laki-laki itu. Tubuhnya terkejut diikuti oleh tarikan napas yang tiba-tiba.

Gawat! Aku mengabaikannya! Apakah dia marah atau merasa tidak enak atas sikapku? Ini tidak seperti yang kau pikirkan! Sebentar, aku mendengar suara langkah kaki mendekat.

Pendengaran Alysa tidak salah. Seorang siswi masuk, kali ini membawa atribut pengenal seperti syal yang menandakan dia bertugas di UKS. Lelaki yang menjaga Alysa perlahan berdiri dan bersiap meninggalkan Alysa karena kedatangan siswi tersebut. Sebelumnya, siswi itu memintanya berjaga sebentar selama dirinya pergi.

Kepanikan merayapi Alysa saat melihat laki-laki itu menjauh, dadanya berdebar-debar diikuti mata yang memohon karena tidak sempat berterima kasih. Ia ingin mendekat, tetapi kakinya terasa lemas karena baru sadar. Terlebih, karena kekurangan yang dimilikinya, ia tidak bisa menarik perhatian laki-laki itu. Namun, ia tidak menyerah begitu saja.

Masih ada cara lain! Tunggu sebentar, jangan pergi dulu!

Alysa merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mendapatkan pulpen serta buku. Sayangnya, lelaki itu hilang dalam pandanganya, meninggalkan kekecewaan.

Andai saja aku tidak melamun, pasti kesalahpahaman ini tidak terjadi. Aku juga tidak tahu namanya dan tidak sempat berterima kasih. Kekurangan ini selalu menghambat saat situasi genting! Menyebalkan sekali! Sekarang dia pergi begitu saja. Apa yang harus kulakukan!?

Mata Alysa terpaku pada pintu UKS yang baru saja tertutup, menyisakan perasaan mengganjal dan kecewa. Namun, kekecewaan Alysa tidak berhenti di sana. Kali ini seorang siswa dengan syal yang sama datang dan berkata, "Namamu Alysa, kan? Orang tuamu datang menjemput dan akan sampai sebentar lagi."

Bola mata Alysa membesar, tidak percaya akan apa yang ia dengar. Kenapa? Sejak kapan pihak sekolah memberitahu orang tuaku? Harusnya pihak sekolah mengkonfirmasi denganku, memastikan apakah bisa melanjutkan sekolah atau tidak! Ah, semuanya berantakan.

Alysa menunduk, menahan perasaan yang bercampur aduk. Ia tidak ingin pulang. Hari pertama sekolah seharusnya menjadi babak baru kehidupannya, mengenal lingkungan, dan mendapatkan teman baru. Namun, semua kejadian hari ini menghancurkan harapannya.

Pintu UKS terbuka, kali ini ibunya masuk dengan wajah khawatir. "Alysa, ibu dengar kamu pingsan! Apa sekarang kamu merasa baikan?"

Alysa mengangguk. Namun, hatinya berteriak sebaliknya.

"Kita pulang sekarang, kau harus beristirahat hari ini," kata Maria dengan suara tenang. Alysa ingin menolak, tetapi wajah khawatir ibunya membuat dirinya tidak bisa melunak. Dengan berat hati ia melangkah pergi meninggalkan sekolah.

Alysa hanya diam sepanjang perjalanan, menatap keluar jendela mobil. Langit yang tadinya ceria kini menjadi kelabu, seperti suasana hatinya yang buruk.

Sesampainya di rumah, Alysa langsung masuk ke kamar, dan membenamkan wajahnya di bantal. Ia tahu, besok adalah hari baru. Namun, rasa malu dan kecewa tidak bisa hilang begitu saja. Alysa juga penasaran kepada laki-laki di UKS tadi.

Maria mengetuk pintunya dan masuk. "Alysa, kita harus bicara sebentar."

Alysa menghela napas panjang, tangannya bergerak dengan gemetar. "Semua orang melihatku pingsan. Pasti mereka menganggapku lemah dan aneh. Memalukan!"

Alysa tidak menjelaskan soal laki-laki yang menggodanya. Ia tidak ingin bermasalah lebih jauh. Maria menggenggam tangan Alysa. "Sayang, hal tidak terduga sering kali muncul dan tidak sesuai dengan kemauan. Kau tidaklah lemah dan aneh."

Lagi-lagi tangan Alysa bergerak. "Hari pertamaku masuk sekolah hancur! Bahkan tidak sempat bertemu dengan teman baru."

"Aku mengerti perasaanmu, Aylsa," kata Maria, "tetapi kesehatanmu lebih penting. Hari ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Namun, masih ada hari esok untuk memulainya. Anggap saja permulaan. Kau anak yang kuat. Istirahatlah."

Setelah ibunya pergi, Alysa langsung membuka tasnya, mengambil buku serta pulpen. Ia menaruh benda itu di meja belajar dan menatap halaman dari buku kosong.

Alysa mulai mengingat kembali wajah laki-laki yang menjaganya di UKS. Berbekal ingatan seadanya, tangannya bergerak, membuat sketsa wajah laki-laki terlihat jelas. Meskipun tidak sempurna, gambar itu setidaknya mendekati ingatannya.

Alysa mengangkat buku itu ke atas. Rasanya aneh, ini pertama kali aku menggambar laki-laki. Gambar ini cukup jelas. Setidaknya ini bisa membantu untuk mengingat dan menemukannya untuk mengucapkan terima kasih. Semoga kami bertemu besok.

😎😎😎

Bagaimana cerita kali ini, Readers? Yah, kuharap kalian menyukainya.
Ah, jangan lupa vote dan komennya, ya😎

Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang