Keesokan harinya, Alysa bangun lebih cepat dari sebelumnya. Maria terkejut, putrinya sudah ada di dapur dengan wajah penuh semangat dan siap membantu. Alysa memang sering membantu menyiapkan makanan. Namun, kali ini sangat pagi dan membuat Maria bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
"Apa yang membuatmu bersemangat hari ini, Alysa? Apa itu ada hubungannya dengan teman barumu?" tanya Maria lembut.
Alysa mengangguk dan menggunakan bahasa isyarat setelahnya. "Alysa ingin membantu ibu menyiapkan bekal. Selain itu, hari ini ada jadwal piket."
Senyum hangat Maria terpancar, perlahan ia berjalan mendekat. "Bagaimana kalau bekal hari ini roti isi?"
Alysa kembali mengangguk, kali ini penuh semangat. Tujuan utamanya memang membantu, tetapi lebih dari itu, ia ingin belajar membuat bekal sendiri agar nanti lebih bervariasi. Alysa sendiri bukan gadis yang pilih-pilih makanan. Baginya, apa pun yang disediakan sang ibu, pasti istimewa karena dimasak sepenuh hati.
Mereka mulai menyiapkan bahan dari lemari es. Daging, sayuran, dan roti mulai dikeluarkan. Setelahnya, mereka membagi tugas. Maria memotong sayuran sedangkan Alysa merapikan lembaran roti serta memasak daging. Alysa terlihat berhati-hati, menunjukkan betapa inginnya membuat bekal yang sempurna sekaligus belajar.
"Kau melakukannya dengan baik, Alysa. Hati-hati di jalan, ya," ucap Maria.
Alysa memasukkan makanan ke kotak bekal dan memulai sekolahnya. Udara masih sangat dingin, membuat gadis itu menggosok-gosok kedua tangannya.
Leon sudah memberiku hal baik kemarin, sekarang aku harus membalasnya.
Beberapa saat berlalu, kini Alysa sudah memasuki gerbang sekolah. Ia benar-benar menjadi yang pertama sampai dan bergegas menuju kelasnya yang yang berada di atas tangga.
Gadis itu langsung melaksanakan piket setelah sampai di kelas. Diawali dengan merapikan setiap kursi serta meja, kemudian membersihkan papan tulis, dan diakhiri dengan menyapu lantai. Semuanya dikerjakan dengan cepat.
Alysa berjalan menuju meja guru. Ia melihat sekeliling kelas yang kini sudah rapi dan bersih.
Hasil kerjaku sangat memuaskan. Sekarang kelas ini siap menyambut pelajaran. Karena aku sudah piket pagi, berarti tidak piket lagi saat pulang.
Ekspresi wajah Alysa menunjukkan kepuasan. Tangannya membuat pose layaknya kamera, seolah-olah memotret, dan tiba-tiba Leon datang dari pintu tepat saat Alysa mengarahkannya ke sana.
Leon berhenti sejenak di ambang pintu, menggosok matanya yang masih mengantuk. "Kau sedang apa, Alysa? Ini masih sangat pagi dan kau sangat bersemangat."
Alasan Leon hari ini mengantuk karena dirinya begadang bermain game. Bagi pecinta game ini adalah hal normal. Leon bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, tenggelam dalam dunia yang ia cintai. Terlebih, jika ada event-event menarik yang membuatnya semakin sulit meninggalkan permainan.
"Pagi, Leon. Kau kemarin tidur jam berapa?" Inilah yang tertulis di buku Alysa.
"Jam empat," kata Leon malas. Saat ini dirinya sedang duduk dan berhadapan dengan Alysa.
Alysa sedikit terkejut, mengingat kenangan buruk ketika begadang. Ia dimarahi habis-habisan saat ketahuan dan barang-barangnya disita selama beberapa hari, membuatnya jera. Namun, ia tahu itu adalah bentuk kasih sayang orang tuanya.
Alysa menatap Leon sejenak sebelum menulis lagi. "Sebaiknya hentikan kebiasaan buruk itu. Tidak baik untuk kesehatan, wajahmu terlihat kusam saat ini."
"Kau mengkhawatirkanku, ya?" tanya Leon, suaranya kecil seakan berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice
RomanceBerbicara adalah hal umum yang biasa dilakukan oleh orang-orang. Namun, itu adalah hal yang paling sulit untuk Alysa Evelyn. Ia memiliki kekurangan untuk berbicara. Sederhana saja, ia bisu sejak lahir. Alysa Evelyn hidup dalam kesunyian karena kekur...