#6

26 7 18
                                    

Semua murid dipulangkan cepat sama seperti hari kemarin. Sinar matahari yang terik menyapu halaman sekolah ketika para murid berhamburan keluar kelas. Begitu juga dengan Leon, lelaki itu mengemasi barang-barangnya lalu menghampiri Alysa.

"Sesuai perkataanku tadi. Ada yang ingin kuperlihatkan padamu, Alysa," ujar Leon dengan antusias.

Alysa mengangguk, isi hatinya penuh dengan rasa penasaran dan antusiasme tinggi. Mereka turun ke bawah dan melewati lorong-lorong sekolah. Leon sesekali berjalan lebih cepat. Namun, tetap memastikan agar Alysa tidak tertinggal.

Gudang sekolah, itulah tempat yang ada di depan mereka sekarang. Pintunya sedikit usang, berkarat, dan catnya mulai terkelupas. Suara pintu berderit mulai terdengar saat didorong, menambah rasa penasaran Alysa kenapa harus ke tempat seperti ini.

Aroma khas ruangan yang jarang dibuka menyeruak, sangat berdebu, dan banyak perabotan sekolah yang rusak di sana. Namun, fokusnya bukan ke situ. Seekor kucing putih tampak mengeong dengan tali berwarna merah di leher, bulunya lebat, dan bermata biru berkilau. Kucing itu terlihat mengeong saat Leon mendekat.

Leon berjongkok, mengelus kepala kucing itu. "Inilah yang kumaksud," katanya dengan suara rendah, "aku menemukannya saat perjalanan ke sekolah. Sepertinya ini punya orang lain. Aku tidak ingin dia terlantar, jadi aku membawanya ke sini, untungnya tidak ada yang melihat karena sangat pagi."

Alysa berlutut di samping Leon, ikut menyentuh bulu kucing dan dibalas oleh jilatan menggelikan pada telapak tangannya. Gadis itu gemas sendiri, bisa dibilang ia ingin mengasuh hewan ini. Namun, Alysa bisa merasakan rasa bersalah jika dirinya yang kehilangan peliharaan, pasti rasanya gelisah dan tidak karuan.

Tangan Alysa menulis cepat di buku. "Kita harus menemukan pemiliknya. Kucing ini pasti dirindukan seseorang. Aku paham niat baikmu. Namun, kenapa kau harus repot-repot seperti ini, Leon?"

"Kau tahu, terkadang kebaikan yang kita berikan kepada orang lain bisa berbalik kepada diri sendiri." Jempol Leon terangkat. "Tidak ada salahnya begitu, Alysa."

Senyum Alysa mengembang. Ia menyukai sisi Leon yang memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Namun, ada sesuatu yang mengganggu mereka.

"Ehem!"

Suara itu terdengar jelas, bernada intimasi, dan memecah kesunyian dalam gudang. Baik Alysa dan Leon saling memandang, tatapan mereka seolah berkata, "Kita akan menoleh dalam satu ... dua ... tiga."

Ternyata itu adalah Ibu Emilia. Guru yang pernah menolong Alysa dan terkenal killer sedang memantau mereka dengan mata tajam, menyiratkan kecurigaan mendalam karena mereka hanya berdua di sini. Gudang biasanya tempat yang dihindari murid. Namun, melihat mereka di sini terdapat perasaan janggal. Terlebih, Ibu Emilia sangat paham apa yang akan terjadi jika hanya ada wanita dan laki-laki dalam satu ruangan.

"Kalian berdua ikut ke kantor guru, sekarang!" Emilia menunjuk mereka dengan suara tegas.

Keduanya diselimuti rasa cemas dan takut. Namun, Leon menggeleng kepalanya beberapa kali untuk melawan rasa takutnya.

"Tunggu, Bu. Ini tidak seperti yang Anda pikirkan," ujar Leon membela diri.

"Jangan protes. Kalian pikir aku tidak pernah muda!?" Emilia berbalik dan bersiap ke ruang guru.

Leon mencoba melawan kesalahpahaman, meskipun dalam hati ia masih merasa ketakutan. "Kami menemukan seekor kucing, Bu. Kami hanya ingin merawatnya sambil mencari pemiliknya."

Emilia berbalik. Dengan alis terangkat ia mulai mendekati mereka berdua. Benar saja, di belakang Alysa ada seekor kucing putih dengan tali merah di lehernya. "Lihatlah. Kami tidak berbohong," kata Leon.

VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang