Lelaki itu diam beberapa detik, otaknya mencoba merespon karena melihat wajah perempuan di sebelahnya. Ia akhirnya mengingat dengan mata yang membesar.
"Kau gadis di UKS yang waktu itu! Kita ternyata sekelas!" ujarnya.
Entah mengapa, rasanya waktu seperti melambat. Dilihat dari mana pun. Lelaki ini sama persis seperti apa yang Alysa gambar di buku catatan malam itu.
"Ah, maaf! Aku sepertinya terlalu berlagak akrab lagi, sepertinya hal itu mengganggumu sampai kau tidak bicara apa pun." Lelaki itu menggaruk bagian belakang kepalanya.
Bagaimana bisa bicara kalau aku bisu. Ya ampun! Laki-laki ini sungguh tidak memperhatikan perkenalan tadi! Kalau guru tahu, pasti ia akan dimarahi. Yang terpenting, aku harus meluruskan kesalahpahaman ini. Aku tidak mau dicap gadis sombong karena tidak berbicara.
Laki-laki itu keheranan karena Alysa tiba-tiba memberikan gestur untuk diam. Ia kemudian mengambil buku catatan dan menulis dengan cepat. Namun, belum sempat ia menyodorkan buku, guru menegur mereka.
"Yang di belakang tolong perhatikan baik-baik!"
Laki-laki itu seakan membeku, sementara Alysa menunduk dengan perasaan malu. Selain itu, tatapan beberapa murid kepada mereka semakin membuat tegang situasi.
Untungnya, hal itu tidak berlangsung lama. Suasana normal kembali dan Alysa bisa lega. Ia mencatat materi secara cermat dan mendengar penjelasan guru dengan seksama. Namun, Alysa beberapa kali melihat lelaki di sebelahnya, ia merasa bersalah atas kejadian tadi.
Seperti pada umumnya. Sekolah di hari kedua tampak lebih santai agar murid baru bisa beradaptasi dengan situasi serta lingkungan. Selain itu, masih belum ada kepastian tentang susunan jadwal mata pelajaran. Selesai memberikan penjelasan, guru itu membagi tugas piket dan melakukan pemilihan ketua kelas. Setelah guru keluar, hanya ada kekosongan beberapa jam sebelum akhirnya murid dipulangkan. Hari yang sangat singkat untuk Alysa. Namun, ia sangat senang karena bisa menyelesaikannya meskipun ada sedikit masalah.
Satu per satu murid meninggalkan kelas. Namun, Alysa tidak bergeming dari kursinya. Ia sibuk menatap laki-laki di sebelahnya yang sedang memainkan game. Menit demi menit berjalan. Saat ini hanya ada mereka berdua dan laki-laki itu mulai beranjak pergi. Alysa sengaja memilih di waktu sepi. Ia ingin berkomunikasi tanpa seorang pun yang melihat.
"Kau tidak pulang?" tanya laki-laki tersebut.
Alysa membalas dengan anggukan. Ia beranjak dari kursinya dan bergerak ke tempat laki-laki itu yang berada di depan papan tulis.
"Apa yang mau kau lakukan dengan dengan itu?" Laki-laki itu terheran-heran saat Alysa mengambil kapur.
Tangan Alysa bergerak, membuat rangkaian kata di papan tulis. "Namaku Alysa Evelyn. Aku bisu. Terima kasih sudah membawaku ke UKS kemarin."
"Eh!" Mata laki-laki tersebut membesar. Wajahnya menunjukan ekspresi bersalah serta merasa malu. "Maaf! Aku tidak tahu. Aku mengira kau tidak nyaman denganku sehingga tidak berbicara apa pun. Maaf!"
Alysa menggeleng, perasaanya lega karena kesalahpahaman berakhir. Ia menulis kembali di papan tulis. "Aku senang kita sekelas. Bisa beritahu namamu? Kuharap kita menjadi teman akrab."
Laki-laki itu menggaruk kepalanya. "Namaku Leon Nathanael. Kau bisa memanggilku Leon."
Tangan Alysa menulis lagi. "Aku senang. Orang bisu sepertiku bisa mendapat teman. Aku minta maaf karena membuatmu ditegur guru"
Leon tersenyum lebar, kali ini ia menulis di papan tulis seperti Alysa. "Tidak masalah. Daripada disebut bisu, aku lebih suka menyebutnya unik. Senang bertemu denganmu, Alysa."
Alysa tersentak, otaknya berpikir keras akan sesuatu.
Unik? Apa maksudnya? Aku tidak bisa menyimpulkan apakah itu pujian atau ejekan. Tunggu dulu! Perasaan apa ini? Rasanya ada kehangatan di hatiku. Aku tidak pernah mendapat teman karena kekurangan ini. Apa mungkin ini perasaan hangat karena mendapat teman? Atau ada yang lain? Aku akan memikirkannya nanti, sekarang harus fokus ke depan.
Mereka saling berpandangan kemudian tertawa kecil. Dengan cara yang unik, keduanya berkenalan lebih dalam melalui kapur dan papan tulis sebagai media komunikasi. Setiap coretan dan goresan kapur menambah keseruan hari itu.
"Jadi, Leon. Kau sepertinya suka bermain game. Apa kau ada hobi yang lain?" Tulis Alysa.
Leon tersenyum. Ia menulis balasannya di papan tulis. "Aku suka menggambar. Bagaimana denganmu, Alysa?"
Alysa menulis balasan. "Aku juga suka menggambar. Mungkin aku bisa memperlihatkan hasilnya kepadamu."
"Aku menantikannya, Alysa." Leon tersenyum.
Alysa mengangguk dengan senyuman lebar. Ia merasa senang karena mendapat teman yang satu hobi.
Kuharap hal-hal baik seperti ini akan terus berdatangan.
Kelas itu menjadi saksi bisu berawalnya cerita mereka berdua. Leon sama sekali tidak keberatan berkomunikasi seperti ini, malahan dirinya merasa senang karena ini pengalaman baru.
Waktu berlalu cepat dan tidak terasa sudah jam dua belas. Mereka menghabiskan dua jam di dalam kelas. Alysa dan Leon mengambil tas mereka dan keluar kelas bersama-sama.
Mereka berjalan melewati lorong-lorong sekolah yang sepi, menuruni tangga, dan akhirnya keluar dari sekolah. Beberapa waktu kemudian, keduanya berpisah di perempatan jalan.
"Aku menuju ke sana." Leon menunjuk ke kanan. "Hati-hati, Alysa."
Alysa mengangguk dan menulis di buku catatannya. "Pasti! Sampai jumpa besok, Leon."
Alysa berjalan pulang dengan perasaan senang. Pipinya mulai pegal karena senyumnya tidak pernah luntur. Begitu pun saat sampai di rumah, ibunya bahkan merasa Alysa penuh energi positif
"Sepertinya kau senang sekali, Alysa. Bisa berbagi cerita dengan ibu?" tanya Maria.
Alyssa menggunakan bahasa isyarat. "Bisa, Tetapi Alysa akan menceritakannya nanti. Sekarang ingin istirahat dulu."
Alysa berjalan ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang penasaran. Maria sebenernya ingin tahu, tetapi melihat kebahagiaan putrinya cukup membuatnya lega. Ia teringat kembali bagaimana Alysa merasa cemas, khawatir, dan kurang percaya diri karena kekurangannya. Namun, melihat perubahan positif seperti ini membuatnya Maria bahagia.
Setelah menaruh tasnya, Alysa merebahkan diri di tempat tidur. Pikirannya melayang-layang tentang kenangan hari ini. Sangat menyenangkan bisa berkomunikasi dengan begitu alami dengan teman baru.
Beberapa saat berlalu, Alysa beranjak dari ranjangnya dan meraih buku catatannya. Tangannya menari di atas kertas, menuliskan setiap detail yang ia alami hari ini. Di bagian akhir ia menuliskan. "Terima kasih, Leon. Aku mengalami hari yang luar biasa."
😎😎😎
Author harap, kalian suka chapter kali ini.
Tinggalkan jejak, seperti komen dan vote.
see you on the next chapter😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Voice
RomanceBerbicara adalah hal umum yang biasa dilakukan oleh orang-orang. Namun, itu adalah hal yang paling sulit untuk Alysa Evelyn. Ia memiliki kekurangan untuk berbicara. Sederhana saja, ia bisu sejak lahir. Alysa Evelyn hidup dalam kesunyian karena kekur...