Wills : Chapter 4

146 24 6
                                    

Beberapa jam sebelumnya.......

Chan terlihat sangat berantakan saat ini. Telepon mendadak datang dari sang ayah ketika mereka tengah makan siang bersama. Setelah sekian lama Chan bisa mengajak teman-teman satu departemennya untuk makan karena mereka menang melawan perusahaan pesaing dalam pengadilan sengketa tanah. 

Keringat membasahi tubuh lelaki dewasa itu, dirinya kini berjalan cepat menyuduri lorong sebuah rumah makan keluarga khas korea yang menjadi langganan keluarga besarnya. Sembari mengikat dasi, tak jauh di depan sana Chan melihat sosok sekretaris ayahnya. Chan tua pria itu, dia sudah seperti keluarga bagi Chan selama ini.

Sejak kecil Paman Lee sudah bersama ayahnya, mungkin dia adalah salah satu teman sang ayah saat masih muda. Tubuhnya lumayan besar dan kekar, tak seperti ayah Chan yang kurus.

Saat melihat Chan, pria itu langsung menunduk memberikan hormat sembari menyunggingkan sebuah senyuman manis untuknya. Chan membalas sepetuh hati, bagaimana pun dia adalah orang yang lebih tua. Sebenarnya agak canggung diperlakukan demikian oleh orang yang lebih tua.

"Tuan Bang sudah menunggu" katanya dengan hormat. Chan diam sejenak sebelum masuk ke dalam. Dirinya kini berusaha memperbaiki penampilan. Di dalam sana mungkin ada semua anggota keluarga besar Bang.

Pintu dibuka perlahan, seperti yang Chan pikirkan. Semua saudara sang ayah ada dalam. Seperti menunggu seseorang yang penting, Chan menaikan salah satu alisnya. Cukup aneh. Biasanya tak seperti ini.

"Chan duduklah" kata salah satu saudara sang ayah. Chan tersenyum sembari menunduk memberikan hormat. Dirinya lalu duduk tepat di samping ibu yang kini terlihat menampakan wajah cemas.

"Ibu sakit?" Tanya Chan langsung peka. Wanita itu tersenyum kemudian menggengam salah satu tangan Chan.

"Sakit karena mu" suara familiar itu membuat Chan menoleh. Saking ramainya dia tak menyangka jika sang kakak pun hadir. Mata Chan agak terbelakak melihatnya, wanita hamil ini jika tidak salah sudah mengajukan surat cuti hamil nya ke rumah sakit yang juga merupakan salah satu saham keluarga mereka.

Tapi kenapa dia bisa ikut berkumpul dalam acara rapat perusahaan lagi?

"Sudahlah" kata sang ibu menatap anak pertamanya. Wanita itu tersenyum pelan, dia pun mengangguk. Tak bisa disembunyikan wajah semua orang yang ada di sini terlihat cemas dan takut.

"Ini rapat apa?" Tanya si bungsu menatap ke semua orang. Bahkan sepupunya yang masih bayi saja dibawa ikut ke sini. Apa ini rapat keluarga? Tapi apa yang harus dirapatkan?

"Ada sebuah hal yang harus kami bicarakan sebagai keluarga" kata mereka. Chan terkejut, tapi dia pun mengangguk sudah sangat ketara.

"Minho tidak datang? Aiss anak itu, aku akan meneleponnya" kata Chan menatap ke sekeliling. Saat mendengar nama pria manis itu membuat semua orang semakin cemas.

"Chan tidak perlu" kata sang ibu mencegahnya. Chan semakin terkejut, tapi Minho pun juga keluarga bagi mereka. Walaupun pria manis itu bukanlah anak kandung.

"Ibu kenapa? Minho juga kan anak mu" kata Chan terlihat sinis. Seketika aura tempat ini berbeda, semua orang nampak menatap dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Chan entah kenapa langsung ciut dan menaruh kembali ponsel ke saku jas.

"Karena Chan sudah datang aku akan menjelaskan semuanya" pria beruban yang kini menjadi anggota keluarga tertua berbicara. Semua adik-adiknya hanya diam menyimak untuk mendengarkan arahan darinya.

Chan melihat ayahnya mengeluarkan sebuah surat lusuh dari saku jas yang dia kenakan. Pria itu membukanya perlahan untuk membaca isi surat lusuh itu.

"Selain surat wasiat pembagian kekuasaan, ayah juga membuat sebuah wasiat lainnya" katanya. Tak seperti Chan semua orang di sana terlihat tenang seperti sudah tahu apa yang akan mereka bicarakan.

"Surat wasiat ini tentang Lee Minho, anak yang ayah asuh" katanya melanjutkan. Chan entah kenapa menjadi tertarik dan fokus mendengarkannya. Isinya tak berbeda dengan wasiat pembagian harta. Tapi kalimat-kalimat terakhir dalam surat membuat semua orang menegang.

"Aku sangat menyayangi Minho seperti anak ku sendiri. Dia anak yang manis dan baik. Jika bisa, aku ingin selalu melindunginya selama hidup ku. Anak itu mengingatkan aku pada masa lalu, di mana saat pernikahan pertama aku menelantarkan seorang anak hingga dia meninggal kelaparan sebagai pengemis.

Awalnya aku hanya ingin menebus semua kesalahan ku di masa lalu dengan mengasuhnya secara langsung di masa tua ku. Tapi seperti ada sebuah ikatan diantara kami, namun aku sadar aku tak bisa merawat dan menjaganya terus menerus. Aku sudah tua bangka dan mungkin akan segera mati. Jadi aku memercayakan berlian ku ini pada salah satu cucu kesayangan ku, Bang Chan.

Saat aku melihat interaksi Chan dan Minho, aku tahu ketulusan Chan. Walaupun dia adalah anak bungsu yang manja, tapi saat bersama Minho dia punya jiwa seorang kakak yang baik. Karena itu aku pun memutuskan. Aku ingin Chan menikahi Minho untuk menjaganya menggantikan aku. Walaupun aku sedikit egois, tapi aku tidak bisa melepaskan Minho pada pria lain di luar sana. Aku percaya pada Bang Chan cucu ku.

Chan diam sampai tak bisa memikirkan apapun, jujur dirinya sangat syok. Syok sekali sampai tak bisa berkata apa-apa. Kakeknya benar-benar bandit, sampai ingin menikahkan Minho dengan dirinya.

"Jika kau tidak berkenan, tidak usah di paksa Chan. Kakek mu memang suka mengada-ngada" kata sang ayah saat melihat Chan yang terdiam. Semua orang pun menatap Chan saat ini seperti merasakan apa yang dipikirkan oleh sang pria muda.

"Aku hanya ingin menyampaikan surat ini, benda ini tadi pagi ditemukan oleh seorang tukang yang aku panggil untuk memperbaiki rumah Kakek mu. Jadi jika tidak memungkinkan, wasiat ini tak perlu dilaksanakan" katanya. Chan diam, dia kini menunduk kebingungan.

Seketika dia ingat pada mendiang sang kakek, pria yang selalu memanjakan dirinya saat masih kecil. Melindungi Chan dari kemarahan kedua orang tuanya saat semasa muda dan selalu mendukung semua keputusan Chan. Dia bahkan tak pernah meminta apapun dahulu. Katanya dia ingin  Chan menjadi seorang pria yang hebat, hanya itu pesan yang kakeknya selalu katakan.

"Baiklah aku mau" kata Chan agak ragu.

"Chan tidak usah jika tidak mau" kata sang ibu melihat mata Chan yang agak berkaca-kaca. Tapi pria dewasa itu menggeleng.

"Tidak, aku mau menikah dengan Minho" kata Chan untuk kedua kalinya.






______




Minho sangat bersemangat membawa salah satu kopernya turun dari mobil. Sang ayah dan ibu pun membantu pria manis itu saat ini. Pasangan itu cukup heran dengan ekspresi senang dari Minho. Jika mereka menjelaskan semuanya apakah Minho masih akan tersenyum seperti ini?

"Aku merasa bersalah padanya" ucap sang ayah kini menatap sosok manis yang berlari masuk ke dalam rumah Chan sembari menyeret koper. Wanita di sampingnya hanya mengusap bahu si suami, karena dia juga merasakan hal yang sama.

"Aku pun mengerti tapi ini kemauan ayah. Jadi dalam terpaksa pun dia harus menerimanya" kata wanita itu. Keduanya kini ikut membantu Minho membawa semua barangnya pindah ke rumah Chan. Rumah calon suaminya.

"Kak Chan!!!" Teriak Minho ceria saat masuk. Dari semua rumah keluarga Bang. Dia paling suka rumah Chan. Rumah yang minimalis dengan semua fasilitas di dalamnya. Bahkan di sini ada sauna dan bioskop pribadi.

"Minho? Kau sudah datang?" Tanya sesosok pria muda dengan kaos hitam polosnya. Minho tersenyum mendekat dan berdiri di depan kakaknya.

"Iya. Aku akan tinggal di sini, jadi kita bisa terus jalan-jalan kan kak?" Tanya Minho dengan polosnya. Chan tak bisa tidak gemas melihat tingkah laku adiknya ini.

"Benar kau mau tinggal dengan ku?" Tanya Chan sembari mengusap rambut si manis. Minho langsung mengangguk dan memeluk Chan dengan manja.

"Iya tentu, jadi aku tidak akan mengasuh Jeongin hihi" katanya. Chan tertawa mendengarnya, selain akan bebas jajan dan jalan-jalan. Minho pun akan terbebas untuk menjaga Jeongin keponakan mereka.




TBC

Wills [ Banginho ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang