Desakan menikah

1 1 0
                                    

“Bunda! Ayah! Sandra cantik pulang!”

“Sandra!” Satu tarikan di kuping Sandra dari sang bunda yang gemas melihat anak gadisnya pulang dengan berteriak, sukses mendarat.

Sandra mengaduh kesakitan. “Bunda, nanti kalo kupingku panjang kayak kelinci, bagaimana?”

“Salah kamu sendiri! Anak perawan pulang teriak-teriak. Bagaimana ada yang mau melamar?”

Ya, Tuhan! Ini lagi yang dibahas. Sandra membatin, lelah.

Sandra mencium tangan Helena dan Theo, lalu cepat-cepat pamit ke kamar. Itulah caranya menghindari pembicaraan berbau pernikahan.

Ketika berada di dalam kamar, Sandra melempar tas kerjanya. Ia menjatuhkan diri di kasur. Lalu, menatap kedua telapak tangannya lekat. Wajah cantik itu geram.

Sandra mengambil bantal, lalu menaruh di atas muka dan memukul-mukul benda tersebut.

Kesal, marah, dan benci. Semua rasa komplet ditujukan kepada satu nama, Finn Elard. Umpatan pun keluar untuk sang ceo.

“Berengsek!”

“Bajingan!”

“Gila!”

Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas emosi Sandra. Ia duduk di pinggir kasur. Kemudian, mengembuskan napas berat seraya mengusap dada. Mimik wajah langsung diubah agar lebih santai. Bibir ditarik ke kiri dan kanan. Berangkat ....

“Bunda.”

“Sandra, cepat mandi dan turun makan malam.”

“Iya, Bund.”

***

“Tristan lembur lagi, Sandra?” tanya sang bunda.

Meeting, Bund.”

“Sibuk sekali anak itu.”

“Banyak kerjaan di kantor, Bund.”

“Bagaimana kalau Ayah bekerja lagi untuk membantu Tristan?” Theo menyela percakapan.

NO!” Sandra dan Helena kompak menjawab.

Theo mengangkat kedua tangan, menyerah. Satu tahun lalu, ia terkena serangan jantung hingga kolaps. Sejak saat itu, istri dan kedua anaknya tak lagi mengizinkan untuk bekerja. Semua kendali dipegang Tristan dan Sandra menjadi pelengkap untuk membantu.

Usai makan malam, Ayah dan anak itu bercengkerama di ruang keluarga. Sandra memeluk erat Theo dari samping. Ia memang sangat dekat dengan sang ayah.

Bagi Sandra, Theo adalah kekasih pertamanya. Satu-satunya pria yang tak pernah menyakiti atau membentak.

Tiba-tiba, sang bunda datang merusak suasana romantis antara Ayah dan anak. Helena menyelak tempat duduk di tengah-tengah Sandra dan Theo. Bahkan, dengan sedikit memaksa melepaskan pelukan mereka.

“Bunda ....”

“Kenapa? Mau marah sama Bunda?” Helena memotong ucapan Sandra.

Helena sengaja mendudukkan diri di tengah keduanya. Ia ingin menyentil sang putri agar segera menikah.

Sandra menggeleng seraya berpindah tempat duduk. “Aku mana berani.”

“Makanya cari suami. Jadi, bisa ada yang dipeluk. Kalo Ayah punya Bunda, bukan punya kamu.”

Ya, ampun! Punya Bunda begini banget, kenapa jadi kayak ABG? Masa cemburu sama anak sendiri, batin Sandra heran.

Sandra mengadu dengan suara lirih kepada Theo. “Ayah, lihat Bunda mulai lagi.”

“Bunda, nanti juga Sandra menikah. Jangan dipaksa terus,” bela Theo.

“Terus saja bela, Yah. Anak ini sudah besar. Seharusnya cepat menikah. Terus, kapan kamu bawa calon menantu ke rumah ini, Sandra?”

Theo menghela napas. Sebenarnya, bukan hanya Sandra, ia pun lelah dengan permintaan Helena yang hampir setiap hari dilayangkan untuk sang putri. Namun, mau bagaimana lagi. Ibu suri di rumah itu tak suka jika dibantah.

Belum menikah di usia 25 tahun saja, Bunda sudah heboh. Padahal, sekelas Sandra Dewi yang nyaris sempurna saja menikahnya di atas usia 30 tahun. Lihat akibat buah kesabaran menunggu, dapatnya pangeran tampan nan setia. Kali kan aku bernasib seperti itu juga. Enggak masalah nikah lama yang penting dapet suami-able. Nama saja sudah mirip, sama-sama Sandra. Sandra membatin.

“Kakak dulu, Bund. Baru aku,” jawab Sandra.

“Kanaya masih kuliah. Kamu saja dulu.” Helena membalas cepat.

“Mau menikah sama siapa? Pacar saja tak punya?”

“Nanti Bunda jodohkan.”

“Iya, gak papa. Asal tampan, baik hati, penyayang, tanggung jawab, mobilnya banyak, rumah di mana-mana ada, pengusaha, punya harta gak bakal habis tujuh turunan. Pokoknya keturunan konglomerat, dan harus setia.”

“Sandra!” Helena melotot.

“Itu tipeku, Bund. Kalau bunda bertemu pria tersebut, aku pasti langsung mau.” Dan, itu tak akan pernah ada Bunda.

Sandra hanya asal berbicara. Impian pernikahan dan suami ideal baginya cukup sederhana. Tidak harus kaya raya. Asal sang pria pekerja keras, bertanggung jawab, mencintainya, dan setia. Itu saja cukup.

“Tidak usah terlalu banyak memilih. Yang penting punya pekerjaan, bertanggung jawab, dan sayang sama kamu saja, sudah cukup.”

“Bund, aku senang shopping, traveling. Belum lagi hobi-hobiku yang lain. Semua butuh uang banyak.”

“Anak ini! Bikin emosi orang tua saja!” kesal Helena.

Sandra cengar-cengir. Ia pusing setiap hari selalu saja ditodong untuk menikah. Mau mulai menjalin kasih lagi, tetapi masih enggan. Takut jika perselingkuhan kembali terjadi.

Kadang Sandra heran sendiri. Ia merasa dirinya cantik, baik, dan sudah sangat setia. Namun, entah kenapa selalu hubungan asmaranya berakhir mengenaskan dengan bumbu perselingkuhan pula.

Sandra kadang berpikir, harus bagaimana ia menjadi seorang wanita dan kekasih yang baik dan benar. Supaya para lelaki tersebut setia.

Sandra mengembuskan napas lelah. Jodohku, kamu di mana, sih? batinnya nelangsa.

Bloody HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang