Sandra dan Finn akhirnya memutuskan untuk menyudahi acara santai mereka. Masing-masing memberi alasan ada urusan. Tak satu pun di antara mereka yang tertarik untuk bertanya lebih jauh.
Sandra memutuskan langsung ke tempat parkir. Ia melajukan mobil menuju perumahan elite di kawasan Selatan, Jakarta.
Finn tak langsung berangkat karena Roy menelepon.
Dua puluh menit perjalanan, Sandra tiba di lokasi. Mobilnya memasuki pekarangan salah satu rumah mewah tersebut, lalu langsung turun dari kendaraan.
Helena, Diana, dan pemilik rumah terlihat sedang asyik bercengkerama di kursi taman.
Sandra menghampiri dan menyapa, “Sore, Tante.”
Ketiganya menoleh dan tersenyum ke arah Sandra. Hampir semua teman Helena mengenal Sandra. Karena, setiap ada acara arisan, pasti ia yang mengantar jemput sang bunda.
“Anak saya sudah jemput. Jeng Diana mau ikut bareng saja?” ajak Helena.
“Iya, Tante. Nanti aku antar sampai rumah.” Sandra menimpali.
“Terima kasih. Kamu sudah cantik, baik, perhatian lagi. Tapi, anak tante sudah dalam perjalanan menuju ke sini.”
Sandra mengangguk seraya tersenyum.
“Ya, sudah. Jeng Diana dan Jeng Merry, saya duluan pulang, ya,” pamit Helena.
Sebelum pulang, Sandra mencium kedua tangan teman sang bunda.
Sandra, kamu menantu idaman sekali, Nak, batin Diana.
***
Sepanjang perjalanan pulang Helena cemberut.
“Bund, ada apa lagi? Sehabis berkumpul bersama teman itu seharusnya bahagia.” Sandra membuka percakapan.
“Tidak usah mendikte orang tua. Bunda lahir lebih dulu daripada kamu.”
Sandra menghela napas berat. “Iya, Bund. Maaf.”
“Kapan kamu menikah?”
“Enggak ada yang mau sama aku, Bund.”
“Seandainya kamu itu sedikit feminin saja. Bunda pasti percaya diri mengajukan kamu untuk dijodohkan dengan anak Jeng Diana.”
Hah! Perasaan dandananku perempuan banget. Apa karena punya hobi ekstrem, terus dianggap cewek macho, begitu? Bunda, oh, Bunda. Untung aku sayang. Sandra membatin.
“Bunda, kita ini hidup di zaman modern. Memang masih berlaku perjodohan? Kuno, Bund. Atau pria itu tipe yang kusebutkan kemarin?"
“Sandra! Tipe pria kamu itu seribu satu. Susah mencarinya. Sekalinya ada belum tentu mau sama kamu. Perempuan, tetapi gagah. Sebenarnya kamu itu asli wanita atau bukan?”
Ya, ampun! Bunda ucapannya macam netizen nyinyir, pedes pakai banget. Aku ini anaknya atau bukan, sih? Masa menyangsikan keabsahanku sebagai wanita hanya karena hobi berbeda dari perempuan kebanyakan. Padahal, kalau berpakaian layaknya perempuan, kok, batin Sandra, semakin lelah menghadapi sang bunda.
***
“Mi, mau apa? Finn akan belikan.”
Diana membuang muka.
Finn mengembuskan napas lelah. Kemudian, melepas satu tangan dari kemudi dan mengenggam erat tangan sang mami. Ia berucap semakin lembut. “Mi, ada pameran berlian. Kita ke sana, mau? Mami bebas pilih apa pun.”
Diana menghempas tangan Finn. “Jangan pegang-pegang Mami! Dan, tidak perlu merayu. Kalau Mami mau, tinggal minta Papi.”
Finn tidak kehabisan akal. “Mami mau ke salon? Finn bisa menemani.”
“Ke mana saja kamu? Kemarin-kemarin selalu menolak dengan alasan malu pria berada di salon lama-lama.”
Finn memijat pelipisnya. Ia masih mencari ide agar sang mami berhenti merajuk. “Kita shopping, bagaimana? Finn sering menemani Mami, ‘kan?”
Meskipun sering mempermainkan wanita. Akan tetapi, Finn selalu bersikap penuh kasih sayang dan lembut kepada sang mami. Tidak pernah satu kali pun ia berkata kasar atau berbicara dengan nada tinggi.
Kecuali ke salon, memang benar adanya jika Finn sering menemani Diana berbelanja. Bahkan, akan memegang erat tangan sang mami sepanjang menjelajah mal.
“Mami sedang tidak mood shopping.”
“Lalu, Mami mau apa? Sebisa mungkin Finn kabulkan.”
Diana menoleh. “Mami mau kamu menikah.”
Sudah kuduga. Menikah lagi pembahasannya, batin Finn.
“Iya, nanti kalau sudah ada calon, Finn menikah.”
“Mami punya teman arisan. Putrinya sangat cantik, manis, baik, dan perhatian. Tadi baru bertemu. Ingin sekali Mami menjodohkan kamu dengan anak itu.”
“Mami Finn yang cantik. Era modern begini, mana ada wanita yang mau dijodohkan. Sebelum Mami ditolak, lebih baik jangan. Nanti Mami sakit hati.” Itu hanya perkataan asalku saja. Tidak ada sejarahnya wanita menolak Finn Elard. Ah, tunggu. Sandra. Iya, hanya wanita itu yang terang-terangan tidak mau.
“Iya, tentu! Mami juga harus berpikir seribu kali dulu kalau melakukan itu. Secara anak itu gadis baik-baik, belum tentu mau juga sama kamu yang playboy. Heran, dosa apa Mami dan Papi di masa lalu sampai punya anak begini banget!”
Ya, ampun! Mami perkataannya pedas sekali. Untung sayang, batin Finn, lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloody Heart
RomanceLady killer adalah julukan yang tersemat untuk Finn Elard. Sang pencinta wanita bertemu dengan seorang penganut kesetiaan. Satu kata, terpesona. Dorongan rasa ingin memiliki seperti biasa muncul. Kedua paham yang jelas-jelas bertolak belakang. Akank...