Bro and sist goals

1 0 0
                                    

Satu Minggu sudah wajah Finn murung. Bibir seksi yang biasa melengkung ke atas, kini membentuk garis lurus. Bicara pun seadanya. Jika ada yang bertanya, dijawab singkat, selebihnya diam.

Khawatir dengan keadaan sang putra, Diana menghubungi Ramon dan Manda. Ia ingin mengetahui permasalahan apa yang tengah menimpa anak tunggalnya lewat mereka. Sebab, dengannya tak mau terbuka.

“Mami, Manda kangen. Maaf, Marcel gak bisa ikut, sedang di luar kota dan anak-anak sama Mama pergi ke mal.”

“Mami juga kangen. Ya, sudah tak apa.” Terdengar helaan napas dari Diana. “Kapan Mami bisa ajak cucu ke mal juga? Manda, Marcel, rayulah Finn supaya cepat menikah seperti kalian.”

“Iya, Mi. Kita siap menjalankan misi.” Manda mengerling seraya mengangkat jempol.

Diana tersenyum, lalu menatap Ramon. “Grace ke mana?”

“Tadi Grace mau ikut, Mi. Tapi, ada Oma datang. Jadi, hanya bisa titip salam buat Mami. Katanya kangen kue buatan Mami.” Ramon menjelaskan perihal ketidakhadiran sang istri.

“Kalau sudah senggang, bawa Grace kemari. Nanti Mami buatkan yang banyak.”

“Beres, Mi.” Ramon tersenyum.

“Ya, sudah. Langsung saja ke kolam renang. Perjaka tua itu sedang merenung di ayunan. Jangan lupa pesan Mami, suruh Finn cepat menikah.”

“Oke.” Keduanya berbarengan menyahut. Lalu, segera berjalan ke arah di mana Finn berada.

Tanpa bersuara, Manda dan Ramon langsung duduk mengapit Finn.

Finn menoleh ke kiri dan kanan. “Tumben.”

“Mami Diana sedih lihat anak perjaka tuanya banyak melamun. Kata Mami, takut kamu menenggelamkan diri di kolam renang.” Manda berucap asal.

“Katamu, bukan Mami!” sewot Finn.

Manda dan Ramon cekikikan.

“Kenapa satu Minggu ini galau, Finn? Sampai sukses bikin Mami khawatir. Jangan bilang kalau kamu sedang jatuh cinta?” tebak Ramon.

“Iya. Kayaknya, kali ini aku jatuh cinta.”

“NAH!” seru Ramon.

“SURPRISE BANGET!” teriak Manda girang.

Damn it! Berisik!”

Ramon tertawa. “Sorry. Kita syok.”

“Langsung, deh, lamar. Mami pengen banget punya cucu,” ucap Manda.

“Lamar?” tanya Finn dengan wajah bingung.

“Iya, lamar doi. Terus nikah dan punya anak banyak. Tercapai sudah Mami punya cucu.” Ramon mengerling pada Finn.

“Nikah gak semudah itu, Ramon.” Finn memijat pelipis.

“Kamu keseringan kawin tanpa nikah, sih. Jadi, gak tahu nikmatnya bikin anak pas sudah sah. Sensasinya gak kalah!” Ramon berseru.

“Sok tahu! Pergi sana kalian berdua!” usir Finn.

“Diam! Tolong hargai aku sebagai perempuan satu-satunya di sini dong!” Manda melirik Ramon. “Kamu juga, sebagai orang yang paling tua di antara kita dengan selisih usia tiga bulan duluan lahir, seharusnya ucapanmu lebih tertata.”

“Memang enak diomelin Manda. Terus, Mand. Maki saja si Ramon.”

“Tenang, Finn. Sebagai sepupu paling cantik, aku pasti membelamu. Biar pun ucapan Ramon semua adalah seribu persen benar.”

“Manda!” Finn kesal.

Ramon dan Manda tertawa terbahak-bahak.

“Mampus! Lagian, sejak kapan Manda punya sifat belas kasihan sama kita berdua sampai mau membela?”

“Punya sepupu pada sinting!” seru Finn jengkel.

“Ya, sudah. Kita berhenti bercandanya. Sekarang mode serius.” Manda memegang bahu Finn dan mengarahkan tepat di depannya. “Kalau kamu sungguh jatuh cinta? Terus masalahnya di mana?”

Finn mengembuskan napas berat. “Wanita itu gak cari pacar, tetapi suami.”

“Lo, malah bagus dong,” sahut Manda.

“Aku belum siap nikah.”

Ramon langsung memiting leher Finn erat. Ia kesal dengan jawaban sang sepupu yang masih saja lebih senang dengan pergaulan bebas daripada mempunyai istri sah.

“Ramon, tahan! Aku mau ambil golok dulu untuk menebas leher Finn.”

“Cepat! Kita harus segera habisi, nih, orang, supaya berkurang lelaki bejat di muka bumi!” Ramon geram.

Finn memutar bola matanya malas. Ia tak berontak. Pria itu membiarkan kedua sepupunya berbuat sesuka hati. Namun, saat Ramon memelintir lehernya dengan kencang. Barulah sang ceo itu mengaduh kesakitan dan minta dilepaskan.

Finn memegang lehernya dan mengusap dengan tangan setelah Ramon melepas pitingan.

“Sekarang kamu memiliki rencana apa untuk wanita itu?” Manda bertanya.

“Maksudnya?” Finn balik bertanya.

“Katanya jatuh cinta, tetapi kenapa gak mau menikahi doi?”

“Bukan gak mau, tetapi belom siap, Manda. Aku hanya takut saat menikah nanti bikin Sandra sakit hati.”

“Namanya Sandra?” tanya Ramon ingin meyakinkan.

Finn mengangguk. “Sandra beda. Aku takut mempermainkannya saat sudah menikah. Kasihan anak orang nanti.”

“Ya, tobat dong!” seru Ramon.

“Sejak bertemu Sandra, aku sudah gak jalan sama cewek mana pun. Di pikiran ini hanya ada Sandra, Sandra, dan Sandra.”

“Nah, awal yang bagus!” Manda menyahut dengan semangat.

“Kalau sudah menikah terus kumat, bagaimana?”

“Tenang. Kita siap menabur racun di minumanmu, Finn.” Ramon berkata dengan nada santai.

“Setuju,” timpal Manda.

“Eh, apa-apaan kalian berdua?”

“Finn, jalan satu-satunya supaya kamu insaf abadi memang hanya itu, mengirimmu ke alam baka!” Ramon berseru.

Finn berdecak kesal. “Sepupu iblis! Sudahlah. Terus aku harus bagaimana?”

“Kamu pikirkan lagi. Kamu benar cinta atau nafsu semata. Terus, buat rencana tentang masa depan pernikahan versimu sendiri. Mulailah merealisasikan persiapan dari sekarang.” Manda menerangkan.

“Versiku?"

Bloody HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang