UTRAKSA 28

152 18 5
                                    

📍Kediaman Haeron

Suasana tenang dan sunyi menyelimuti gazebo yang berada di halaman belakang kediaman Haeron dikelilingi berbagai tanaman-tanaman hijau, hamparan angin berhembus hingga menelisik ke arah wajahnya. Menghentikan sejenak jemari tangannya dari sebuah senar alat musik yakni ukulele, menatap alat musiknya dengan lekat Kama jadi teringat.

"Wow, ukulele?!" Pekikan senang dari anak laki-laki berumur 13 tahun saat membuka kado. Anak laki-laki itu menatap pria dewasa yakni sang Papa yang tersenyum.

Anak laki-laki itu, Kama memeluk sang Papa dengan senang karena mendapatkan hadiah baru. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke 13 tahun. Kama kecil begitu menyukai alat musik terlebih ukulele, koleksi milik sang kakek yang membuatnya menyukai alat musik tersebut.

"Terima kasih Papa, Kama sayang Papa."

"Sama-sama anak Papa."

Ternyata ukulele ini sudah ada sejak Kama berusia 13 tahun, itu berarti sudah 6 tahun lalu. Kama selalu merawat dan menyimpannya dengan baik. Menurutnya, setiap pemberian hadiah apapun dari seseorang itu adalah bentuk apresiasi yang harus ia terima.

Sebenarnya ada begitu banyak rasa kecewa yang mendalam di hatinya, namum selalu ia abaikan. Ia terlihat seperti tidak peduli, sikap yang ia tunjukan hanya sikap cuek dan dingin.

Dua hari lalu adalah pertemuan pertama kalinya dengan sang Papa setelah 3 tahun berlalu. Jujur saja, tahun pertama sang Papa izin pergi mereka masih berkomunikasi, namun saat mulai memasuki tahun kedua sang Papa hilang kontak. Setelah itu Kama tidak pernah tahu kabar Pradikta—sang Papa.

Flashback on

"Bagaimana kabar mu?"

Kama menatap lekat pria paru baya di hadapannya yang terlihat masih sangat tampan. Sudah lama ia tidak pernah bertemu yang sang Papa.

"Aku baik," balas Kama dengan nada datar.

Pradikta tersenyum simpul. "Kau tidak berubah. Tetap seorang remaja yang kaku dan dingin."

"Kau tidak menanyakan kabar Papa?" tanya Pradikta pada anak tengahnya.

"Untuk apa? Kau sudah ada di hadapan ku dan terlihat sangat baik. Sepertinya aku tidak perlu menanyakan kabar."

"Sopan lah terhadap ku Kama, kau bukan Mahesa yang kurang ajar. Aku, Papa mu," ujar Pradikta menatap tajam sang anak.

Kama memalingkan wajahnya sejenak. Rasa segan, sopan, dan takut itu masih ada di benaknya. Sifat Pradikta tidak beda jauh dari Mahesa, namun Pradikta lebih dari Mahesa.

"Katakan saja apa yang Papa inginkan? Kenapa menghubungi ku?" Kama berusaha untuk tidak peduli dengan sikap yang Pradikta tunjukan.

"Kama, kau tahu bukan? Kau anak kesayangan Papa sedari kecil. Maka dari itu Papa ingin kau tinggal bersama Papa, di Kanada. Papa kemari untuk menjemput mu."

Helaan napas berat dari pemuda itu, ia tidak menyangka bahwa Papa nya akan berkata demikian. Jadi, tujuannya kemari hanya untuk membawanya?

"Aku menolak, aku sudah berkuliah di sini."

Pradikta mengangkat satu alisnya dengan secangkir kopi panas di tangannya dan menyesapnya merasakan ada rasa panas dan pahit secara bersamaan. "Minumlah terlebih dulu. Kau pasti lelah saat perjalanan kemari."

Kama hanya diam tanpa menyentuh minuman yang sudah disajikan dihadapannya. Bahkan rasa untuk menyesap segelas minuman pun tidak ada.

"Papa tidak akan menjelaskannya lagi karena, Mahesa pasti sudah memberi tahu mu tentang perjanjian."

UTRAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang