TERKAPARNYA Si PENGUMPUL ROH (1)

8 0 0
                                    

#spinoff212 #Wiro212 #whatifDepe

Malam masih enggan bergeser, ketika dua sosok bayangan terlihat berkelebat, menyusuri sebuah lereng bukit yang tidak terlalu terjal. Melihat kecepatan gerak mereka, bisa dipastikan bahwa keduanya punya kemampuan ilmu yang cukup tinggi. Di bawah pantulan cahaya bulan, mereka hanya terlihat layaknya dua bayangan yang berkelebat beriringan, masuk ke kawasan sebuah hutan.

"Berhenti, Nduk," ucap sosok yang berlari di depan.

Di sebuah tempat sedikit lapang, mereka berdua menghentikan langkah. Kabut putih yang sebelumnya menyelimuti kaki mereka, menyebar melingkupi dua wanita berkebaya itu. Wanita yang lebih tua memakai kebaya warna hijau bersemu biru, dengan bawahan bergambar gulungan ombak. Sedangkan satunya lagi, memakai kebaya putih dengan kancing besar di bagian depan, serta celana sebatas lutut dengan warna yang sama.

"Ada apa, Guru?" tanya gadis kedua yang ternyata adalah Bunga alias Dewi Bunga Mayat. Sedang wanita yang dipanggilnya sebagai 'guru' adalah Nimas Ageng Nyamat. Penguasa ghaib Lemah Papras.

Sang guru melirik tajam ke arah muridnya itu. Terlihat kurang suka akan sapaan dari cucu angkatnya itu. Sementara wanita yang dipanggilnya 'Nduk' terlihat nyengir kuda. Itu karena perempuan yang bersamanya, sebenarnya lebih senang dipanggil Nyi daripada disebut Guru.

Selepas dari Pekuburan Watuwungkur yang lokasinya tidak begitu jauh dari Kadipaten Sleman, mereka bermaksud untuk pulang ke Lemah Papras.

Setelah beberapa waktu lamanya, sampailah mereka berdua di Hutan Gamblong. Sebuah hutan yang jaraknya masih setengah perjalanan dari tujuan.

"Tidakkah kau mencium bau sesuatu?" tanya Nyi Nimas masih dengan sikap waspada. Ia segera menarik tangan Bunga ke bawah sebuah pohon yang besarnya dua kali sepemelukan tangan.

"Bau sesuatu?" ujar Bunga mengulang pertanyaan gurunya. Terlihat hidungnya kembang kempis mencoba membaui udara tempat di mana mereka berada. "Seperti bau ... bangkai.

Kabut hitam terlihat keluar dari sela-sela pohon dan merayap di permukaan tanah yang perlahan tapi pasti, mendekati dua perempuan guru murid itu. Sang Guru yang_konon, pernah terlibat cinta segitiga dengan Sinto Weni dan Aki Sukri ini, terlihat menarik mundur sedikit kaki kanannya, guna pasang kuda-kuda.
Pun, Bunga. Kedua tangannya mengepal dengan sikap
waspada.

Satu tombak dari tempat berdirinya Nyi Nimas dan Bunga, kabut hitam berhenti bergerak karena tertahan oleh gumpalan putih yang mengitari dua pendekar wanita tersebut. Terlihat, tangan kiri Nimas terbuka ke bawah dalam posisi mencengkeram kabut putih yang ternyata, itu ia lakukan untuk mengendalikan kabut itu.

"Barang bagus, barang bagus ...."

Terdengar suara serak dan dalam, dari dalam gumpalan kabut yang datang.

"Siapa, kau?!"

Perlahan, kabut hitam menipis dan membuat nyata sosok yang tadi berbicara.

Ternyata, sosok yang terlihat adalah seorang laki-laki tua, berkulit hitam, dengan badan pendek gempal. Lelaki yang umurnya mungkin, sudah setengah abad ini bertelanjang dada. Sedangkan bawahan, dibebat kain hitam sebatas lutut dengan ikat pinggang berukuran besar. Tangan kanannya memegang dadung berukuran sedang yang terikat pada sebuah tabung sebesar Bambu Petung, berbahan tembaga. Berbibir tebal, mata lebar dan hidungnya nyaris tidak ada, alias grepes. Dalam dunia persilatan laki-laki tua dengan blangkon hitam ini dikenal dengan julukan Si Pengumpul Roh.

Seorang sakti yang menangkapi roh, siluman, dan mengurungnya dalam bumbung. Tempat yang berbentuk tabung sepanjang setengah tombak ini sanggup menghisap kesaktian roh atau jiwa yang terpenjara di dalamnya, sekaligus membuat empunya punya kendali atas tawanannya.

"Barang bagus, barang bagus," ulangnya sambil melirik Bunga, "Kau, pas untuk menemaniku bersenang-senang nanti."

Wajah Bunga terlihat menegang dengan gigi bergemelutukan. Wajahnya terlihat sekali geram karena merasa dilecehkan.

"Siapa kau? Apa maumu?!" tanya Nyi Nimas dengan suara keras, setengah membentak.

"Ha_ha_ha, aku?" jawab Si Pengumpul Roh, sembari membetulkan letak blangkon hitamnya, dan mata melirik ke arah Bunga. "Aku 'Tuan Baru'mu, anak cantik ...."

"Kurang ajar!" bentak Bunga dengan raut muak, sambil mengembangkan kedua tangannya lantas mendorong ke depan. Kabut putih bergulung-gulung menerjang.

"Kabut Selatan Memapras Karang!"

Melihat kabut bergulung datang, membuat Si Lelaki tidak tinggal diam. Ia hentakkan bumbung tembaga ke tanah. Kabut hitam naik ke atas dan menderu memapak gumpalan kabut yang datang.

"Benteng Kabut Seribu Bangkai!"

Blarr!!

Dentuman keras terdengar begitu kabut saling beradu. Si Pengumpul terjajar ke belakang sedangkan Bunga dan gurunya melompat ke arah samping.

"Luar biasa! Benar-benar barang bagus!"

Lagi-lagi, kata-kata itu keluar dari si lelaki tua.

"Orang ini punya kesaktian tinggi, Nduk," ujar Nyi Nimas pada Bunga, "kita harus hati-hati."

Sembari membuka tutup tabung yang dibawanya, tokoh yang belakangan jadi momok di walayah tengah Jawa berteriak lantang.

"Bumbung Sakti Penarik Roh!"

Si Pengumpul Roh, sepertinya tidak mau membuang-buang waktu. Dari dalam tabung, muncul kabut yang lebih pekat membentuk tangan besar siap mencengkeram sosok Bunga.

"Nduk, awas!" teriak Nyi Nimas.

Tanpa aba-aba, Nyi Nimas dorong tubuh Bunga hingga terlempar ke samping, sementara dirinya melentingkan tubuh menghindar dari serangan yang datang. Tangan kabut membelok mengejar Bunga. Setengkal sebelum kabut mencengkeram gadis roh itu, serangkum kabut datang. Ledakan kembali terjadi kala kabut yang kini dilontarkan Nyi Nimas saling beradu. Tangan kabut hitam seketika buyar.

"Kau tidak apa-apa, Nduk?" tanya Nyi Nimas sembari membantu Bunga yang jatuh terduduk untuk berdiri.

"Aku tidak apa-apa, Guru," jawab Bunga. Dari balik ikat pinggangnya, dengan kedua tangannya ia tarik kembang kenanga. Namun, tangannya ditahan oleh gurunya itu.

"Orang ini biar aku yang hadapi, Nduk," kata Nyi Nimas. "Kau minggirlah!"

"Sungguh barang bagus," ulang Si Pengumpul Roh. Matanya mengikuti arah gerak Dewi Bunga Mayat. Sepertinya, gadis pemilik cinta pertama Wiro Sableng itulah sasarannya.

Si Pengumpul kembali tarik kaki kanannya ke belakang. Kaki depan ditekuk supaya paha, bisa jadi topangan bumbung di tangan kirinya. Sedangkan tangan satunya memegang tutupnya, bersiaga untuk kembali melakukan serangan.

"Sebaiknya kau menurut saja anak manis," bujuk Si Pengumpul Roh dengan mata tidak lepas dari sosok gadis yang mati karena diracun adik tirinya itu.
.
Lanjut ke bab berikutnya....
° ° °
Depok, 180324
________________________________________________
#skdkas
°
"Gua Sranggeng. Semua berawal sekian waktu yang lalu." gumam Aki Sukri.

"Maksud, Aki bagaimana?"

"Si Pengumpul Roh bagian dari tempat terkutuk itu. Di Gua terdalam yang tidak sembarang orang tahu keberadaannya. Yang hanya orang tertentu yang tahu pintu masuknya, bersemayamnya siluman pengabul keinginan dengan sebuah perjanjian dan tumbal."

"Sepertinya, Aki banyak tahu," tanyaku. "Jangan-jangan, warung Aki ini selalu ramai, penglarisnya dari sana?"

"Aden, ini ..." rungut Aki Sukri. "Dasar!"

©

Wiro Sableng 212 ala depeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang