What IF : PRAHARA di JURANG JERO

3 0 0
                                    

Lww...

_______

#spinoff212

°

...

"Aki Sukri!"

Sebuah panggilan dari arah pintu kedai, membuatmu berhenti melangkah. Nampan berisi beberapa gelas dan piring kotor terlihat di tanganmu ketika kau berbalik. panggilan dari arah pintu kedai, membuatmu berhenti melangkah. Nampan berisi beberapa gelas dan piring kotor terlihat di tanganmu ketika kau berbalik.

Di pintu, terlihat berdiri seorang gadis cantik dengan setelan serba ungu yang pinggangnya, melingkar selandang dengan warna sama.

"Apakah Wiro tadi ke sini?" tanya gadis itu dengan mata menelisik warung.

"Iya."

"Sekarang di mana orangnya?"

"Tadi pamit dengan saya, ingin ke Jurang Jero, Nisanak."

"Terima kasih, Ki!"

Si Gadis segera balik kanan dan melesat ke arah timur. Meninggalkanmu yang geleng-gelengkan kepala.

Belum sempat kau berbalik muncul sosok lain di pintu kedai. Gadis yang tidak kalah cantik dari yang pertama datang. Si gadis membekal tujuh buah payung berbeda warna yang diikatkan di punggung.

"Ki! Aki lihat Wiro?"

"Wiro?" tanyamu memastikan, "tadi, sih, bilangnya akan ke Jurang Jero."

"Terima kasih, Ki!" ujar Si Gadis sambil menjura hormat dan melesat ke arah mana gadis pertama menuju.

Kau segera melanjutkan langkah berniat ke belakang untuk mencuci piring dan gelas yang kotor. Baru juga tiga langkah, sebuah panggilan kembali terdengar seiring dengan bau harum yang menyeruak masuk ke dalam kedai.

"Ki, Kau tahu di mana adanya Wiro?"

"Jurang Jero, Nisanak," jawabmu tanpa menoleh lantas bergumam, "Si Gadis pirang ternyata ...."

Kau kembali melanjutkan langkah begitu si penanya pergi. Bau harum yang tadi menyeruak tajam, berangsur-angsur memudar.

Kau meletakkan nampan di meja dekat gentong setinggi setengah badanmu yang terisi penuh oleh air. Mengambil gayung batok kelapa_mungkin, ingin mengambil air dari gentong dengan ciduk itu. Namun, gerakanmu terhenti ketika kau lihat ada seseorang masuk ke kedaimu. Mengedarkan pandang ke ruangan, lantas begitu matanya melihat keberadaanmu, ia mendekat. Menghampirimu.

Langkahnya begitu anggun. Setelan gaun hitam yang dikenakan sangat kontras dengan warna kulitnya. Gaun dengan belahan rendah di bagian dada dan belahan panjang mulai dari pinggul ke bawah di kedua sisinya, sangatlah menawan. Anting, kalung, dan gelangnya yang berhias kerang terlihat berkilau diterpa cahaya matahari sore yang menerobos dari sela-sela atap.

"Ki, maaf," kata gadis itu santun dengan senyum manis menghias bibirnya. "Apakah Aki, melihat_"

"Wiro?" potongmu.

"Darimana Aki bisa tahu, kalau aku sedang mencari Wiro?" tanya si gadis bermahkota kecil bermata mutiara  itu pasang wajah heran.

"Karena sebelum Nisanak, ada juga yang menanyakan Den Wiro," jawabmu dengan senyum. "Den Wiro ke Jurang Jero, Nisanak."

Setelah menjura dan mengucapkan terima kasih, gadis itu segera berjalan ke pintu dan menghilang ke arah timur.

Beberapa saat kau terdiam. Mungkin, menunggu barangkali ada lagi yang datang dengan tujuan sama. Setelah yakin tidak ada lagi yang datang, kau menciduk air dan menuangkannya ke sebuah belanga di samping gentong.

Belum juga belanga penuh, gerakanmu kembali terhenti. Hidungmu terlihat kembang kempis seperti sedang membaui sesuatu.

"Bau bunga kenanga," gumammu.

"Iya, ini aku, Ki," terdengar suara dari gumpalan kabut tipis yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah menyelimuti tempatmu berada.

"Maaf, mengganggu Aki."

Suara yang menyapamu tadi terdengar lagi, membuatmu menoleh ke kanan. Sebab kau yakin, datangnya suara memang dari arah sana . Di tengah-tengah kabut tipis tapi, lebih tebal dari bagian lain_walaupun  samar, terlihat seorang gadis menjura hormat. Gadis itu juga tidak kalah cantiknya. Berambut panjang terurai, berkebaya putih dengan kancing-kancing besar di bagian depan.

"Kau mencari Den Wiro jugakah?"

Si gadis tersenyum lantas mengangguk. Melihat dari gelagat, sepertinya ia sudah mengenalmu.

"Iya. Aki melihatnya?" ujar bayangan samar itu lembut.

"Aden Wiro berada di Jurang Jero saat ini. Tadi ada juga yang menanyakan keberadaan dia. Bukan cuma satu. Empat gadis menanyakan keberadaan Den Wiro," paparmu.

Entahlah, kenapa kepada gadis yang sepertinya bukan manusia itu, kau begitu panjang lebar memberikan keterangan.

"Sebaiknya, kau lekas-lekaslah," lanjutmu.

"Baik, terima kasih, ya, Ki. Aku permisi dulu."

Si gadis menjura lagi. Sosoknya yang samar memudar menyatu dengan kabut. Kabut lantas menipis dan menghilang dari kedaimu.

Kau_lagi-lagi ... geleng-geleng kepala.

"Pelet apa yang dipakai anak itu, sehingga membuat gadis-gadis memperebutkannya."

.
Kembali kau melanjutkan mencuci piring. Baru satu piring kau tiriskan, hidungmu terlihat kembang kempis.
Tidak seperti ketika gadis ketiga datang, kali ini mukamu terlihat masam. Sepertinya, kali ini aroma yang kau cium bukan sesuatu yang menyegarkan.

"Bau ini ... apakah_"

Belum selesai kau menggumam, kau dikejutkan oleh suara yang memanggil dengan suara keras.

"Sukri!"

Kau mengarahkan pandang ke ... darimana suara tadi memanggil. Kau lihat, seseorang masuk kedai dengan langkah tergesa. Seorang perempuan setengah baya_mungkin lebih, dengan kebaya lurik sederhana berjalan mendekatimu. Nyaris tidak ada yang istimewa darinya. Hanya perempuan tua, keriput dengan mata cekung, bibir perot, dan kulit yang boleh dikatakan hitam. Kau justru lebih memusatkan pandangan ke lima tusuk konde yang dipakai sang tamu. Konde yang kukuh menancap langsung di kulit kepala.

"Weni! Kaukah itu?"

"Mana Anak Setan itu?" tanya tamu yang kau panggil 'Weni'. Matanya jelalatan menyisir seisi kedai.

"Jadi benar dugaanku selama ini," lanjutmu, "pastilah Wiro itu muridmu."

"Mana dia?!" tanya perempuan yang ternyata Sinto Gendeng, guru dari Wiro Sableng itu. Matanya dingin menatapmu. Seolah, kau orang yang pernah menorehkan luka padanya.

"Kau tidak berubah, Weni, masih saja ketus padaku," ujarmu dengan nada kecewa. "Kau sepertinya memang belum memaafkan dosaku di masa lalu."

"Aku ke sini bukan ingin mengungkit soal lama itu!" tandas Sinto, "Aku ke sini hanya ingin mengurus satu hal. Wiro."

"Weni, aku_"

"Sudahlah!" potong Sinto, "tidak masalah kalau engkau tidak mau memberitahu. Akan aku cari sendiri!"

Selesai berkata begitu, pendekar wanita saudara seperguruan Sukat Tandika itu, keluar dan sosoknya hilang ke arah timur.

Kau hanya diam terpaku tanpa berusaha mencegah atau menghalang-halanginya untuk pergi. Sepertinya, kau sangat paham bahwa Sinto adalah seorang yang keras hati.

"Weni ...," gumammu.
°
Depok, penghujung februari 24
#whatif
.

Wiro Sableng 212 ala depeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang