What IF : Tentang Rasa Tentang Semesta

2 0 0
                                    

Lww ... Ki/Nisanak

¬¬¬
Kalau ditanya kepada siapa perasaan cinta sejati pendekar kita ini, menurut saya jawabannya adalah pada Bunga. Biarpun, tidak sedikit gadis di sekelilingnya. Banyak pendekar wanita mengiringi petualangannya. Sebut saja, Puti Andini. Anggini, Purnama, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung, Luhcinta, dan banyak lagi yang mungkin, sebanyak seri yang ada.
Kenapa Bunga? Karena hanya gadis ghaib inilah yang bisa membuat Wiro, meneteskan air mata karena kehilangannya.
Bahkan setelah sekian waktu berlalu, dan banyak petualangan dialami Wiro tidak juga sanggup menghapus jejaknya di hati Sang Pendekar.
Ada satu momen kecil_yang menurut saya manis, perbincangan antara mereka.
__________________________________________________
"Wiro ...."

Belum juga menyenderkan badan di sebatang pohon Randu, aku dibuat kaget karena tiba-tiba ada suara yang memanggil. Suaranya lembut mengalahkan sepoi angin sore ini.

"Bunga!" Aku terhenyak. "Bunga, kaukah itu?"

Tidak ada jawaban. Apakah barusan aku bermimpi? Bagaimana mungkin bermimpi padahal memejamkan mata pun belum sempat aku lakukan. Tapi, aku yakin suara lembut yang memanggilku tadi adalah Bunga. Telingaku tidak mungkin salah. Hanya saja, kenapa bau yang biasanya mengiringi kehadirannya tidak aku rasakan?

"Ya, Wiro. Ini aku, Bunga."

Sontak aku berdiri dan mengedarkan pandang ke sekeliling untuk mencari sosoknya. Namun, kemana pun mataku tertuju, tidak juga aku temukan sosoknya.

"Kau tidak perlu mencariku, Wiro. Aku tidak ada di dekatmu saat ini." Kembali suara Bunga terdengar seolah tahu apa yang saat ini sedang aku lakukan.

"Kenapa?" tanyaku. "Kenapa, Bunga? Apakah kau tidak rindu padaku?"

"Ak_aku merindukanmu Wiro, bahkan setiap saat hanya bayangmu yang mengisi hari-hariku," jawab Bunga dengan suara bergetar.

"Lalu, kenapa? Kenapa kau tidak mau menemuiku?"

"Apakah aku masih ada di hatimu, Wiro?" ujar Bunga tanpa terlebih dulu menjawab pertanyaanku.

Kenapa kau tanyakan hal itu, Sayangku. Bukankah dulu aku sudah pernah jujur bahwa aku sangat memujamu? Bahagiaku, adalah karena menemukanmu.

"Aku, aku takut, Wiro ...."

Hei, kenapa wanita yang sanggup membuatku meneteskan air mata kala kepergiannya itu merasa takut? Apa hubungannya hati dengan takut?

"Takut? Apa yang kau takutkan? Adakah orang yang ingin menyakitimu? Katakan. Katakan siapa orangnya?" jawabku dengan nada sedikit tinggi.

Mendengar Bunga bicara begitu, membuat darahku seolah mendidih. Entahlah, tapi ketika ia sakit aku pun merasakan hal yang sama. Ketika Bunga merasa senang, pun membuat senyumku terkembang. Namun, ketika ia bicara takut ingin aku hadir untuk memberi pelukan dan perlindungan.

"Tidak, Wiro. Bukan apa atau siapa yang membuatku takut. Tapi ...."

"Tapi, apa Bunga?" potongku.

"Semenjak kau tidak lagi memanggilku, aku seolah tidak lagi kau butuhkan. Kau kini asyik dengan duniamu dan melupakan keberadaanku."

Aku terduduk lemas. Kusandarkan punggung di sela akar Randu. Bukan begitu Bunga. Bukan begitu, mungkin aku terlihat asyik dengan duniaku, tapi itu kulakukan karena aku berusaha lepas dari jerat rindu yang mengikatku. Namun, kau tahu? Semakin aku mencoba untuk melepaskan diri, semakin ketat rasa itu melilitku. Aku tetap memikirkanmu, Bunga. Di hatiku, cuma kamu. Biar pun di sekelilingku, banyak wanita cantik menunggu.

"Maafkan aku, Bunga. Itu tidak seperti dugaanmu. Kau pikir aku bahagia dengan hidupku saat ini? Tidak Bunga, aku justru tersiksa oleh rasaku ini. Bahagiaku saat kamu ada untukku. Bahagiaku, ketika kita bisa saling berbincang, berbagi cerita ... seperti dulu."

"Lantas, apa? Kenapa kau menjauh dariku?"

Menjauh? Bukan Bunga. Bukan menjauh. Aku tetap di sini tak beranjak. Tidak tubuhku, tidak hatiku. Aku hanya__

"Karena aku cukup tahu diri. Kau menemukan dunia baru. Semesta baru dan aku merasa asing akan hal itu. Kau ibarat Bidadari yang kembali ke duniamu. Aku berhenti melangkah karena aku merasa, aku bukanlah sosok yang layak di semestamu. Kau kini terasa asing bagiku."

"Itu yang membuatmu berubah Wiro?"

"Tidak. Tidak ada yang berubah dariku. Justru menurutku, kaulah yang berubah. Kaulah yang berubah semenjak menemukan jalan barumu. Tidak Bunga, aku tetaplah Wiro seperti yang kamu kenal dulu. Terlebih, rasa ini. Rasaku tidak sedikit pun, berpaling. Hati ini milikmu, Bunga ...."

Hening.
Bahkan, angin pun enggan untuk singgah. Bunga, masihkah kau di situ?

Aku terdiam menunggu tapi, tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyentak. Bunga?

"Hei! Siapa di situ?" teriakku ke sisi kiri tempatku berada.

Segera aku bangun dan melompat ke rerimbunan perdu yang terlihat bergerak. Baru saja ingin aku hantamkan pukulan sakti, orang yang kutemukan di sana berteriak minta ampun.

"Ampun, Den. Ampun. Ini aku!"

"Aki Sukri! Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku sambil menarik pukulan.

"Maafkan saya, Den Wiro."

"Sejak kapan kau ada di sini, Ki? Kau menguping barusan?" tanyaku menyelidik, lantas duduk di sampingnya.

"I-iya, Den," jawabnya. "Hanya saja, saya bingung dengan siapa Aden berbincang. Saya tidak melihat orang lain selain Aden."

Aku jawab keheranannya dengan tertawa. Ki, umpama aku beritahu pun, kau tidak akan mengerti. Aku rebahkan badan dan menopang kepala dengan kedua tangan. Pandanganku jauh menerawang ke deretan awan yang berarak.

Bunga, kapan kau kembali ke semesta kita? Aku rindu denganmu yang dulu.

"Den ... Aden," sapa lembut Aki Sukri menyadarkan dari lamunan.

"Sudah hampir malam," lanjutnya, "ayo, lebih baik malam ini, Aden menginap di warung saya."

Aku bergeming.
Terima kasih Aki Sukri. Biarlah aku tetap di sini. Menunggu. Siapa tahu, Bunga akan menyapaku kembali. Dengan cerianya. Manjanya.
Dan kecemburuannya.
°
Penulisan saya susun dengan sudut Pov 1 dengan harapan supaya lebih mengena feelnya.
Depok, 060224

Wiro Sableng 212 ala depeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang