"Tae, di mana Jennie?"
Pemuda itu baru saja melepaskan jasnya yang kotor dan memberikannya pada Park Jimin ketika pertanyaan itu muncul bersama kehadiran dua pasang suami istri yang baru menyelesaikan makan malam di lobi Hotel. Pemuda yang bersamanya segera membungkuk demi memberi salam membuat perhatian semua orang tertuju padanya sesaat. Anak yang manis.
"Dia terlihat mengantuk, jadi aku mengantarnya pulang," jawab Taehyung.
"Anak itu. Pasti alasannya saja. Teman-temannya sedang menunggu di rumah."
"Teman-teman?"
"Tiga gadis dari anak-anak orang penting yang masuk ke sekolah kami. Mereka biasanya mengadakan pesta bantal atau apalah itu," jelas ibu Jennie membuat semua orang manggut-manggut.
"Bagaimana pun dia masih tujuh belas tahun. Pasti menyenangkan melihat gadis-gadis berkumpul di rumah. Taehung kami tidak punya teman," ibu Taehyung tak mau kalah. Ia dengan bangga menyindir anaknya yang langsung memberinya tatapan dingin.
"Bu, jelas-jelas temanku ada di sini," selanya sembari menunjuk keberadaan Jimin.
Pemuda itu hanya menunduk, sementara ibu Taehyung hanya menghela napas jengah.
"Kalau begitu kami pulang dulu. Makan malam hari ini sangat menyenangkan. Kita harus sering melakukan makan malam keluarga seperti ini."
Setelah basa-basi yang melelahkan untuk dilihat sepasang anak muda yang tak tahu bisnis, dua keluarga itu akhirnya berpisah di lobi Hotel. Taehyung juga memisahkan diri dari kedua orang tuanya. Secara pribadi ia mengundang Park Jimin untuk membawakan jas ganti karena Jennie muntah di jasnya yang sebelumnya.
Mereka juga langsung pulang mengingat besok masih ada jadwal sekolah. Sebagai murid baru, Taehyung tidak ingin menarik perhatian karena suka membolos. Lagi pula sekarang ia memiliki alasan untuk rajin ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang pemuda itu nampak melamun. Sebelah tangannya menopang dagu. Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela mobil tempat di mana hingar bingar kota tak satu pun menarik perhatiannya, sementara bibir penuh itu kedapatan terus melengkungkan senyum.
"Sepertinya Anda menerima perjodohan itu pada akhirnya, Tuan Muda?" celetuk Jimin yang duduk di sisinya membuat kepala Taehyung bergeser dan tersentak. Saat ia menjatuhkan pandang ke arah Jimin, pemuda berambut sehitam jelaga itu sedang melemparkan senyum meledek.
"Dia gadis yang menarik," jawab Taehyung sembari mengingat-ingat kembali wajah gadis itu yang kontan terbayang di benaknya.
Siapa yang tidak terbayang-bayang jika hari ini dia berdandan begitu cantik.
"Lalu apakah itu berarti Anda akan mulai berobat?" sela Jimin mengacaukan bayangan Taehyung. Senyum pemuda itu segera sirna digantikan kegalauan.
Taehyung mendesah. "Apa bahkan itu bisa diobati?" gumamnya tidak yakin.
"Bukankah Anda harusnya berkonsultasi dengan dokter?" Jimin memberi saran.
"Memalukan." Taehyung tergugu.
"Bukankah lebih memalukan jika tunangan Anda pada akhirnya tahu yang sebenarnya?"
Taehyung tidak menjawab. Tatapannya berubah kosong. Terlempar begitu saja keluar jendela. Meski begitu ia menunjukkan gestur yang serius. Dalam kediamannya, Taehyung sedang berpikir keras.
Tak lama, pemuda itu menoleh pada Jimin. Tatapannya penuh harap.
"Kau ada ide selain pergi ke dokter?" tanyanya.
Park Jimin hanya meresponsnya dengan menghela napas.
***
Ayahnya hanya seorang sekretaris dari yang Jennie dengar, tapi Park Jimin mungkin seorang pekerja keras. Atau ayahnya telah mencapai posisi di mana ia dianggap sebagai bagian dari keluarga orang kaya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ON THE ROCK
Fanfiction"Saat kalian berciuman, cobalah untuk memegang miliknya. Sekedar memastikan dia gay atau bukan."