12

56 12 4
                                    

JANGAN MENJADI SILENT READER
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏬⏩
.
.
.
"Kita berbeda"

Kepulangan kedua orang tuanya membuat Nara tidak lagi ngekost sendirian. Kini ia telah kembali tinggal bersama keluarga kecilnya di rumah yang sudah dibeli Arthur sebulan yang lalu. Seharusnya ini menjadi sebuah perubahan dalam hidupnya, di mana tinggal bersama orang tua adalah impiannya.

Ternyata semua nampak sama. Kasih sayang masih tidak terlihat dalam keluarga kecil itu. Sarapan pagi yang diharapkan momen untuk berkomunikasi dan saling berbagi cerita, rupanya tidak seindah itu. Begitu Nara keluar dari kamarnya, yang terlihat hanya sang ibu yang masih menyiapkan makanan.

Sang ayah? Entah di mana laki-laki itu berada.

"Kasih, sarapan dulu, Nak," pinta sang ibu seraya membawa makanan dari dapur.

Nara menarik kursi kemudian duduk di sana. Ada berbagai menu yang sudah disiapkan oleh Rena pagi hari ini. Baik makanan khas Indonesia, maupun khas Eropa yang biasa dimasaknya di London.

Bagaimanapun Rena adalah warga tanah air. Sekalipun Arthur merupakan penduduk asli kota London, dan mereka lebih sering tinggal di sana ketimbang di Indonesia. Tetapi, untuk makanan Rena tentu tidak pernah melupakannya.

"Laki-laki yang kamu anggap teman," ucap Arthur, meletakkan beberapa foto di atas meja makan.

Nara yang tengah menikmati sarapan paginya lantas terkejut. Pasalnya, foto yang diletakkan di meja adalah foto Neithen dengan dirinya saat di puncak. Aktivitas makan pun akhirnya ia hentikan—menatap bingung pada foto yang diletakkan sang ayah.

"Bukan buku pelajaran yang aku temukan dari tasnya. Tapi foto laki-laki ini. Mau jadi pengusaha apa kamu kalau yang ada di pikiran kamu hanya laki-laki?"

Lagi dan lagi Rena menyaksikan keributan. Ia pun tampak bingung melihat dua belahan jiwanya yang tidak pernah akur satu sama lain.

"P–papa, di mana menemukan foto itu?" tanya Nara tampak gugup. Karena jujur, ia pun tidak tahu dari mana foto itu berasal.

"Dari tas kamu. Dari mana lagi?"

Nara cukup bingung. Ia bahkan sama sekali tidak memiliki foto bersama dengan Neithen. Tapi ia ingat, dari mana foto itu berasal.

Mesya. Ya, Nara ingat saat Mesya ingin menunjukkan sebuah foto padanya. Pikir Nara, mungkin ini adalah fotonya.

"Kasih nggak tau kenapa foto itu bisa ada di tas," kata Nara, mengatakan yang sebenarnya.

"Gak mungkin kamu gak tau dengan foto kamu sendiri," timpal Arthur.

"Kasih nggak bohong, Pa."

"Itu artinya foto ini nggak penting buat kamu?"

Nara kembali diam. Jika harus berkata jujur, foto itu sangatlah penting baginya. Namun, tidak mungkin ia mengatakan itu pada Arthur yang jelas-jelas tengah marah.

"Kalau begitu biar Papa bakar."

"Jangan, Pa!" sanggah Nara cepat.

Arthur yang hendak melangkah lantas menahan langkahnya. "Penting bagi kamu?"

"Aku mohon, Pa! Biarkan aku melihatnya." Nara menunduk, memohon pada sang papa.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang