9. Nata dan Semangkuk Tongseng

27 10 0
                                    

Haiiii, telat update 🙏😂😂😂

Semoga masih sabar ya, seperti Mara yang sabar ngadepin adiknya








Kaya, ganteng, dan jago masak. Sayang, hidupnya serampangan.

-Ahli menilai teman







Sepulang kerja aku langsung merebahkan diri di kasur meski belum mandi, sebelumnya aku sudah melepas semua pakaian luar dan meletakkannya ke keranjang baju kotor agar tidak terkena virus aneh-aneh lagi. Di masa pandemi, aku pernah terkena covid dan dua minggu tidak bisa makan enak, tidur juga tidak enak, serta badanku terasa ngilu semua.

Hari ini pekerjaanku beres semua meskipun sempat ada masalah kecil saat sedang stok barang, ada selisih lagi dan entah kemana nyelipnya itu barang printilan.

Kubenamkan wajah ke bantal, menahan jeritan karena rasa sesak di dada yang tiba-tiba meluap. Hingga hari ini, aku masih kesal soal Salma. Bisa-bisanya dia berbuat sesuka hati dan tak peduli pada saudaranya sendiri; aku. Dia tega sekali melakukan itu padaku, menghabiskan uang kuliah untuk jalan-jalan tak pentingnya.

Apakah dia tidak tahu betapa lelahnya badanku setelah seharian berdiri menjaga toko, melayani para pembeli yang macam-macam maunya, meladeni dua karyawan yang manja dan tidak bisa bekerja dengan benar?

Ya ampun, tidak hanya Salma yang membuatku frustrasi sekarang, tetapi juga dua orang di toko. Masa iya, menata barang dagangan saja salah-salah, kalau dikasih arahan bilangnya aku ini galak. Apa anak zaman sekarang tidak bisa bedakan mana tegas mana ngamuk? Heran.

Masih heran juga dengan Salma, adikku sendiri. Kenapa sih dia tidak mau fokus belajar saja? Kenapa masih sibuk jalan-jalan sama teman dan kekasihnya ke luar kota kalau duitnya tidak ada?

Aaarrrggghhhh!!!

Aku hanya ingin menangis, tetapi sebelum air mataku keluar dengan deras sebuah panggilan menghentikan aksi tangisku. Kulirik ponsel, ternyata Nata. Aku mengangkatnya, siapa tahu penting. Ya Allah, di saat seperti ini aku masih peduli pada orang lain? Apakah aku ini malaikat? Jelas bukan, aku hanya manusia biasa yang sejujurnya butuh pertolongan dan dihibur.

"Lo sudah balik?" serbu Nata begitu teleponnya kuangkat.

"Hemm," balasku sambil menatap langit-langit dan menutup tubuh setengah telanjangku dengan selimut tipis.

"Besok jadi libur?"

"Iya, kenapa?"

"Bantu urus apartemen yuk! Gue ajarin resep baru deh. Tapi, kalau lo capek nggak usah dipaksa, Mar. Jangan nggak enakan sama gue ya," katanya sok sopan dan baik hati.

"Hahaha, kapan gue nggak enakan sama lo, gue tuh paling senang kalau urusannya sama perut, Nat." Mendengar tawaran Nata, semangatku terbit kembali. "Oke, gue siap datang ke tempat lo. Besok ya? Jam berapa?"

"Agak siangan aja, paginya lo belanjain bahan-bahan di supermarket biasa, uangnya gue transfer sekarang ya," katanya tanpa basa-basi lagi, khas Nata banget.

"Sip." Aku hampir mengakhiri panggilan ketika dia memanggilku lagi.

"Mar...."

"Ya?"

"Lo naksi aja ya, jangan pakai motor lho. Baliknya sama gue, paham ya?" katanya sok mengatur.

"Ya," sahutku malas-malasan. Panggilan berakhir, aku segera melangkah ke kamar mandi setelah meraih handuk baru dari lemari.

.

.

.

Nata menungguku di lobi dan membantuku membawa barang belanjaan. Aku mengekorinya dari belakang sambil terpesona pada tower apartemen ini. Sudah tiga kali ke sini tetap saja merasa jatuh cinta.

Untungnya, Aku BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang