3. Mara yang Beruntung

40 10 0
                                    

Hai, kembali lagi bersama aku di sini!!

Buat yang mau kasih apresiasi tulisan ini, kalian bisa vote dan kasih komentar sebanyak-banyaknya ya. Nggak rugi kok kalau ngasih apresiasi ke penulis. Malah bikin aku happy lhoooo...






Mati satu, tumbuh seribu.

-Pejuang acne







Alhamdulillah. Kini, aku sudah pindah kost ke tempat yang lebih baik, bersih dan masih terjangkau harga serta jaraknya dari tempat kerja, cuma jalan kaki lima belas menit. Meski masih tidak memiliki kamar ber-AC, tetapi setidaknya tempat ini bisa memberiku kenyamanan. Masih ditemani desau kipas angin di kamar seluas 4x5 meter dengan kamar mandi dalam yang super mini, kasur single dengan dipan bawah penuh laci untuk menyimpan banyak barang agar tidak berserakan, meja kecil dan kursi kayu di sudut, serta sebuah lemari kayu antik. Aku meletakkan koperku di atas lemari dengan menaiki kursi. Harga kost ini 900.000,- rupiah dengan embel-embel laundry dan WiFi, sementara air minum masih harus beli sendiri.

Kurebahkan tubuh lelah ini ke kasur, menatap langit-langit. Teringat banyak hal yang pernah terjadi dalam hidupku selama 29 tahun ini. Pengalaman kerjaku banyak, tetapi tidak bisa ditulis dalam CV untuk melamar ke salah satu perusahaan terkemuka di tanah air, sebab ijazahku D-3 dan agak tersisihkan. Selepas SMA, aku tidak bisa mendapat beasiswa ke kampus negeri karena nilaiku merosot di akhir semester, kondisi keluargaku sedang kacau balau, tak ada uang untuk membayar biaya masuk perguruan tinggi bagus yang mahal, alhasil aku terdampar di kampus pinggiran dengan biaya lebih ringan.

Sebenarnya, meski nilaiku merosot dan tidak masuk lima besar saat kelas tiga SMA, aku mendapat tawaran beasiswa di luar kota. Namun, aku tidak bisa pergi ke sana karena orang tuaku bilang, "meski kuliahnya gratis, tapi biaya hidup kamu, buku, baju, dan semua keperluan kamu di sana mau dibayar pakai apa?". Saat itu aku menyerah, dunia sedang tidak berpihak padaku dan hidup keluarga kami memang tidak baik-baik saja.

Saat kuliah, aku mengambil kelas malam, siangnya kugunakan untuk bekerja apa saja. Mulai dari menjadi pelayan di toko perhiasan, melayani banyak pembeli yang mau membeli atau menukar emas, di sana aku bertahan lima bulan. Selanjutnya mencari pekerjaan lebih baik lagi dengan gaji agak lumayan, menjadi pelayan restoran siap saji dengan jam kerja yang pasti, kalau ada overtime bisa dapat tambahan, tetapi bekerja di sana membuat tubuhku ambruk dan sering sakit, fisikku tak kuat.

Lalu setelahnya, aku menjadi admin di sebuah bimbingan belajar, menjadi kasir di minimarket, menjadi penjaga parkir mal, juga pernah menjadi pegawai SPBU yang melayani pengisian bahan bakar kendaraan bermotor. Sampai akhirnya aku istirahat di rumah karena tubuhku sekarat. Aku bekerja mati-matian tetapi hasilnya tetap sama, tidak juga membuatku cepat kaya seperti teman-temanku yang memang lahir dari keluarga berada. Bapak menyuruhku fokus kuliah saja, dan segera menyelesaikan tugas akhir di tingkat tiga.

Apakah takdirku jadi orang miskin? Padahal, aku sudah bekerja keras selama bertahun-tahun, mati-matian menahan lelah, kantuk, teguran dari sana-sini ... tetapi itu tidak membuatku naik derajat.

Setelah tamat kuliah, aku kembali mengadu nasib di kota ini. Ternyata mencari kerja sangat sulit, padahal sudah bermodalkan ijazah D-3. Sampai akhirnya aku menyerah, pulang ke rumah, berhenti mencari kerja setelah punya ijazah.

Suatu hari keluargaku bosan melihatku cuma makan-tidur seperti makhluk tak berguna. Di saat yang sama ada seseorang datang ke rumah, dia bapak-bapak beranak dua, duda kaya dan berniat melamarku untuk dijarikan istri barunya, pengganti istrinya yang sudah tiada. Dan, aku kabur!

Siapa juga yang mau menikah dengan duda—walau kaya, katanya—di usia masih muda? Bahkan teman-temanku saja belum lulus kuliah, belum menjalani sidang skripsi yang konon panas dingin, belum pernah begadang mengerjakan tugas akhir. Siapa yang mau menikah?!

Untungnya, Aku BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang