14. Rencana yang Sedikit Terpaksa

33 10 0
                                    


OKE, JADI CERITA INI POST 1/7 HARI YAAA

DEMI KEBAIKAN BERSAMA 🤍🤣🤣

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN SETIAP BAB!!






Gotong royong demi kesuksesan teman.

-Geng Covid








Akhirnya personil geng kami lengkap, Selly sudah tiba begitu resto hampir tutup. Kini suasana resto lebih tenang dan nyaman, hanya ada beberapa pegawai yang mondar-mandir sedang sibuk beberes.

Selly menguncir rambutnya ke belakang, lalu membuka buku menu. "Menu spesial hari ini apa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.

"Ada nasi goreng seafood dan seperti biasa, Chicken Satay." Nata menjawab cepat.

"Nggak mau yang goreng-goreng lah. Susah dietnya dan gue harus jaga suara," seloroh Selly yang sangat memedulikan pita suara dan penampilannya agar selalu sempurna.

"Sayur lodeh aja satu panci. Mau?" ledek Nata.

Selly memukul lengan Nata. "Nyebelin lo!"

"Salad aja, biasa juga itu, kan?" Fahmi memberi saran, orang paling tenang dan dewasa. Dan hampir tidak pernah bersikap menyebalkan seperti Nata, kecuali kalau dia curhat masalah Andriana.

Mereka lalu membahas makanan yang boleh Selly konsumsi di atas jam sembilan malam. Sementara itu, aku mengamati sekililing, tak bosan-bosan melihat pemandangan resto ini. Resto Nata baru dirombak setengah tahun lalu dengan memilih gaya rustic yang modern. Desain dengan konsep natural, permukaan dindingnya kasar, didominasi dengan elemen kayu apik yang mahal dan berkelas. Juga ada beberapa peletakan batu alam di bagian depan resto dan sudut-sudutnya, memberikan kesan hangat, nyaman, dan sederhana seperti kepribadian Nata. Terlihat sederhana, kasual, tetapi aslinya tengil minta ampun.

"Lo mau apa?" tanya Nata padaku. Dia selalu membiarkan perempuan memilih lebih dulu, mungkin ini salah satu trik untuk membuat wanita di luar sana mudah jatuh hati padanya.

"Sate ayam bumbu kacang, pakai lontong," jawabku pelan, tanpa melirik buku menu di depan.

"Gue samain kayak Mara." Akhirnya Selly memutuskan pilihannya, tak peduli soal diet dan lain sebagainya.

Nata mengangkat tangannya untuk memanggil kokinya langsung. Koki di resto Nata ada dua, asistennya yang banyak. Seorang koki muda berusia awal tiga puluhan, dan baru bekerja di sini sekitar tiga bulan, datang menghampiri meja kami. Nata menyebutkan pesanan meja kami dengan lancar.

"Itu aja?" tanya koki itu, berdiri di sebelahku.

"Apple juice-nya tambah satu," sahut Fahmi setelah berpikir. "Ada wine nggak sih di sini?"

Mendengar itu kami semua terheran-heran, pasalnya Fahmi tidak pernah minum kalau sedang kumpul begini.

"Ada, mau lo?" Nata menyengir pernuh maksud. "Ambil di tempat gue, masih satu botol kayaknya," dia berujar pada sang koki yang belakangan baru kuketahui namanya; Lian. Dan, oh ... rupanya Nata menyembunyikan minuman beralkohol di ruangannya.

Lian segera pergi untuk menyiapkan hidangan kami. Entah kenapa kepalaku ikut menoleh, mengikuti kemana dia pergi.

Koki Nata itu sebenarnya tampan, baik, murah senyum dan sepertinya sering diam-diam memerhatikanku—untuk yang ini aku tidak asal bicara, ada buktinya. Nata bilang, Lian pernah titip salam untukku dan lupa dia sampaikan. Hingga hari ini, aku bersikap bodo amat karena Lian yang berwajah oriental itu beda agama denganku, tentu saja aku masih waras dengan memilih lelaki yang satu keyakinan denganku. Bagiku masalah keyakinan adalah hal yang sangat penting, pondasi kehidupanku di dunia dan akhirat.

Untungnya, Aku BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang