13. Sementara Jadi Kasir

36 11 5
                                    



Sementara nguli, daripada jual diri.

-hamba cuan







Sepulang kerja aku langsung datang ke resto milik Nata. Hari ini jadwal geng kami bertemu dan jadwalku menjaga meja kasir yang ditinggalkan pemiliknya, resto lagi sibuk-sibuknya di jam pulang kerja dan makan malam. Nata juga terlihat mondar-mandir mengurusi para pegawainya, membantu ini-itu. Benar-benar tidak ada orang menganggur, termasuk aku.

Aku memang bisa mendadak jadi kasir di sini, sebab pernah menggantikan tugas pegawai Nata yang tak masuk dua hari. Aku suka rela, tidak pernah keberatan membantu apapun yang perlu diurus di sini kalau badanku masih bisa diajak kompromi.

Kubuka laci kasir, mengambil uang puluhan ribu untuk kembalian, merobek struk dari mesin kasir, menyatukannya. "Terimakasih, Kak!" ucapku pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan pembayaran secara tunai.

Ada yang datang lagi, aku bersiap melayani pembayaran, tak lupa kupasang wajah ramah dan senyuman minimalis walau bedakku sudah luntur.

"Meja nomor delapan belas, Mbak," sahut Ibu dengan dua anak di sampingnya, sementara sang suami menunggu di belakangnya. Ia menyerahkan kartu debit, aku menerimanya dan segera menggeseknya ke mesin EDC.

Setelah pembayaran selesai, kuamati sekeliling, masih tampak ramai dengan Nata sibuk menyapa pelanggan yang dikenalnya. Nata memang ramah pada siapapun, berbeda dengan Fahmi yang terlihat dingin dari luar, dari pandangan orang asing yang tidak mengenalnya dengan baik. Mungkin karena itu ya Nata jadi buaya darat? Keramahan yang didukung dengan tampang rupawan, serta isi dompet yang tak pernah menipis, serta gombalannya. Semua itu membuat wanita manapun tak mau menyia-nyiakan kehadirannya meski hanya menjalin hubungan sesaat dan sesat.

"Hei, melamun!" tegur sebuah suara dari sisi samping.

Aku menoleh setelah terenyak, ternyata Fahmi sudah datang.

Fahmi memasukkan tangan kirinya ke saku celana putih, dia juga mengenakan kemeja putih. Kok jadi mirip petugas kesehatan ya? Penampilannya masih rapi di jam delapan malam seperti ini, rambutnya seperti baru diberi pemode andalannya, berdiri kokoh dan anti badai.

"Lo dari tadi?" tanyanya sambil mengamati suasana resto.

"Hem."

"Selly belum datang?"

"Gue bilang ke dia, maleman aja. Kalau jam segini dia muncul, resto bisa ramai terus."

Fahmi mengawasiku dengan pandangan heran. "Kenapa?"

"Bakal banyak yang minta foto, atau mungkin minta Selly nyanyi di tengah resto ini," paparku seraya mengangkat bahu.

Pernah kejadian di sini, Selly datang pukul delapan sore dan orang-orang yang mengenalnya—termasuk penggemar beratnya—mengantri foto bersama, bahkan ada yang meminta tanda tangan di buku agenda miliknya. Zaman sudah canggih, yang namanya fans tetaplah fans, punya cara sendiri untuk mengabadikan momen bersama idolanya.

"Ya, ya, ya," sahut Fahmi acuh tak acuh. "Apa yang bisa gue bantu, Mar?"

"Lo mau bantu apa? Masak?"

Fahmi meringis. Di antara kami berempat, cuma Nata yang jago masak. Dan Fahmi tidak pernah menyentuh dapur sama sekali.

Aku menunjuk kursi di belakangku. "Lo duduk aja sana, nggak ada yang bisa lo kerjain di sini. Masa gue mau suruh tuan muda buat beresin meja bekas orang? Gue bisa diamuk sama nyokap lo, Mi."

Fahmi tak bersuara, tetapi menuruti perintahku untuk duduk di belakangku. Kutatap sebentar sebelum kembali melayani seorang bapak-bapak yang siap membayar. Terlihat jelas Fahmi lagi badmood, sejak duduk wajahnya langsung tertekuk. Ada apa ya? Apa ini masih berkaitan dengan perjodohan konyol itu? Oh ya, sudah satu pekan berlalu sejak kami datang ke kantor tuan muda.

Untungnya, Aku BertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang