Bab 1 Kita Harus Menikah

95 8 0
                                    

“Di undangan bukannya Hania yang nikah sama Alif. Kok nikahnya malah sama Maya, Rit?”

Celetukan seorang wanita yang duduk bersama Hania di satu meja itu berhasil membuat semua orang di sana saling diam. Bibir Hania merapat. Buru-buru ia menarik ujung kerudungnya, menutupi bibirnya, tak mau jika ada yang melihat ekspresinya. 

“Oh … itu … salah cetak, Mbak.” Bu Rita, ibu tiri Hania sekaligus ibu kandung Maya yang duduk tepat di samping wanita itu membalas cepat.

Tepat ketika itu Maya dan Alif datang menghampiri. Menyapa seluruh sanak keluarga terdekatnya yang berada di satu meja. Tak terkecuali Hania. Tapi, perempuan itu bahkan tak membalas sapaan Maya.

“Bukan salah cetak, Tan,” celetuk Hania, “tapi, karena Maya hamil sama tunangannya Hania.” Ia melirik Maya yang tampak melotot padanya. “Jadinya mereka terpaksa nikah.”

“Hah? Hamil duluan maksudnya?”

“Bener itu, Mbak?”

“Kok bisa?”

“Ini gimana ceritanya bisa jadi gini?”

“Maya! Kamu main serong sama calon iparmu?”

“Kok kamu malah nikahin mereka sih, Rita. Aib ini!!! Aib buat keluarga kita!!!”

Orang-orang yang ada di meja itu ribut. Saling menerka dan menuduh.

“Diaaaammm!!!” Teriakan Maya berhasil menyita perhatian seluruh tamu di sana. 

Bu Rita tergesa-gesa menghampiri, mencoba menenangkannya padahal di sana ada Alif. Tapi, laki-laki itu hanya diam saja seperti patung. Tak sedikit pun bertindak atau mencoba menenangkan istrinya yang kini tengah murka.

“Ini fitnah, Tan! Hania fitnah aku karena dia gak terima kalau Alif sebenarnya sejak dulu udah suka sama aku. Sebelum mereka tunangan, Alif udah suka sama aku!!!”

Hania menggebrak meja, lalu berdiri tepat di depan Maya. “Suka dari mana? Aku ngenalin kalian setelah tunangan, Maya! Ngaku aja kalau emang kamu emang main serong sama tunangan saudara kamu sendiri!”

Para tamu yang melihat pertengkaran itu mulai merangsek berkerumun. Beberapa mengacungkan ponsel, mengabadikan momen itu lewat kamera. Diam-diam tentu saja.

Maya tiba-tiba terisak. Saat itu Alif menarik Hania untuk menjaga jarak darinya.

“Sudah, Han. Cukup!” lerai Alif.

“Lepas!” tepis Hania.

“Kamu tega, Mbak.” 

Maya menarik Alif yang menghalangi antara ia dan Hania. Kini giliran Maya yang menghampiri Hania. Dengan isak tangis. 

“Terus kenapa kalau sekarang Alif nikah sama aku? Dia ngelakuin itu karena dia mau tanggung jawab, Mbak. Kalau dia jadi nikah sama Mbak, Mbak emang gak kasihan kalau orang-orang gosipin aku yang hamil tanpa suami? Mbak mau anakku yang gak berdosa ini nanggung kesalahanku? Mbak mau bahagia sendiri, sementara aku harus menderita? Gitu?”

Kening Hania sampai mengerut mendengar pembelaan diri Maya yang tidak masuk akal di kepalanya. 

“Kamu ngerebut tunanganku, Maya!” Hania berteriak saking jengkelnya. “Harusnya kamu udah tahu risikonya! Kenapa malah nyalahin aku?”

“Terus aku harus gimana sekarang? Balikin Mas Alif ke Mbak Hania? Ambil! Ambil, Mbak! Aku gak apa-apa kalau emang harus jadi janda setelah sehari nikah. Kalau emang itu bisa bikin Mbak bahagia! Ambil, Mas Alif! Ambil!!!”

DIPAKSA JADI JODOH (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang