Bab 17 Gila

18 2 0
                                    

“Aaarrrggghhh!!!”

Kenan batal berjalan ke arah pintu keluar Vila saat mendengar suara keras yang bersumber dari toilet. Ia hanya mampu berdiri tepat di depan pintu tanpa berani mengetuk apalagi memanggil nama Hania. Hanya isak tangis yang samar-samar terdengar. 

“Hania! Ada apa?”

Tak ada tanggapan kecuali suara isak. Tangan Kenan siap mengetuk pintu, tapi berulang kali ia urungkan.

“Nia, kamu tidak apa-apa, kan? Buka pintunya!” tanya Kenan dengan suara pelan. Takut mengusik Hania yang entah sedang melakukan apa. Tapi suara yang ditimbulkan perempuan itu cukup membuatnya khawatir.

Masih tak ada jawaban, Kenan tentu tak bisa beranjak sejengkal pun dari tempatnya. Rasa gusarnya semakin merongrong seiring isak tangis yang tak kunjung berhenti terdengar.

“Hania, saya dobrak pintunya!”

Sepersekian detik kemudian, Kenan memutar gagang pintu toilet. Memastikan saja jika memang pintu itu terkunci rapat. Agar rencananya untuk mendobrak pintu ini tak gagal.

Tapi, rupanya pintu itu tak terkunci! Kenan cepat-cepat menahan pintu yang hanya terbuka sedikit.

“Nia, saya masuk sekarang. Saya batal mendobrak pintunya. Dan …,” Kenan mendadak ragu, “oke! Saya siap diomeli jika perbuatan saya ini menurut kamu lancang. Karena saya tidak bisa diam saja sementara kamu membuat saya khawatir. Saya masuk sekarang!”

Perlahan Kenan membuka pintu itu. Matanya tertuju pada lantai toilet, sebisa mungkin tetap menundukkan kepala. Semakin pintu terbuka lebar, ia justru dapati sosok Hania tengah terduduk sambil memeluk dua lututnya di lantai, tak jauh dari cermin. 

“Nia ….”

Kenan selembut mungkin memanggil nama perempuan itu, berharap Hania mendengar tanpa merasa terusik. Tapi, Hania bergeming. Tetap terisak lebih tepatnya. Punggungnya tampak bergetar beraturan. 

Kenan spontan ikut berjongkok, memilih memperhatikan perempuan itu dari ambang pintu. Tak melangkah sejengkalpun masuk ke dalamnya. 

Beberapa menit lamanya Kenan memperhatikan Hania demikian. Sesekali memijit pelipis, meraup wajahnya, atau memperbaiki posisi jongkoknya.

Tiba-tiba kepala Hania perlahan mendongak. Kenan yang terkesiap, tampak ketakutan tapi enggan beranjak dari sana.

“Kenapa bukan si Maya aja yang kecelakaan? Harusnya dia yang kecelakaan!” gumam Hania dengan bibir gemetaran. “Bukan Alif!”

Kening Kenan mengerut keras mendengarnya. “Cukup, Hania!” timpalnya. Tepat setelah itu Hania menoleh ke arahnya.

“Pak Kenan?” Mata Hania membola sempurna. “Ngapain Pak Kenan di sini?!” Nada suaranya sudah jelas tak bersahabat.

“Saya mendengar kamu menangis dari luar. Saya panggil-panggil, kamu tidak menjawab. Jadinya … yah seperti ini!” Kenan ogah menjelaskan panjang lebar. “Kamu kenapa? Masih menangisi laki-laki itu sampai mendoakan saudaramu seperti tadi?”

“Kenapa? Memangnya kenapa kalau saya mendoakan si Maya mati? Dengan apa yang udah dia lakuin ke saya selama ini, kematian bahkan gak setimpal jadi hukuman dia!”

“Cukup, Nia …. Apa yang kamu lakukan sekarang tidak akan mengubah apapun. Bahkan dengan kematiannya sekalipun, belum tentu juga kamu bisa kembali pada si Alif itu”

“Gak masalah! Itu artinya saya dan Maya imbang. Kami sama-sama tidak bisa mendapatkan Alif.”

“Kamu masih memikirkan laki-laki itu meskipun kamu sudah menikahi laki-laki seperti saya yang jelas jauh lebih baik daripada si Alif itu, Nia?!”

DIPAKSA JADI JODOH (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang