Bab 6 Tawaran Setimpal

30 6 0
                                    

“Jadi, kamu dan Kenan akhirnya menikah. Kamu ingat tentang janjimu pada saya waktu itu, Hania?”

Hania hanya bisa tertunduk, menatap tangannya sendiri yang sejak tadi saling berpilin. Beberapa menit lamanya ia duduk di sini untuk mendengarkan Pak Rahwana yang berdiri dekat jendela berbicara.

Banyak hal. 

Di mana semuanya hanya tentang keluarga Prince.

Hal yang sebenarnya sudah Hania ketahui dari Kenan. Selama bertahun-tahun bekerja dengannya, bukan hal yang aneh bukan jika ia tahu tentang seluk-beluk keluarga ini?

Seberapa kaya, seberapa besar pengaruhnya, atau bahkan seberapa luas jangkauan bisnis mereka. Ah! Hania sudah hafal semua tentang keluarga Prince. Dari hal yang diketahui oleh umum, bahkan yang menjadi rahasia.

“Ya. Saya masih ingat.”

Bagaimana mungkin Hania tak ingat akan ancaman Pak Rahwana padanya. Kapan pastinya, itu terjadi setelah setahun bekerja dengan Kenan.

“Profesional, tegas, dan cerdas. Mungkin itu yang bisa saya simpulkan tentang kamu dari apa yang saya ketahui. Jadi, ingat baik-baik. Jika kamu tak mau nasibmu sama seperti bawahan Kenan sebelumnya, jangan pernah sekalipun membuat kesalahan. Sekecil apapun itu! Karena jika itu sampai terjadi, saya pun tak akan segan-segan membuat perhitungan denganmu. Kamu berjanji?”

“Ya! Saya berjanji tidak akan membuat kesalahan sekecil apapun!”

“Itu artinya kamu tak akan terkejut jika saya membuat perhitungan denganmu,” kata Pak Rahwana.

“Tapi, Pak,” lanjut Hania, “saya merasa tidak membuat kesalahan.”

Hania tahu bagaimana caranya bekerja sebagai asisten Kenan. Maka dari selama bertahun-tahun ia mati-matian melakukan yang terbaik untuk mendampingi atasan gilanya ini. Pokoknya tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun yang akan merugikan Kenan, karena reputasi keluarga Prince pun dipertaruhkan di sana.

“Benarkah? Jadi menurutmu menikah dengan Kenan bukan kesalahan?”

“Maksud Pak Rahwana?”

“Asal kamu tahu saja. Saya tak pernah merestui pernikahan kalian kalau bukan karena ancaman Kenan. Dan itu semua adalah kesalahanmu! Ini kali pertama Kenan berani melawan saya hanya demi menikah dengan perempuan seperti kamu. Jadi, kamu tentu tahu konsekuensi macam apa yang akan kamu tanggung setelah ini!”

“Pak, sa—” 

Hania sampai kesulitan berkata-kata setelah mendengarkan perkataan Pak Rahwana. Karena selama seminggu ini, dari acara lamaran bahkan sampai pernikahan, semuanya berjalan sangat lancar. Pak Rahwana sendiri juga menyempatkan hadir di acara penting tersebut.

Tapi, kenapa mendadak Pak Rahwana mengatakan hal demikian? Apa maksudnya ini?

“Bagaimana dengan Singapura? Rumah, gaji, pelayan, sampai akomodasi, semuanya yang kamu butuhkan akan kamu dapatkan. Segera gugat cerai Kenan setelah ini. Saya tak peduli apa alasannya. Yang terpenting kamu harus berpisah dengannya sekarang juga. Maka imbalan apapun yang kamu inginkan akan saya berikan. Bukankah itu sepadan?”

“Sa–”

Pintu terbuka dengan suara keras. Disusul oleh Kenan yang muncul dari baliknya.

“Sedang apa Papah di sini?!” teriak Kenan lantang.

Hania dan Pak Rahwana sama-sama mengalihkan pandangan pada Kenan.

“Ayo keluar!” Kenan mencengkeram lengan Hania, menariknya sekuat tenaga yang untungnya tak memberontak.

“Pikirkan tentang tawaran saya, Hania. Saya tunggu jawaban kamu besok pagi.” Pak Rahwana berseru keras. Tak peduli akan keberadaan Kenan atau bahkan apa tengah dilakukannya saat ini.

“Hania tak akan menerima tawaran apapun dari Papah!” Kenan menjawab yakin sambil menatap Hania yang tengah tertunduk lesu. 

Setelahnya Kenan segera menarik Hania keluar dari kamar hotel itu. Tak sekalipun melepaskan cengkeramannya sampai keduanya tiba di kamar hotel lain. 

Kenan menjejalkan Hania yang diam saja ke dalam kamar hotel tersebut. Tepat ketika itu sebuah suara memanggil nama Kenan. Bu Sinta tampak terengah-engah mendorong kursi rodanya menuju ke arah mereka.

Namun, Kenan hanya diam sebentar. Menatapnya sebentar. Lalu ia masuk ke dalam kamar itu dan menguncinya segera.

***

Baik Hania maupun Kenan, keduanya sama-sama bungkam. Lebih tepatnya, Kenan tak berani angkat suara. Melihat raut wajah Hania yang kusut saja sudah membuat ia enggan mengusik perempuan yang mendadak jadi pendiam itu.

“Apa yang kamu bicarakan dengan Papah tadi?” serbu Kenan memberanikan diri. Sudah tak ingin basa-basi lagi. 

“Bukan hal penting.”

“Tawaran apa yang Papah berikan sama kamu agar kita bercerai? Pekerjaan? Jabatan? Uang? Rumah? Atau apa?”

“Pak!”

“Tolak semuanya! Saya bisa berikan apa yang Papah tawarkan. Kita tak perlu bercerai hanya demi tawaran Papah. Kita sudah menyepakati semuanya, bukan?”

“Sejak dulu, saya bercita-cita membangun sebuah keluarga harmonis dan hangat. Awalnya, saya bisa membayangkan hal itu saat bersama Alif. Tapi, tiba-tiba semua cita-cita itu musnah karena perselingkuhannya dengan Maya. Lalu, saya tersadar. Kalau cita-cita saya itu mungkin memang sangat mustahil. Bagaimana tidak? Keluarga saya saja tak seharmonis dan sehangat yang saya pikir. Saya sudah mengubur cita-cita itu sejak tahu Alif berselingkuh. Menikah atau tidak, saya tidak mengharapkan apapun selain masih bisa hidup.”

“Nia, sa–”

Terdengar isak yang perlahan Kenan dengar. Berhasil menghentikan mulutnya untuk melanjutkan kata-katanya. Ia melirik Hania sesekali yang tampak tengah menangkupkan dua tangan di wajah. Kenan perlahan berjalan mendekati perempuan itu, duduk tak jauh darinya.

“Hania…  dengarkan saya. Sa—”

Tiba-tiba Hania menampakkan wajahnya yang sudah basah. Penuh air mata. Membisukan kembali Kenan dalam seketika. Bersamaan dengan emosinya yang perlahan meluap penuh amarah.

Ini kali pertama Kenan melihat Hania menangis.

“Pak Rahwana memberikan tawaran agar saya bisa memulai kehidupan baru di Luar Negeri. Menurut saya, itu setimpal dengan apa yang Pak Kenan janjikan.” Hania tersenyum tipis. “Ayah dan anak menganggap saya seperti barang dagangan. Beruntung sekali ternyata saya ini!” Ia terkekeh dengan air mata yang kembali mengucur.

“Sudah saya duga! Papah pasti melakukan segala cara untuk membuat kita bercerai.” Kenan mengepalkan tangannya erat. “Kamu tak perlu menerima tawaran itu!”

“Kenapa Pak Kenan gak jujur sejak awal kalau Pak Rahwana gak merestui pernikahan kita? Apa kedatangannya waktu itu ke kantor untuk membahas pernikahan kita?”

“Bukan urusanmu! Ini urusan saya dan Papah!”

“Tapi, gak perlu sampai segininya, Pak! Kita hanya menikah kontrak! Apa pentingnya melanjutkan pernikahan ini kalau memang Pak Rahwana gak merestui? Pak Kenan jangan berlebihan!”

“Lalu kenapa kalau kita menikah kontrak? Toh kita sudah sah menikah baik secara hukum dan agama. Mau kamu bilang ini hanya menikah kontrak, kamu dan saya tetap suami-istri yang sah! Dan kamu pikir saya akan semudah itu menceraikan kamu?”

Kenan benar-benar ingin marah. Bukan hanya pada keluarga Hania atau tawaran Pak Rahwana pada Hania, tapi juga pada dirinya sendiri.

“Jangan harap! Silakan lakukan segala cara untuk bercerai dari saya, maka saya pun akan melakukan segala cara untuk mempertahankan pernikahan ini. Kita tak akan semudah itu untuk bercerai!”

DIPAKSA JADI JODOH (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang