Bab 11 Muak

30 6 0
                                    

“Hari ini, kamu hampir membunuh saya sebanyak dua kali, Hania!” serbu Kenan yang sedang sambil mengacungkan dua jarinya ke depan wajah Hania.

Perempuan itu langsung menarik mundur kepalanya. “Salah Pak Kenan sendiri. Saya cuma bela diri takut diapa-apain sama Pak Kenan!”

“Saya ini sudah menjadi suami kamu! Mau saya apa-apakan, harusnya kamu tidak perlu bertindak berlebihan! Kita sudah membuat kesepakatan, kan?”

“Kesepakatan sih kesepakatan. Biar Pak Kenan tahu, meskipun sudah menjadi suami saya, saya sebagai istri punya kewajiban juga untuk membela diri dari kelakuan suami yang merugikan.”

“Merugikan katamu? Mengorbankan lengan saya jadi sandaran kepala kamu itu merugikan siapa? Kepala saya barusan kamu bentur keras juga merugikan siapa? Saya atau kamu?”

“Daripada saya kena sial, mending saya bela diri dong. Apalagi barusan Pak Kenan lagi mabuk. Masa iya saya diem-diem aja kayak orang bego, kan? Saya bela diri lah! Kalau soal tangan Pak Kenan tadi yah … itu … yah ….”

“Yah-itu-yah-itu apa?”

“Terima kasih.”

Kenan seketika membisu.

“Tapi, Pak Kenan gak perlu sampe ngerjain saya kayak tadi. Sampe pura-pura sakit tangan segala lagi! Saya juga tahu diri kok untuk bilang terima kasih. Gara-gara Pak Kenan, saya jadi lupa buat bilang terima kasih.”

“Kamu tuh–”

“Kecuali yang barusan! Barusan itu tindakan saya bener loh! Saya membela diri dari orang yang sedang mabuk!”

Kenan tak bisa menyanggah. Ia lebih memilih meneguk minuman di meja untuk mengurangi rasa pening. Sesekali ia memijat pelipisnya lagi untuk mengurangi rasa sakitnya. Tepat saat itu ia mendengar bunyi aneh yang berasal dari perut Hania. Perempuan itu tampak langsung memegangi perutnya erat.

“Kamu lapar?”

Hania berdehem sebentar. Hanya sekedar menepis rasa malu sekaligus mengumpulkan keberanian untuk bicara. “Yaaa … lapar dong! Gimana saya gak lapar? Turun dari kapal, Pak Kenan kabur gak tahu ke mana. Pulang-pulang tengah malam begini malah mabuk! Gak mikirin saya yang kelaparan gitu?”

“Memesan jet ski saja kamu bisa tadi. Kenapa masalah makan saja, kamu besar-besarkan seperti ini. Apa kamu tidak bisa datang ke Restoran terdekat, atau memesan makanan dari staf di sini menggunakan cara serupa seperti saat kamu mau bermain jet ski tadi?”

Hania langsung salah tingkah diserbu Kenan. Alasan yang ia keluarkan rupanya malah berbalik menyerang dirinya sendiri. Aslinya memang Hania sedang tak nafsu makan sejak kemarin. Lebih tepatnya, sejak ia dan Kenan resmi menjadi suami-istri.

Makan tak enak. Tidur tak nyenyak. Pikirannya masih sibuk meyakinkan diri. Benarkah ia dan Kenan sudah menikah sekarang? Ini terasa bukan mimpi indah tapi juga bukan mimpi yang buruk.

Hania pernah mengalami momen seperti ini. Tepatnya ketika mengetahui Ibunya pergi meninggalkannya selamanya. Mengganti status dari anak yang memiliki orang tua lengkap menjadi anak yatim. Saat itu Hania belum terlalu mengerti arti kehilangan. Menangis saja tidak. Tapi, hatinya mendadak sakit tanpa alasan.

Hal ini juga terjadi saat ia mengetahui kalau Alif berselingkuh dengan Maya. Perasaannya tak karuan. Mati segan, hidup tak mau.

Hania mulai menjalani hari-harinya dengan perasaan tak menentu. Sedih tidak, bahagia juga tidak. Seperti sebuah mimpi, bukan mimpi indah tapi juga bukan mimpi yang buruk.

Aneh sekali, bukan?

“Ya … mana saya kepikiran!” Hania beralasan. “Saya pikir Pak Kenan mau ngajakin saya makan bareng. Kalau saya makan sendiri, saya takut Pak Kenan ngomel. Eh, nyatanya Pak Kenan malah mabuk sendirian! Tahu kayak gitu, saya gak nungguin!”

DIPAKSA JADI JODOH (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang