5.1 Quarantine

18 4 0
                                    

Ya, sekarang di sinilah kami. Sedang beristirahat di kamar asrama yang dikhususkan bagi para pendaftar. Baik sekali, bukan?

Kepalaku masih menempel pada bantal. Rasanya malas untuk bangkit mengingat kami datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Inginnya datang langsung mendaftar, ternyata malah di karantina dulu.

Kami di karantina mandiri oleh pihak Neo Cyber Tecno selama beberapa hari ke depan. Tidak terlalu buruk mengingat kami juga perlu istirahat setelah perjalanan panjang.

Hanya saja aku, Ellya dan Luna berada di ruangan yang terpisah. Mereka ditempatkan pada bilik di lorong uang berbeda jauh denganku. Kehadiran mereka sudah menjadi kebiasaan, jadi aku akan mengakuinya saja, aku kesepian.

Tanganku meraih smartpad yang terletak di atas nakas. Menggeser pola kuncinya, lalu menekan salah satu ikon di layar. Zeusonn tidak pernah mengabariku lagi. Terakhir dia mengirim pesan adalah saat aku baru saja meledakkan rumahku.

Astaga, kepalaku pening. Memijat pangkal hidungku yang terasa nyeri, mataku masih menatap layar dan membuka file tentang NCA. Merasa bosan karena sendirian, kuputuskan untuk menginstal game 'permen crush'. Permainan kuno yang tersisa hingga abad ini.

Tengah asik bermain, dua pria datang mengetuk. Itu pasti pengantar makan siang. Padahal makanan untuk sarapan saja masih belum kumakan.

Sebuah nampan berisi sepiring hidangan yang ditutup dan air mineral melewati pintu kecil yang berada di bagian bawah pintu. Bentuknya mugil seperti pintu hewan peliharaan---atau itu memang pintu untuk hewan keluar masuk.

Kutukarkan nampan itu dengan nampan berisi sarapan yang belum kusentuh sama sekali.

Ketika tutup sajian kubuka, alisku berkerut tajam oleh sekumpulan besi yang tercerai-berai dalam piring sajian. Besi-besi itu adalah komponen untuk pistol rakitan. Aku tidak pernah rakit pistol sebelumya, jadi akan kuapakan ini?

Bunyi Derap langkah berbunyi keras setelah dobrakan keras pintu di ujung lorong, membuat dinding sedikit bergetar. Intuisiku mengatakan hal yang buruk sedang terjadi.

Tanganku mengambil bagian-bagian pistol di atas piring dan mencoba merakitnya dengan arahan artificial intelligence. Suara langkah kaki dan pintu-pintu kamar yang dibuka dengan cara dihancurkan menjadi suara latar di luar sana.

Kedua tanganku bergetar di bawah tekanan, membuat pistol yang seharusnya bisa kurakit menjadi tidak berguna. Tembakan leser berhasil melubangi pintu, dibukanya kunci digital yang terpasang dan mendorong paksa daun pintu. Aku tersungkur, terjepit antara daun pintu dan dinding.

Robot dengan tangan laser itu masuk. Cahayanya menyapu ke segala arah, memotong benda-benda yang ada di dalam kamar dan membuat bekas garisan besar di dinding.

Aku memperhatikannya, sambil mencoba untuk meraih smartpad yang tergeletak di depan pintu.

Krak

Sial.

Karena berpegangan pada kenop pintu, tubuhku justru terhuyung bukannya mengambil smartpad. Membuat robot itu memperhatikanku dengan mata merah dan mula memburuku.

Aku berlari keluar. Jujur saja, aku tidak pernah berkelahi dengan robot secara langsung. Biasanya Ellya akan melakukannya dengan wajah sombong untuk mengejekku. Gadis itu pandai bela diri, sementara yang kulakukan hanya mematikan koneksi robot dengan server kendali pusat.

Rata-rata robot yang kami temui adalah robot AI yang terhubung dengan perangkat pusat (centralized control system). Artinya, robot tersebut tidak beroperasi sepenuhnya secara mandiri, melainkan menerima perintah, data, atau pembaruan dari sebuah server pusat atau sistem kendali utama yang mengelola dan memonitor banyak robot sekaligus.

Kali ini berbeda, yang datang menyerang kami adalah robot dengan Autonomous AI, kecerdasan buatan yang mampu beroperasi tanpa arahan manusia atau campur tangan secara terus-menerus. Ini berarti AI ini memiliki kemampuan pengambilan keputusan sendiri, dan bisa belajar dari lingkungannya untuk memperbaiki cara kerjanya.

Mengerti? Aku tidak bisa melawan mereka sendiri. Tidak seperti orang yang menghancurkan setiap bangkai robot di koridor dan membuat kabel-kabel putus keluar dari kerangka.

Smartpad di tanganku menjadi tidak berguna. Layarnya menampilkan glitch merah seperti mata robot-robot yang bergerak kaku di belakangku.

Zzab

Satu tembakan laser meleset hingga menggores dinding. Tebakan-tembakan lain bersahutan dan bunyi ledakan tidak bisa dihindari. Berkali-kali aku menunduk, berguling bahkan bersembunyi di balik tubuh robot yang sudah rusak untuk menghindar.

Aku merasa payah, terutama saat merasa bersyukur ada tangan manusia yang menarikku dari dalam pintu kamar. Aku merasa ... tidak bisa apa-apa.

Tangan kanannya menggenggam pistol yang persis seperti material yang diberikan ketika waktu makan siang tadi. Terpasang rapi dan berhasil menembak robot-robot di sekitarnya.

Mereka datang ke bilik ini, mengincar kami. Sementara pria di depanku berjalan mundur, membuatku mengikuti irama langkahnya sambil menahan panik.

Zzab!

Satu tembakan laser yang lebih cepat datang. Orang yang menarikku justru mendorongku menjauh, membuat punggungku menabrak dinding dan melihat ...

Jalan keluar.

Ada jalan keluar yang terbuka di balik lemari yang sudah digesernya. Aku tahu ia menyuruhku untuk pergi ke sana. Aku melakukannya dan masuk pada pintu tersembunyi dengan pencahayaan minim berwarna biru.

Sesaat setelah ia menyusul masuk. Pintu tertutup dengan sendirinya. Lampu yang tadinya mengeluarkan cahaya temaram mati seketika.

Kami terjebak di ruang tidak dikenal tanpa pencahayaan sama sekali. Sungguh gila.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

METANOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang