Setelah hari yang gila bersama pria aneh, sekarang aku termakan godaan minuman dingin lezat di pertengahan musim panas. Semangkuk es krim vanilla di hadapanku, serta Ellya dan Luna yang juga menyantap es krim mereka, cukup membuatku rileks.
Mereka memang selalu punya cara mengajakku rileks dari hari yang gila.
"Jadi? Ren, kapan kita pergi?" Tanya Luna, kembali memasukkan es krimnya ke dalam mulut.
"Secepatnya."
"Owh, okey."
Hening. Tidak ada yang menyambung percakapan. Sampai smartpadku menyala dengan tanda danger dan bergetar tanda sesuatu yang buruk terjadi.
"Shit. Kita harus pulang."
Aku menarik Ellya dan Luna untuk segera menaiki flyingboard mereka dan kembali ke rumah. Alarm yang lebih serius telah diaktifkan. Penjagaan ketat dari teknologi yang kupasang ternyata tidak mempan dengan kelompok khusus bersenjata.
Bukan, bukan polisi yang kumaksud. Tapi anak buar Mr. Connor. Dia ternyata sangat keras kepala untuk tidak melepaskanku.
"Kenapa, Ren?"
Aku tidak menjawab pertanyaan dari Ellya dan Luna dan memimpin mereka mendarat di rooftop pabrik yang dekat dengan rumah kami. Di sana sudah ada banyak orang, mereka berpakaian hitam dan membawa senjata seperti senapan laras panjang dan tongkat besi.
"Siapa mereka?! Beraninya!!"
"Orang gila." Sahutku tidak serius menaggapi Ellya yang mengumpat. Bisa kami lihat mereka telah menyebar di setiap bagian rumah.
Sekarang yang kupikirkan hanya satu. Jika mereka masuk ke ruang kerjaku, Cyberiens tamat.
"Kita harus menghentikan mereka." Kataku. Ellya dan Luna menungguku bicara, sementara kepalaku tidak bisa diajak kompromi di tengah situasi genting.
"Jika kita menyerang mereka tanpa senjata, itu bodoh." Ellya bersuara padaku.
Lalu Luna menyahut, bertanya padaku, "Rumah itu di bawah kendali Sieren, 'kan? Bisa hentikan dari sini?"
Aku menggeleng kuat. Tanganku menggenggam rambutku yang menyatu, lalu melepaskan ikatnya hingga tergerai sepenuhnya. Kebiasaanku jika sedang stress. Anehnya itu membuat kepalaku terasa lebih ringan dan akhirnya bisa memikirkan sesuatu.
"Kita harus menamatkan permainan mereka, atau kita yang akan tamat."
"Gimana?"
Senyum seringai yang lama tak terlihat, terbit di wajahku. Tanganku mengambil smartpad dan dua persediaan bom asap yang tersisa.
"Ayok main," kataku, mengundang raut bingung dari dua temanku yang kini ikut menaiki flyingboard kembali.
"Jika kalian masih punya bom asap, lempar di sekililing rumah. Pancing mereka buat keluar." Aku tersenyum senang. Mengarahkan Ellya ke kiri dan Luna ke sehelah kanan. Sedangkan aku akan masuk sendirian.
Ayolah, kapan lagi aku bisa berhadapan dengan anggota mafia sungguhan. Ellya dan Luna mengerjakan tugas mereka dengan baik. Aku masuk lewat satu lagi pintu rahasia yang berkamuflase di atap.
Ada satu ruangan di loteng yang kukhususkan untuk menyimpan senjata seperti pistol dan pelurunya, juga beberapa jenis bahan peledak. Ruangan ini terhubung langsung dengan ruang kerjaku. Sayangnya akses untuk turun ke bawah terlalu sulit.
Aku turun melalui tangga kayu yang dipasang vertikal menempel pada dinding. Luas antara dua sisinya pun hanya semuat tubuhku saja sampai aku bisa merasa kesulitan bergerak turun.
Akhirnya aku sampai di ruang kerjaku. Untunglah mereka belum menemukan ruangan ini, jadi masih ada kesempatan untuk menghalau mereka dari sini.
"Ell, berapa banyak yang ngejar kamu?" Bicara melalui earpiece, tanganku masih bergerak dengan cepat untuk bekerja di bawah tekanan tinggi.
"Ga banyak! Mereka susah dikecoh!!" Suara teriakan Ellya membuat telingaku berdengung. Aku tidak bisa kesal karena aku tahu dia juga panik saat ini.
"It's okay. Gimana sama Lune?"
Berkali-kali aku harus mengambil napas dalam. Aku tidak boleh panik. Intinya aku harus mengakhiri mereka sebelum bisa menemukan atau bahkan mengambil data apa pun dariku.
"Kuusahain, Ren! Lumayan banyak yang ngejar aku," kata Luna. Dia tidak terdengar gelisah tapi aku tahu dia sedang panik. Kuingatkan lagi pada diriku sendiri ini bukan waktunya untuk merasa bersalah.
Setelah selesai menyalin data penting ke smartpad, aku menyalakan timer peledak yang pernah kupasang pada pusat tenaga listrik di rumah. Hanya dalam waktu 30 menit, aku harus keluar secepatnya.
Menaiki tangga yang sama menuju atap. Suara pintu yang berhasih dibuka mengagetkanku hingga hampir memekik dan mengundang mereka agar menemukanku. Mereka sudah datang. Aku menaiki tangga semakin cepat dan keluar dengan menggunakan flyingboard.
Baru saja aku keluar, Ellya dan Luna datang dari arah samping dan memberiku arahan untuk lari—maksudnya terbang—dari kejaran.
Ternyata yang mengejar mereka itu dua mobil anak buah mafia dengan senjata masing-masing siap menembak di sisi kanan dan kiri.
Pantas saja mereka panik.
Peluru beberapa kali dilesatkan, kami menghindarinya sambil memikirkan cara untuk menyerang balik. Aku mengikuti mereka—Ellya dan Luna—lalu melempar bom asap pada kaca depan dua mobil itu hingga pandangan mereka tertutup. Berakhir dua mobil itu oleng dan jatuh dengan pendaratan yang tidak mulus.
Kami memperhatikan mereka yang keluar dari mobil berasap itu. Senjata mereka sigap mengarah pada kami. Namun suara ledakan terdengar memekakkan telinga.
Asap mengepul dan puing-puing material berhamburan. Untuk kedua kalinya aku menghancurkan tempat tinggalku sendiri.
"Sekarang, kota Cellion. Lusa kita mendaftar di NCA."
Aku penasaran. Jika aku menetapkan akademi nanti menjadi tempat tinggalku, apa aku juga akan menghancurkannya?
Ahh, apa yang kupikirkan?
Memijit pelipisku pusing, angin panas membuat kepalaku semakin merasa terbakar. Sayang waktu berlibur sudah habis. NCA tidak akan kujadikan sebagai rumah. Tidak ada yang benar-benar layak untuk ditinggali.
Di tengah perbantahan dalam kepalaku, satu bubble notifikasi berhasil membuat layar smartpad berkedip singkat.
Zeusonn : Jangan bertindak ceroboh lagi. Aku tahu kaumenghancurkan server utama milikmu hari ini.
Zeusonn : Datang ke kota Cellion sekarang. Aku menunggumu.
▪︎▪︎▪︎
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA
Fiksi IlmiahMetanoia. [ᴍᴇʜ-ᴛᴀ-ɴᴏʏ-ᴀʜ] • ɢʀᴇᴇᴋ (ɴ.) ᴛʜᴇ ᴊᴏᴜʀɴᴇʏ ᴏꜰ ᴄʜᴀɴɢɪɴɢ ᴏɴᴇ'ꜱ ᴍɪɴᴅ, ʜᴇᴀʀᴛ, ꜱᴇʟꜰ, ᴏʀ ᴡᴀʏ ᴏꜰ ʟɪꜰᴇ; ꜱᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ ᴄᴏɴᴠᴇʀꜱɪᴏɴ. Saat semua orang mengabaikanku, kupilih untuk pergi dan meninggalkan mereka. Mereka menganggapku bodoh, namun mereka mati k...