30. Mau yayah!

4.9K 489 104
                                    

...Happy Reading...

"Yayah, Neo mau yayah hiks

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yayah, Neo mau yayah hiks.. maafin Neo yayah. Neo ja- janji ndak marah-marah yayah lagi hiks.. huaaa.. ndak mau."

Seperti kata Ray kemarin bahwa Neo akan dijemput oleh 'mama' sebutan untuk wanita yang pernah membuat 'ulah' beberapa waktu kemarin, ulah yang menyebabkan Arga dijebloskan ke dalam sel penjara. Dan sekarang Neo tengah meraung-raung tidak ingin berpisah dengan sang ayah.

Mereka bisa saja menebusnya, tetapi perusahaan yang di kelola Arga bukanlah perusahan yang terbesar di dunia maupun orang yang berpengaruh untuk dunia, ia hanya orang biasa perusahannya pun bisa dikatakan salah satu perusahan sukses dari jutaan perusahan dilingkup umum. Ia tidak mungkin membiarkan perusahannya jatuh.

Tapi bukan berarti Arga ingin Neo pergi, mungkin.

"Yayahhh.. huaa.."

Neo mencoba mengapai Arga yang berada di jarak 10 meter darinya, tangannya mengambang di udara badannya mencoba menghapiri sang ayah walau berakhir sia-sia karna dirinya hanya bisa duduk di kursi roda, bukan apa luka tusukan paku Neo belum sembuh total dan Neo tidak bisa memakai tongkat jadi hanya kursi roda yang menjadi pilihannya.

Sebenarnya harus rawat inap takut luka Neo terinfeksi namun wanita yang harus Neo panggil mama ini bersikeras agar Neo rawat jalan saja, ya mau tidak mau Arga turuti.

"Neo, sayang diam dulu ya?! Kita pulang ke rumah besar, punya mama loh." Neo menggeleng dan mulai memberontak kembali ia hanya ingin bersama keluarga kecilnya tanpa sosok mama itu.

"Ck, ayo dong! Mau ya!" Ia malu saat orang-orang memandang ke arah mereka, mereka masih di halaman rumah sakit tebih tepatnya di gerbang keluar.

Di posisi Arga pria itu hanya berdiri diam, melihat Neo yang menagis keras sembari memanggil dirinya Arga mau tak mau menghampiri dua orang yang hampir mirip hanya berbeda pada jenis kelaminnya.

"Neo."

Neo mendongak, ia tak lagi memberontak saat Arga berdiri di hadapannya hanya isakkannya yang dapat terdengar.

"Yayah~" Arga menyamakan tingginya dengan sang anak.

"Pergilah."

Neo terdiam, apakah ayahnya menyuruhnya pergi? Ayah yang paling ia sayangi melebihi dirinya? Ayah yang membuatnya hadir di dunia menyuruh untuk dirinya pergi?

Neo menggeleng, seperti biasanya ayahnya pasti bercanda kan, kan? Atau hanya ia yang sendari dulu menganggapnya bervanda?

"Yayah hiks.." Arga pergi meninggalkan kata yang menyakitkan untuk remaja dengan dunia anak-anak itu. Neo, apakah anak itu akan bisa melupakan sang ayah seperti ia melupakan jika mainannya hilang?

"Ayo, sama mama!" Neo tidak memberontak saat wanita itu memasukan Neo ke dalam mobil putih dibantu sopir pribadinya.

Ares sendari tadi hanya menjadi penonton, persis saat dulu ia melihat tubuh sang bunda yang bersimbah darah tepat di depannya, di depan seorang anak kecil yang membawa boneka hijau di tangannya, boneka yang akan ia berikan untuk salah satu adiknya yang sedang sakit, boneka yang pada akhirnya menjadi teman untuk seorang yang ia benci.

Hari itu Ares kecil melihat kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan dan sebaliknya ingin sekali ia lupakan.

"Maaf." Ares kembali ke ruangan dimana sebelumnya Neo dirawat.

Kakak yang pernah menyayangi adik kecilnya sudah tumbuh bersama kebencian yang ikut tumbuh bak benih yang telah tumbuh menjadi pohon yang mengakar kuat.

'Bang Ales, bunda pelgi. Bunda malahna ke Bang O kenapa Lay juga di tinggal bunda?'

(Bang Ares, bunda pergi. Bunda Marahnya ke Bang Neo kenapa Ray juga di tinggal bunda?)

Kembali ke Neo remaja itu tengah memadang kaca mobil yang transparan, beberapa jam yang lalu ia meninggalkan rumah sakit membawa rasa sakit di hatinya.

Neo mengalihkan pandangannya ke arah sampingnya dimana seorang wanita dengan pakaian modis tengah duduk sembari menatap tablet dengan raut wajah yang terlihat tengah memilih sesuatu.

"Eum.. mama, Neo-"

"Tunggu sebentar." Neo diam, ia sekarang takut. Wanita di sebelahnya tampak tidak menghiraukan kehadirannya bahkan sendari tadi hanya sibuk sendiri membiarkan Neo menangis sesengukan.

Cantik memang dengan pakaian putih di atas lutut, sepatu hitam dengan hak tinggi, dandanan tebal tapi tidak menor membuatnya terlihat bak model, namun nyatanya itu memang pekerjaannya.

Mobil putih melaju dengan kecepatan rata-rata hingga matanya dapat melihat bangunan mewah yang jauh lebih besar dari rumahnya,  manik hitam itu membulat bak anak kecil disodori mainan.

"Yayah, rumahnya besar." Binar Neo meredup saat tersadar Arga tidak bersamanya lagi. Neo menoleh ke arah tempat ibunya, tidak ada hanya ada kursi mobil yang kosong.

Neo dengan cepat keluar dibantu pria yang merangkap menjadi sopir. Neo mengikuti wanita yang bahkan Neo sendiri belum tahu namanya, hanya berbekal kata 'mama' ia bisa memanggilnya.

Neo menatap sekeliling tempat dimana ia akan tinggal. Setidaknya ia tidak tinggal sendiri kan?

Neo dibuat takjub dengan desain ruangan di dalam rumah, terkesan minimalis tetapi kesan mewahnya lebih menonjol.

"SARI!" Seorang perempuan berumur hampir mendekati kepala tiga itu berjalan tergopoh-gopoh menghampiri majikannya.

"Iya, nyonya."

"Bawa anak ini ke kamarnya, saya mau ada pemotretan."
Neo menoleh ke arah sang mama saat wanita itu akan keluar.

"Ma!" Dua wanita itu menoleh membuat Neo semakin memeluk erat tas yang ia beli bersama sang ayah saat mulai akan kembali belajar.

"Em.. Neo boleh ikut?" Neo menunduk saat hanya tatapan tajam yang menjadi jawaban.

"Tidak, dan jangan panggil saya mama panggil saya nyonya Klara, saya tidak punya anak cacat seperti kamu."

Tubuh Neo bergetar, wanita yang memanggil dirinya Klara itu tidak pantas disebut ibu. Klara bahkan tidak mengakui Neo padahal dirinya sendiri yang meminta agar Neo tinggal bersamanya bahkan membuat sekenario yang melibatkan Aega, entah apa yang wanita itu pikirkan.

"Ayo." Sari yang menjadi pembantu di rumah itu mendengus kesal lantaran anak cacat di depannya terlihat akan menyusahkan dirinya nanti.

"Tidak mungkin anak cacat ini anak kandung nyonya klara, palingan pengemis yang minta dipungut."

Tidak bisakah wanita ini berkata lebih pelan atau di dalam hati, jelas-jelas berkata dengan suara berbisik tetapi seperti sengaja agar Neo mendengarnya, apakah ia pikir Neo tak punya hati.

"Ini kamarmu." Neo ditinggal begitu saja di depan pintu bercat putih, ia menatap lantai marmer dengan kosong. Bagaimana ia bisa berjalan, kakinya sakit.

"Yayah, Neo mau yayah." Neo mendorong kursi rodanya seperti yang Ray ajarkan walau dengan susah payah.

Kamarnya nampak sederhana, hanya ada tiga benda kasur tampa ranjang, bantal, dan lemari kayu. Sangat berbeda dengan kamarnya yang dulu.

Neo takut, apakah ia bisa tidur sekarang, sedangkan saat tinggal bersama sang ayah terasa nyaman walau terkadang Arga sendiri acuh saat dulu Ray 'menjahilinya' tetapi itu lebih baik daripada sekarang.

Sekarang, apakah ia akan sendirian? Neo berharap Arga menjemputnya.

Maaf terlambat
..........................

Jangan lupa :

Follow +
Vote ☆
Komentar :o
Share >

Kenapa Harus Neo?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang