26. Binar yang meredup

4.8K 505 59
                                    

...Happy Reading...

Dokter keluar dengan tergesa-gesa, dibalik masker medis nafasnya memburu ditambah dahinya yang berkerut, membuat Arga diliputi perasaan khawatir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dokter keluar dengan tergesa-gesa, dibalik masker medis nafasnya memburu ditambah dahinya yang berkerut, membuat Arga diliputi perasaan khawatir.

"Ada apa, Dok? Bagaimana keadaannya?"

"Saat ini pasien kekurangan darah, dan kami-"

Tuk.. tuk.. tuk..

"Neo kenapa, Dok?"

Arga menatap tajam wanita di depannya yang tiba-tiba menyela, dress span pendek berwarna cream sangat terbuka menampilkan pahanya, sepatu hak tinggi berwarna putih. Entah darimana wanita itu datangnya, yang pasti Arga tidak menyukai situasi sekarang.

"Kami kekurangan stok darah-"

"Ambil darah saya dok, saya ay-" Wanita itu menarik Arga mundur, raut wajahnya nampak khawatir, mungkin.

"Saya dok, saya ibunya, ambil darah saya."

"Apa-"

"Darah anda tidak akan cocok, tuan Arga yang terhormat."
Arga terdiam tidak melanjutkan perkataannya. Benar, darahnya tidak akan cocok. Lalu apa yang harus ia lakukan? Ia ingin egois.

"Dok, biar saya saja yang-"

"Dok, cari di rumah sakit lain, berapapun akan saya bayar." Dokter itu menghela nafas. Beruntung pasien yang ia tangani keadaannya tidak terlalu parah tapi tetap saja harus ditangani dengan cepat.

"Maaf tapi-"

"Dok, akan saya bayar berapapun."

Dokter itu kembali menghela napas, lalu menyuruh perawat untuk membawakan beberapa kantung darah dari rumah sakit lain. Bukan ia menerima karena uang, hanya saja sebagai dokter dia harus memilih, antara meladeni kedua orang egois di depannya yang tengah bertengkar atau menyelamatkan pasien.

"Tunggu, Dok-"

Saat wanita itu akan mengejar dokter yang sudah melangkah kembali ke ruangan tempat Neo dirawat, Arga lebih dulu menarik paksa tangannya mencengkram lengan putih itu dan membawanya ke arah pintu keluar untuk menjauh dari ruangan tempat Neo berada, ia tidak sudi jika wanita itu menemui putranya.

Sreek..

Arga melepas paksa tarikan tangannya, ia tidak peduli bahkan saat wanita itu terluka akibat menabrak pot besar yang bahkan sekarang masih berdiri kokoh tanpa bergeser saking kokohnya.

"Sst.. apa-apaan kamu, Mas!"

"Saya tidak peduli, dan jangan pernah menemui putraku lagi." Wanita itu nampak marah, ia maju selangkah dan-

Plakk..

Arga diam, ia tekejut mendapatkan tamparan yang tiba-tiba. Sedangkan wanita di hadapannya merosot ke lantai membuat beberapa orang menatap kearahnya.

"Aku memang bukan ibu yang baik, dan Neo ada juga kesalahanku. Maaf, tapi biarkan aku menemuinya Mas."

Arga tetap diam, biarlah ia dibilang kejam Arga tak peduli. Arga selalu ada alasan untuk melakukan sesuatu, termasuk pada wanita yang sekarang tengah bersimpuh dengan menangkupkan kedua tangannya, bahkan ia tidak peduli lorong ruamh sakit yang mulai dilalui orang-orang.

"Silahkan pergi, jalan keluar ada disana!"

Wanita itu berdiri dengan wajah yang dipenuhi lelehan air mata.

Orang-orang mulai menatap dua pasangan yang tengah bertengkar, jika dilihat sekilas yang berperan menjadi antagonis itu Arga. Bukankah wanita akan menyebut semua pria sama saja? Dan saat ini Arga tak peduli tatapan orang-orang yang tengah berlalu lalang.

"Mas-"

Arga tidak peduli, ia kembali melangkah ke arah ruangan Neo, akan tetapi suara yang sama kembali terdengar dan terdengar kalimat yang berhasil membuatnya berhenti.

"Kau harus menyalahkan televisi mu besok, pasti akan ada berita yang menarik." Arga menutup mata beberapa detik, mencoba tidak mendengarkan apapun perkataan wanita di belakangnya.

"Benar-benar iblis."

Dua jam berlalu sejak wanita yang mengaku sebagai 'ibu Neo' pergi, yang pasti Arga tak peduli.

Kini pria itu tengah duduk dengan mata memandang lurus, tatapan kosong serta wajah datar membuat emosinya sulit diartikan. Entah pria itu sedih atau memang tak peduli.

Pakaiannya yang penuh darah sudah berganti menjadi kemeja hitam berlengan panjang, sangat tidak cocok untuk pakaian tidur, tapi Arga menyukainya jadi tidak masalah.

"Reina, harusnya aku tak menurutimu."

Arga berdiri, kaki panjangnya melangkah mendekati jendela kaca yang tertutup gorden berwarna putih ke biruan.

Srak..

Arga membuka kain yang menutupi jendela kaca terlihat pemandangan kota malam hari memang menakjubkan jika dilihat dari kejauhan, Arga terkekeh menatapnya. Malam ya?

"Indah, Reina pasti sangat menyukainya."

Arga menatap gedung-gedung yang bercahaya di balik kaca tembus pandang, pemandangan malam yang indah, tapi tidak dengan isinya. Isinya yang penuh kepalsuan dimana orang-orang jahat berkeliaran.

Bisnis gelap, perampok, penjudi, pemabuk, bahkan orang-orang yang menjual tubuhnya hanya demi uang saat ini tengah berkumpul di bawah langit malam berlindung dari pandangan orang-orang bak tikus got.

"Yayah.."

Arga yang tengah melamun dan memandang keluar jendela seketika menoleh saat mendengar suara lirih Neo.

"Aku tidak akan bisa, Reina." Arga memejamkan matanya engan menatap, Neo saat ini membuatnya rapuh. Matanya kembali membuka setelah beberapa detik.

Arga menghela napas dan mulai mendekati ranjang Neo dengan langkah yang dibuat sepelan mungkin, takut suara langkah kakinya akan membangunkan Neo yang masih terpejam dengan mulut yang setia memangilnya.

"Ayah disini."

Arga mendudukan dirinya di samping Neo, tangan kekar itu perlahan menggenggam telapak tangan Neo yang ringkih. Sangat kurus, apa ia terlalu mengabaikan gizinya? Atau memang semua yang ada di diri Neo ia abaikan?

"Yayah.."

"Ya, ayah disini." Arga dapat melihat setetes air mata yang perlahan mengalir dari sudut mata Neo, netra yang selalu menampilkan binar bahagia kini mulai redup dibalik kelopak matanya yang terpejam.

Arga mengeratkan genggamannya, ingin menyalurkan rasa hangat walau tidak dengan hatinya yang sedingin es. Semoga Neo dapat mencairan hati beku itu, ya semoga.

'Neo sayang yayah..' walau tanpa suara Arga dapat mengerti pergerakan bibir pucat itu, sayangnya ia masih sama. Bukankah benci itu wajar? Itu yang selalu ingin Arga tanyakan entah ke siapa.

"Maaf."

Arga mencium punggung tangan Neo yang ia genggam, air matanya turun begitu saja tapi anehnya wajah tampannya itu tetap terlihat datar.

'Yayah, Neo sayang yayah.' Lagi dan lagi ungkapan tanpa suara Neo keluarkan bedanya Arga tidak melihatnya, Arga tidak melihat betapa tulus makna di dalamnya.

Malam itu berakhir dengan Arga yang tidur sembari mengenggam erat tangan kurus Neo.

Maaf terlambat
..........................

Jangan lupa :

Follow +
Vote ☆
Komentar :o
Share >

Kenapa Harus Neo?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang