Meski kota tempat tinggalku bersebelahan dengan ibu kota, tapi tidak lantas jalan menuju rumahku dipenuhi cahaya lampu yang berpendar-pendar. Ada banyak gang-gang gelap dan sempit yang tampak angker, dan tentu saja jarang dilewati orang karena takut. Bukan takut pada setan, melainkan takut kena begal. Karena biasanya aksi kejahatan dimulai dari tempat-tempat yang gelap dan jarang dilalui orang.
Tapi untungnya, jalan menuju rumahku selalu banyak dilalui pejalan kaki. Meski terkadang, ada satu-dua rumah yang enggan menyalakan lampu walau hari sudah berganti malam. Mungkin biar tagihan listrik tidak membengkak, atau biar tidak segera bunyi pip-pip-pip, tanda minta diisi ulang.
Saat aku berpapasan dengan Pak Jali yang sepertinya akan mengopi di warung depan yang sudah kulewati, aku tidak bisa tersenyum selebar biasanya sekadar untuk menyapa. Bibirku sedang komat-kamit merapal sesuatu, dan napasku mengembus dengan deru yang tidak beraturan.
"Seenggaknya, gue sudah bilang sama Mama kan, bodo amat kalau dia mau ngomel," rapalku sejak tadi. Lebih seperti sedang meyakinkan diri. Bahwa tindakanku kali ini seharusnya tidak akan berakibat fatal.
Meski mulutku terus-terusan menceracau--kalau kepulanganku di jam 21.38 ini bukanlah masalah besar--nyatanya jemariku mulai mati rasa. Jantungku juga berdebar kian cepat, seiring nama jalan menuju gang rumahku sudah terlihat dari tempatku berjalan. Dan saat aku sudah masuk gang, aku hanya perlu melangkah kurang dari 20 pijakan, dan di sebelah kanan dari arah kedatanganku tadi, rumah berpagar besi berwarna hitam itu berdiri dengan angker, membuat bulu kudukku refleks berdiri.
Bukan, bukan karena aku takut ada makhluk halus yang kebetulan sedang lewat. Bukan juga takut karena ada begal yang kemungkinan sedang bersembunyi. Tapi lebih dari pada itu, aku takut pada sesosok makhluk yang akan muncul begitu aku membuka pintu masuk rumahku nanti.
Meski aku sudah berusaha membuka pintu gerbangnya dengan pelan sekali—agar tak menimbulkan bunyi derit apa pun—tetap saja aku tahu usahaku akan sia-sia. Karena bagaimanapun, aku tahu hal ini pasti akan terjadi. Sama tahunya seperti matahari akan bersinar di siang hari, dan bulan di malam hari. Dan rupanya prasangkaku benar-benar menjadi kenyataan saat aku baru membuka pintu rumah.
Dila, kakakku, sudah berdiri dua meter dari pintu masuk rumah sambil berkacak pinggang, menatapku dengan sorot mata yang begitu tajam.
"Bagus yah, jam segini baru pulang! Mau jadi apa kamu, hah?! Pakai alasan belajar kelompok segala! Padahal cuma nongkrong nggak jelas, haha-hihi ganggu orang sekitar! Mending nggak usah sekolah aja sekalian! Daripada buang-buang duit nyekolahin anak kayak kam— Woi, kalau ada orang ngomong itu dengerin, udah salah, malah mengeloyor pergi! Dasar anak enggak tahu di—"
Brakkk!!!
Aku langsung membanting pintu kamarku kasar dan menguncinya rapat-rapat. Tiba-tiba saja napasku berubah cepat. Rasa marah yang menggumpal di dalam dada seolah berjejalan ingin keluar. Sumpah serapah dan segala bentuk kata-kata kotor ingin sekali kutumpahkan demi menjawab perkataan kakak yang paling aku benci di dunia ini.
Ya, aku sangat membenci kakakku melebihi siapa pun orang yang pernah kutemui selama hidupku. Tentu saja aku membencinya bukan tanpa alasan. Aku membencinya karena setiap apa pun yang aku lakukan, apa pun yang aku ucapkan, selalu saja salah di mata kakakku. Seperti halnya kejadian tadi, jelas-jelas aku menguras isi pikiranku untuk menyelesaikan tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok pagi, tapi kakak laknatku itu malah menganggapku sebagai pembohong.
Setiap hari, setiap kali berada di rumah, rasanya seperti berada di neraka selama ada kakakku di rumah. Meskipun aku selalu membantu pekerjaan rumah, tapi aku sering dibilang cuma malas-malasan dan nggak pernah bantuin mama. Padahal dia sendiri yang nggak pernah bantuin mama. Giliran dijawab, yang ada omelannya makin panjang kali lebar, dan malah jadi ribut nggak jelas. Didiami malah makin menjadi-jadi. Aku sudah berkali-kali bilang sama mama agar kakak tidak perlu menceramahiku setiap detiknya, tapi rupanya mama saja sampai ikut-ikutan diceramahi kakak. Aku tahu, sekarang memang sudah malam, tapi aku sudah memberitahu mama kalau aku sedang belajar kelompok dan akan pulang agak malam. Eh, malah si laknat itu yang menghadangku dengan garang.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Teen FictionAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...