Itu mimpi tentang Dila yang akhirnya muncul lagi setelah mimpi terakhir saat aku melihat mama papa dan Dila makan bersama. Aku langsung mengatur deru napasku saat berhasil terjaga. Dan benar-benar mengingatnya kuat-kuat. Aku menelepon Bagas, dan menyuruhnya untuk bertemu denganku.
Dengan suara kantuk, Bagas menjawab. "Harus sekarang juga, Nar?" tanyanya terdengar enggan.
Aku melirik ponsel dan melihat jam berapa sekarang. Rupanya sudah pukul 23.11. Aku ingat aku pulang setelah hari berubah petang, kemudian tiduran di sofa dan benaran tertidur di atasnya. Sepertinya Bagas juga langsung terlelap begitu sampai di rumah, dan teleponku pasti sangatlah mengganggunya.
"Ah, enggak kok, maaf. Gue tadi habis tidur dan ke bangun. Kirain sekarang udah pagi. Kita ketemu besok aja ya. Bye." Aku menutup teleponku kemudian berdiri dari sofa. Aku berjalan bolak balik memikirkan arti mimpi barusan.
Kenapa ada Bagas dan Dila di dua jalan yang berbeda? Kenapa aku harus berada di tengah-tengahnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak bisa mengenyahkan mimpi itu dan mencoba sekeras mungkin untuk menguak artinya. Namun, bunyi perut keronconganku membuatku berhenti berpikir, dan memutuskan untuk memasak mie instan saja.
Saat aku sedang menyeruput kuah mie instan, aku mendengar pintu rumahku diketuk. Aku tentu saja merasa syok bukan main. Ini sudah hampir tengah malam, dan ada yang mengetuk pintu rumahku. Meski ketakutan, aku memberanikan diri untuk mendekati pintu masuk.
"Nara, ini gue Bagas!" kata suara di seberang pintu sana, membuat semua ketakutanku langsung sirna.
Aku cepat-cepat membuka pintu rumah dan melihat sebuah motor terparkir di teras rumahku.
"Ngapain ke sini?" tanyaku heran.
Bagas berjalan menuju ruang tamu. Duduk di kursi dan tampak ingin meluruhkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Gue enggak bisa tidur lagi setelah lo telepon. Dari pada gue pecicilan nungguin pagi, lebih baik gue langsung aja samperin lo sekarang."
"Kita bisa digerebek Pak RT kalau ketahuan malam-malam lo ke sini."
"Yang penting kita enggak ngelakuin yang aneh-aneh kan. Motor juga udah gue masukin ke teras. Gerbang juga udah gue kunci. Seenggaknya dari pandangan luar, enggak ada yang tampak mencurigakan."
"Sejak kapan gue punya motor woi? Itu jelas-jelas hal yang paling mencurigakan."
"Nanti bilang aja itu motor teman lo yang mogok dan dititipin di rumah lo. Pokoknya alasannya bisa dipikir nanti lah. Yang lebih penting dari itu..." Bagas menegakkan duduknya, menatapku yang duduk di depannya. "Kenapa lo nelepon gue? Lo bilang lo baru bangun tidur, terus langsung telepon gue. Itu artinya, lo habis mimpi apa?"
Aku tidak tahu kalau kemampuan Bagas dalam mengatasi soal-soal sulit yang baru dia pelajari dengan bimbingan dariku akan membuatnya jadi mudah untuk mengartikan arti telepon dariku beberapa saat sebelumnya.
Karena Bagas sudah di sini, dan karena sejak tadi aku kebingungan memaknai arti mimpi itu, akhirnya cepat-cepat aku ceritakan mimpi itu ke Bagas. Aku ceritakan kebingunganku yang harus berada di tengah jalan. Sementara ada Bagas dan Dila yang sama-sama menyuruhku untuk mendekat, sementara jalan mereka berseberangan.
Bagas terdiam lama, saat aku telah selesai menceritakan mimpiku.
Kebiasaan Bagas dalam mencubit-cubit keningnya saat sedang berpikir aku perhatikan dengan serius. Saat kami belajar bersama, dan Bagas merasa buntu untuk mengetahui jawabannya dia akan melakukan gesture seperti itu.
"Tolong beri gue waktu buat berpikir," katanya setelah terdiam cukup lama. Aku mengangguk. Toh, aku juga tidak ingin mendengar jawabannya secara terburu-buru. Karena ini menyangkut Dila yang keberadaannya sudah lenyap, dan juga menyangkut Bagas yang menjadi satu-satunya orang yang masih mengingat soal Dila.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Novela JuvenilAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...