Bagas pulang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Saat matahari masih belum menyongsong naik. Semalam, Bagas akhirnya menginap di rumahku. Dia tidur di sofa ruang TV, dan semalaman aku memikirkan ucapan Bagas dengan kegundahan yang tak pernah aku alami sebelumnya.
Maka hari itu, aku tidak meminta Bagas untuk datang dan melanjutkan aktivitas kami untuk bertanya tentang Dila. Setelah mengungkapkan analisisnya dan menghubungkannya dengan mimpiku, kami seolah tahu kalau kegiatan kami dalam menanyai orang akan sia-sia belaka.
Seharian aku bengong, mengacak rambut, bolak balik ke luar masuk kamar dan bentuk kegundahan lainnya yang biasa orang lakukan. Saat dipenuhi ketidakmampuan untuk mengambil salah satu keputusan, aku memutuskan untuk berhenti berpikir sementara waktu. Aku membuka kulkas dan mendapati telur di kulkas habis, sedangkan aku bermaksud ingin makan telur ceplok. Jadi aku berjalan keluar rumah dan menuju warung sembako yang sudah menjadi langganan.
"Itu doang, Nar?" tanya Bu Siti, penjual warung sembako.
"Iya, Bu. Jadi berapa ya?"
Bu Siti menyebutkan nominal yang harus aku bayar. Dan aku mengeluarkan uang untuk membayarnya. Aku memang memiliki uang yang cukup banyak dari hasil tabungan kerja papa, dan tunjangan kecelakaan yang mama alami. Sehingga soal uang, aku sama sekali tidak merasa kekurangan. Setidaknya untuk saat ini.
"Oya, Nar, Semalam Dila bolak-balik terus tuh nungguin kamu pulang," kata Bu Siti amat tiba-tiba, saat tangannya hendak menyerahkan bungkusan telur yang aku beli. Mendengar nama Dila tiba-tiba disebut, mataku langsung melebar, dan aku seperti orang yang kesurupan memberondongi Bu Siti dengan pertanyaan.
"BU SITI INGAT KAK DILA?!"
Mendengar teriakanku yang menggebu—karena akhirnya ada orang lain selain Bagas yang mengingat Dila—Bu Siti tampak memasang tampang bingung.
"Eh, memang tadi Ibu bilang apa? Kok, Ibu enggak ingat ya? Dila? Siapa itu, Nar?" Bu Siti tampak linglung. Aku jadi membeberkan fakta bahwa Dila adalah kakakku dan dia sedang hilang jadi aku mencarinya. Bu Siti justru mengatakan kalau setahu dia aku itu anak tunggal. Dan aku menjadi lemas. Setelah sebelumnya hampir menjadi seperti orang gila.
Apa mungkin aku berhalusinasi ya?
Aku keluar dari warung sembako dengan lemas. Dan saat aku berjalan menyusuri jalan untuk menuju rumahku, aku berpapasan dengan tukang nasi goreng yang baru akan berangkat ke pangkalannya. Dan karena kami saling mengenal, aku tersenyum menyapanya.
"Mbak Nara ini enggak semangat banget pasti habis kena omel Mbak Dila ya?"
Senyumku menghilang. Ini bukan halusinasi. Jelas-jelas abang tukang nasi goreng ini juga menyebut nama Dila.
"Abang kenal kakak saya? Kak Dila?" tanyaku mengonfirmasi.
Namun sama seperti Bu Siti tadi, abang tukang nasi goreng pun tampak linglung, dan dia justru minta maaf jika sudah mengatakan hal yang tidak-tidak padaku.
Aku mulai kebingungan dengan fenomena yang baru saja aku alami. Dan rasanya aku tak bisa menahannya sendirian. Jadi aku buru-buru menaruh telur yang aku beli. Aku ganti baju sebentar dan bersiap untuk datang ke rumah Bagas. Aku tidak mau terus-terusan merepotkannya jika Bagaslah yang harus selalu datang ke rumahku. Sekali-kali biar aku saja yang datang ke rumahnya.
Mungkin karena aku tidak meneleponnya lebih dulu, Bagas tampak kaget saat dia diberitahu oleh ibunya bahwa aku datang menemuinya.
Tapi saat aku melihatnya, siku kanan Bagas diperban, dan jelas aku langsung menanyakan sebabnya.
"Cuma lecet doang kok," katanya enteng.
"Tapi lecet kenapa?"
"Papasan sama anak SMP di jalan, dan karena motor dia nendang kaca spion gue, gue jatuh bareng sama motornya jadilah siku kiri gue lecet."
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Teen FictionAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...