Bab 3

60 11 0
                                    

Perlahan-lahan, aku mulai menyesuaikan diri. Saat menyesuaikan diri pada sesuatu yang pada awalnya longgar menjadi ketat, itu pasti akan membutuhkan banyak kesabaran, dan tentu saja menyulitkan. Tapi jika kebalikannya, itu seperti anugerah. Itu seperti harapan, seperti keinginan yang telah lama dinanti-nantikan yang pada akhirnya terwujud.

Aku pun merasa seperti itu. Layaknya narapidana yang pada akhirnya mendapat kebebasan, setelah penantian panjangnya di dalam jeruji besi. Atau petani yang akhirnya mendapatkan hujan setelah berbulan-bulan kemarau. Atau seperti anak yang mendapatkan hadiah kesukaannya setelah lama merengek pada orang tuanya. Aku juga merasakan perasaan penuh dengan rasa lega itu. Perasaan yang membuatku yakin, bahwa dunia ini sepenuhnya telah berpihak padaku.

Aku bangun pagi dengan tersenyum lebar. Aku mandi, gosok gigi dengan tetap tersenyum-senyum sendiri. Saat memakai seragam SMA-ku, aku juga tak bisa menghilangkan senyuman dari bibirku. Aku bersenandung kecil. Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan kebebasan dan rasa bahagia semacam ini.

"Ada apa, sih, Nar? Kok dari tadi senyum-senyum terus gitu? Ada kabar bahagia ya? Cerita dong sama Mama," sapa Mama, saat aku ikut bergabung untuk menikmati sarapan pagi bersama mama dan juga papa.

Aku tersenyum lebar sebelum menjawabnya. "Iya nih, Ma. Nara lagi seneeeeeeng banget soalnya. Karena orang yang biasa bikin Nara stress sudah menghilang selamanya."

Mama yang akan mengambilkan papa nasi, mengernyit bingung. "Menghilang ke mana? Pindah?"

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Enggak tahu. Pokoknya sudah enggak akan gangguin Nara lagi."

"Memangnya selama ini kamu selalu digangguin ya di sekolah? Kok Papa baru dengar sih," Papa ikutan bersuara, nadanya terdengar agak cemas.

"Iya ya, Pa. Mama juga baru tahu kalau Nara ada yang gangguin." Mama menimpali.

Aku buru-buru mengklarifikasi. "Enggak kok, Ma, Pa. Bukan di sekolah."

"Terus?" Mama malah makin bingung.

"Pokoknya ada. Tapi sekarang udah baik-baik aja. Nara jadi bahagia banget pokoknya."

"Tapi kalau ada yang jahatin kamu, jangan pernah kamu coba sembunyiin dari Papa sama Mama loh, Nar. Pokoknya kamu harus selalu cerita. Karena Papa sama Mama nggak mau kamu sampai kenapa-napa," Mama malah jadi terdengar cemas. Padahal maksudku sama sekali bukan begitu.

"Iya, Ma. Nara bakalan langsung cerita kok," balasku untuk membuat mama tenang. "Oya, ngomong-ngomong, Nara sudah mutusin akan kuliah di mana nantinya."

Papa yang sedang melahap makanannya jadi terhenti dan menengok padaku. "Ke mana?" tanya papa, datar saja.

"Ke UI, Ma, Pa. Universitas Indonesia. Pokoknya, Nara bakal belajar yang rajin biar bisa lolos seleksi masuknya." Aku mengembangkan senyum penuh percaya diri.

Papa mengangguk-angguk kecil, kemudian meneruskan makannya. Sementara mama tidak berkomentar. Sepertinya mama sudah tahu kalau aku ingin kuliah di sana.

***

Aku menyapa Ranti dengan riang, sampai Ranti langsung berkata, "Tumben amat pagi-pagi sudah full senyum gitu? Habis liat cowok cakep ya?"

Aku menggeleng, dan membalas. "Ini lebih dari sekadar lihat cowok cakep."

Mata Ranti langsung membulat. "Jangan bilang lo jadian sama cowok cakep itu!?"

Aku memutar bola mataku dengan malas. "Apaan sih, garing!" Aku memutuskan untuk menduduki kursiku dan kembali tersenyum. Namun, Ranti yang rupanya masih ingin bicara denganku menggoyang-goyang bahuku sembari berkata. "Please, kasih tahu gue lo seneng kenapa? Gue penasaran banget nih!"

JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang