Bab 11

36 4 0
                                    

Tiba-tiba di suatu siang, pintu rumahku diketuk. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar ketukan pintu itu. Dan yang lebih penting dari itu, aku tahu siapa yang mengetuknya. Dan itu adalah Bagas. Aku tidak ingin menerangkan pelajaran apa pun untuknya, karena semua pelajaran yang sudah kuperjuangkan untuk kupelajari sudah aku tinggalkan jauh di belakang sana.

Setelah mama meninggal, aku memang sudah tidak berangkat sekolah lagi, karena selain sudah tidak ada kegiatan apa pun di sekolah—karena anak dua belas sudah lulus. Aku juga tidak pernah pergi ke mana pun. Aku tidak pergi untuk melakukan apa pun. Untuk kegiatan apa pun. Papa akan pulang membawa sekantong belanjaan saat melihat kulkas kami kosong, dan aku akan menaruh isi di dalam kantong itu ke dalam kulkas. Aku akan memasak makanan apa pun yang aku bisa. Dan papa memakannya dalam diam.

Aku benar-benar mengisolasi diriku di rumah. Melakukan semua hal di rumah. Berputar-putar, mencari-cari, kemudian duduk bengong dan tidur di rumah. Aku merasa tidak tertarik pada apa pun lagi selain rumah.

Entah apa yang telah hilang di dalam diriku, tapi kematian mama adalah potongan yang sangat memengaruhi kehidupanku. Aku tidak tahu akan sampai kapan aku menjadi manusia tanpa gairah hidup seperti ini. Dan tiba-tiba saja, Tuhan kembali ingin mempermainkanku sehingga satu bulan setelah kematian mama, aku mendengar papa kena serangan jantung.

Aku tidak tahu apa maksud dari semua kejadian yang menimpaku ini. Karena setelah kabar yang kuterima itu, papa rupanya ikut menyusul mama. Serangan jantung yang papa alami merenggut nyawanya bahkan sebelum papa tiba di rumah sakit. Aku praktis menjadi sebatang kara.

Saat rumahku kembali menjadi rumah duka atas kematian kedua yang belum lama ini kualami, Bagas akhirnya bisa bertemu denganku bersama orang-orang lainnya yang menaruh simpati berlebih dan ekspresi penuh rasa kasihan yang mereka tunjukkan. Anehnya, aku tidak menangis barang setetes pun. Aku hanya mengangguk pelan, saat orang-orang memberikan kalimat-kalimat berduka cita padaku. Dan setelah itu, kerabat mama menginginkanku untuk tinggal bersamanya. Aku tidak memberikan jawaban. Dan tanteku itu yang tinggal jauh dari ibu kota memberiku waktu selama beberapa hari sampai akhirnya nanti dia akan menjemputku untuk ikut tinggal bersamanya.

Aku benar-benar telah mati rasa. Aku sudah tidak peduli pada apa pun lagi. Bahkan kata-kata Bagas di hari pemakaman papa, sama sekali tidak masuk ke telingaku. Aku mendengar suara bising dari orang-orang, tapi tidak mampu menerjemahkan apa pun. Seolah suara mereka adalah bahasa asing yang tak kumengerti artinya.

Aku kembali mengunci diriku di dalam rumah setelah hari berduka itu berganti. Aku seperti tidak ingin melakukan apa pun. Aku tidur di lantai dengan meringkuk seperti bayi. Dan suara gedoran pintu yang cukup keras pada akhirnya membuatku terjaga dan mengerjap.

Ah, rutinitas ini akhirnya kembali di mulai. Aku mendengar suara panggilan dari anak laki-laki yang kukenal di luar sana. Suara panggilan Bagas agar aku membukakan pintu. Namun aku bergeming. Aku tidak bangkit dari lantai, dan terus meringkuk. Hanya saja sekarang dengan mata sepenuhnya terbuka.

Entah dengan cara apa, tiba-tiba aku menyadari seseorang mendekat. Entah bagaimana aku tahu kalau itu Bagas—walaupun tidak menatapnya langsung. Dan tak lama setelah itu Bagas berjongkok dan menyentuh keningku. Kemudian tanpa mengatakan apa pun, Bagas menggendongku dengan kedua tangannya. Menggendongku menuju kamar, dan membaringkan tubuhku dengan pelan di atas kasur.

Setelah menyelimutiku, Bagas keluar dari kamar dan aku sendirian. Aku menatap nanar ke atas langit-langit kamar yang kosong. Aku masih tak jua meneteskan sebutir air mata pun setelah kematian papa. Aku menduga kalau stok air mataku telah kering, atau memang karena aku tak berniat lagi untuk memproduksi air mata.

Beberapa menit atau jam kemudian, Bagas kembali datang ke kamarku. Dan dia membawa nampan berisi mangkuk dan segelas air putih. Mangkuk itu mengeluarkan asap di atasnya. Dan setelah nampan di letakkan di atas meja, Bagas beralih untuk menghadapiku. Dia membantuku duduk bersandar pada kepala ranjang, meski aku tidak mengharapkan bantuannya sama sekali. Aku hanya terlalu lemah untuk menolak, atau menepis tangannya di tubuhku yang sedang membantuku duduk. Setelah misi membuat dudukku berhasil, Bagas kembali menatap meja dan mengambil mangkuk dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang sendok. Bagas duduk di pinggiran ranjang dan menuntun tangannya untuk dihadapkan pada mulutku.

JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang