Selama ini, aku selalu mengagumi kemampuan berpikir cepatnya. Saat aku memberinya materi baru, dia akan sangat mudah melahap dan menguasainya. Aku sendiri terheran-heran karena kecerdasannya rasanya jauh berada di atasku. Tapi kemudian, aku sadar, kalau kecerdasannya itulah yang membuat Bagas sampai pada kesimpulan ini. Dan aku jadi membenci kecerdasannya itu. Sangat, sangat membencinya.
Aku akan memarahinya. Berteriak di depan wajahnya, tindakan bodoh apa yang sudah dilakukannya ini. Tapi semua itu hanya bisa dilakukan jika Bagas bersedia membuka matanya kembali.
Benar kata mama Bagas, kondisi Bagas sedang kritis. Saat sampai di rumah sakit, keluarga Bagas menunggui di luar ruangan. Dan hanya diizinkan satu orang saja yang menjenguk. Di dalam sana sedang ada papa Bagas. Karena itulah mama Bagas bisa mengangkat telepon dariku.
"Apa yang terjadi sama Bagas, Tante?" tanyaku dengan diselingi tangis, saat akhirnya aku berhasil menemui mama Bagas.
Tak langsung menjawab, mama Bagas memelukku erat-erat. Dan menangis lebih kencang. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi tatapan saudara Bagas yang lain, yang ikut menunggui di sini menatapku dengan sorot aneh.
Setelah puas menumpahkan tangisannya, mama Bagas akhirnya menatap mataku. Air mata dan ingus sudah bercampur di wajahnya. Meski berusaha keras menghentikan tangisannya, tapi sengal napasnya tetap terisak di sela-sela helaan napas.
"Pagi-pagi ... saat Tante mau bangunin Bagas, Tante malah nemuin Bagas sudah enggak sadarkan diri. Dia..." Mama Bagas tak sanggup melanjutkan ceritanya dan menangis lagi. Namun aku merangkul pundaknya dan menangis bersama. "Tante enggak tahu apa yang membuat anak Tante berpikiran pendek seperti itu. Tapi yang Tante lihat, Bagas telah meminum sesuatu yang membahayakan nyawanya. Karena Tante menemukan Bagas sudah dalam keadaan mulut berbusa. Bagas sepertinya mencoba untuk bunuh diri."
Aku merasa jantungku berhenti berdetak mendengar ucapan mama Bagas itu.
Bunuh diri? Kenapa Bagas malah melakukan hal tidak masuk akal seperti itu? Apa yang terjadi? Bukankah tadi pagi aku masih bisa meneleponnya? Aku merasa kekuatanku tercerabut, dan aku jatuh merosot begitu saja. Aku terlalu syok menghadapi ini semua. Saat dua kematian sempat membuatku mati rasa dan tak peduli lagi pada hidup, Bagaslah yang selalu ada di sisiku dan membuatku kembali bersemangat. Namun kini, orang yang selalu ada di sampingku, orang yang tergila-gila padaku itu justru mencoba untuk bunuh diri.
Mama Bagas ikut terduduk bersamaku. Dia memelukku sambil menangis. Dan aku tidak tahu kepedihan apa lagi yang harus aku tanggung setelah ini.
Saat kami sudah menangis terlalu lama, papa Bagas keluar dari dalam ruangan. Wajahnya sekeras batu, dan matanya semerah tomat. Mama Bagas langsung berdiri dan menyambut suaminya dengan satu pertanyaan, "gimana keadaan Bagas, Pa?"
Papa Bagas tidak berkata-kata, tapi wajahnya mengguratkan kesedihan yang sangat dalam. Karena tak sabar dengan jawaban yang tak kunjung didapatkannya, mama Bagas akhirnya bersiap untuk masuk ruangan. Tapi sebelum masuk, mama Bagas menengok ke arahku, dan menyerahkan sesuatu dari saku celananya.
"Saat Tante menemukan Bagas di kamar, Tante juga menemukan surat ini." Mama Bagas mengulurkan tangannya untuk memberiku sebuah kertas yang sudah kusut.
Aku menerima kertas yang diangsurkan mama Bagas dengan tangan gemetar. Aku juga mencoba menguatkan diri, sehingga kembali berdiri dengan kedua kakiku.
Meski mataku buram oleh air mata, tapi perlahan-lahan, aku membaca tulisan di dalam kertas tersebut.
Untuk Nara.
Sebelumnya gue mau minta maaf. Lo pasti sedih banget saat membaca tulisan gue ini. Tapi, gue bisa jelasin semuanya ke lo. Soal apa yang terjadi sama gue sekarang, dan kenapa gue ngelakuin hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Teen FictionAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...