Saat sampai di dapur yang satu ruangan dengan ruang makan, aku terkejut karena Bagas sudah menyiapkan beberapa menu masakan di piring. Ada sekitar satu, dua, tiga, empat piring lauk yang tersedia. Sementara ada dua piring kosong di atas meja di masing-masing kursi. Aku akhirnya duduk di salah satu kursi, dan secara otomatis Bagas duduk di kursi satunya.
"Ini semua lo yang masak, Gas?" tanyaku kaget bercampur takjub.
"Gue cuma lihat resepnya di internet. Pas gue buka kulkas ada beberapa sayuran, dan daging yang bisa gue olah. Jadi gue mengolahnya dengan tanpa pengalaman memasak sebelumnya."
"Tapi hasilnya cantik kok," pujiku.
"Tapi gue enggak tahu rasanya."
"Emang lo nggak nyicipin dulu rasanya?"
Bagas menggeleng. "Gue cuma ngikutin resepnya sebaik mungkin, jadi sedikit banyak rasanya tidak akan seburuk itu. Seenggaknya masih akan layak dimakanlah."
"Siapa yang tahu, tapi gue puji kehebatan lo buat menyajikan masakan dengan cantik seperti ini."
Tampilan yang aku lihat di piring-piring yang tersaji di atas meja memang bukan sekadar pujian semu. Itu nyata adanya. Ada bakmi telur dan sosis yang di atasnya ada daun yang aku juga tidak tahu apa namanya. Atau gorengan tempe yang tampak renyah, ayam balado yang sambalnya tampak menggoda, dan juga ada sambal goreng tempe yang rasanya sudah lama tidak aku kecap.
Selama aku memasak untuk makanku dan papa, aku hanya memasak nasi goreng, telur dadar, telur ceplok, maupun mie instan. Aku tidak pandai memasak. Karena selama ini tugas membantu memasak jatuh kepada Dila. Jadi aku tidak bisa memasak makanan rumit seperti yang sudah disajikan Bagas ini.
Aku mulai bernafsu untuk mengisi perutku. Pada awalnya aku mengambil centong nasi, dan mengambil nasi yang sudah ditaruh di wadah nasi oleh Bagas. Setelah nasi sudah berada di piring, aku mengambil satu potong sayap ayap yang dilumuri bumbu merah. Aku juga menambahkan sambal goreng tempe, dan mengambil satu potong gorengan bakwan. Meski piringku penuh dengan aneka lauk, tapi aku tidak merasa kebingungan bagaimana aku akan menghabiskannya.
Mulanya satu suapan, dan lidahku mulai membiasakan rasa yang baru saja masuk ke dalam mulut. Aku mengunyah dalam pelan, dan diam. Di depanku, ada Bagas yang memperhatikanku makan. Dan entah kenapa, aku merasa sangat beruntung bisa mencicipi masakan Bagas ini. Rasanya enak, dan pas. Mirip seperti masakan Mama.
"Akhirnya gue bisa lihat lo nangis lagi," ucap Bagas kemudian. Aku awalnya bingung dengan maksud ucapannya sampai aku sadar sudah ada air mata yang merembes melewati pipiku.
"Gue ... cuma lagi keinget sama masakan mama," kataku dengan isakan pelan.
Bagas tidak berkata-kata. Dia cuma melakukan hal yang sama sepertiku, mengambil nasi dan menumpahkan lauknya ke atas piring. Aku juga melahap makananku dengan agak rakus. Mungkin karena aku merasa Bagas benar-benar berjuang keras untuk menghibur kesedihanku ditinggal mama sama papa, jadi aku membalas usaha kerasnya itu dengan sedikit antusias.
"Makasih ya, Gas, lo udah berusaha ngehibur gue kayak gini," ucapku saat makanan di piringku tinggal sepertiganya saja. "Tadinya gue emang udah frustrasi banget dan nggak peduli sama apa pun lagi. Tapi kedatangan lo, dan kebaikan lo dengan masakin gue kayak gini, akhirnya bisa bikin gue nggak perlu merasakan mati rasa lagi." Aku menyedot hidungku karena rupanya ucapanku mengandung bawang.
"Lo nggak perlu berterima kasih sama gue, Nar. Justru guelah yang harus berterima kasih sama lo. Semenjak lo nyapa gue di perpustakaan waktu itu, sampai akhirnya lo ngajakin gue buat belajar bareng, gue enggak pernah nyangka kalau gue bisa sampai sejauh itu. Semuanya berkat lo, Nar."
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Teen FictionAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...