Bab 7

40 6 2
                                    

Aku hampir sepenuhnya melupakan soal keberadaan Dila yang telah lenyap dari hidupku dan dari hidup semua orang yang mengenal Dila. Seolah-olah catatan kehidupan yang selama ini kami jalani telah ditulis ulang, dan keberadaan Dila telah resmi dihapuskan tanpa jejak.

Aku juga tidak perlu terpaksa memakan sarapanku saat aku kesiangan, karena Dila akan mengunci pintu rumah kami dan melarangku keluar rumah sebelum aku selesai sarapan. Aku biasanya akan makan sambil ngedumel dan marah-marah, tapi kini aku tidak perlu lagi berurusan dengan Dila.

Saat itu, masih hari ujian, aku kembali melanjutkan belajar begitu sampai di rumah. Ada materi baru yang ingin aku pelajari terlebih dulu sebelum membaginya dengan Bagas. Jadi, aku baru tidur setelah jam digital di kamarku menunjukkan angka 00.37. Akibatnya aku bangun kesiangan. Aku bilang pada mama kalau aku tidak sempat sarapan dan akan makan di sekolah saja. Meskipun mama mewanti-wanti untuk makan roti atau apa pun begitu sampai sekolah, tapi ujian akan dimulai sebentar lagi, aku jadi melewatkan sarapan. Meski perutku keroncongan karena tidak sarapan, tapi saat jam istirahat tiba, aku langsung pergi ke kantin dan memesan soto ayam dengan nasi yang agak banyak.

Saat jam bebas seperti hari-hari setelah ujian berakhir, aku lebih sering melewatkan sarapan. Aku bilang pada mama kalau aku akan makan di sekolah saja. Karena sedang jam bebas, jadi aku tidak perlu menunggu sampai jam istirahat tiba. Aku bisa makan kapan saja meskipun baru datang ke sekolah.

Namun, di beberapa kesempatan, Bagas biasanya sudah ada di depan kelas, menungguku datang. Dia bilang latihan soal yang sudah dikerjakannya itu ingin segera langsung aku koreksi. Jadi dia menungguku dan memintaku untuk mengoreksinya secepat mungkin. Akhirnya, aku dan Bagas pergi ke perpustakaan bersama-sama. Untuk kejadian khusus seperti itu, alhasil, aku jadi melupakan soal sarapan di sekolah. Aku fokus belajar, dan belajar. Sampai Bagas mengerang kecapean, dan perutnya keroncongan. Saat itulah, baru aku ingat kalau aku sudah melewatkan sarapan.

Saat hari penerimaan rapor tiba. Aku sangat penasaran dengan nilai rapor Bagas, dan ada di peringkat berapa sekarang. Dengan banyaknya waktu yang sudah kami habiskan bersama untuk belajar, tentu saja aku menginginkan hasil ujian Bagas tidaklah mengecewakan.

Aku sendiri tetap berada di sepuluh besar. Dan saat Bagas menghampiri kelasku sembari membawa buku rapornya, senyum cerahnya menghiasi bibirnya. Dan wajahnya tampak amat semringah. Aku menduga kalau hasil nilainya cukup bagus sampai membuat Bagas tampak seriang itu.

Dan rupanya Bagas berada di peringkat 18 dari 350 siswa. Aku benar-benar dibuat terkejut dengan kemampuannya itu. Dari yang tadinya peringkat 250, kini Bagas langsung melesat cepat menjadi peringkat 18. Padahal Bagas hanya mempelajarinya kurang dari satu bulan, tapi kemampuannya sungguh seluar biasa ini.

"Makasih banyak ya, Nar, berkat bimbingan belajar dari lo, nilai gue naik drastis dibanding saat masih kelas sebelas dulu," ucap Bagas dengan senyuman lebarnya.

Aku yang masih tidak percaya dengan peringkat Bagas yang mampu mengalahkan anak-anak IPA, langsung memaksakan senyum. "Itu semua berkat kemampuan lo sendiri kok."

"Jawaban yang merendah, ya." Bagas tersenyum sambil manggut-manggut. "Tapi gimana pun juga gue mau ngucapin makasih sama lo. Dan kalau boleh, sepulang ini, kita belajarnya di kafe aja ya, biar bisa sekalian gue traktir. Sebagai ucapan terima kasih dari gue."

Aku sebenarnya merasa enggan dengan ucapan terima kasih dari Bagas itu sampai ingin mentraktirku segala. Tapi mengingat kami selalu belajar di perpustakaan kota, jadi tawaran Bagas untuk sesekali belajar di kafe tidak buruk juga. Jadi aku menyetujuinya.

"Lo boleh pesan apa aja yang ada di menu, gue yang bayarin semua pokoknya," kata Bagas dengan nada mantap, saat kami berdua sudah duduk di meja paling belakang, yang mana tempatnya paling sunyi di antara meja-meja lain.

JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang