Aku tak bisa berhenti mengucurkan tetes-tetes air mata selesai membaca tulisan dari Bagas. Sejak beberapa hari terakhir ini, aku memang akhirnya tahu bagaimana perasaan Bagas terhadapku. Bagaimana Bagas berusaha untuk selalu ada di sampingku. Rela melakukan semuanya demi aku. Tapi aku tidak tahu kalau Bagas akan bertindak sejauh ini demi aku.
Apa sebenarnya Bagas memang bodoh? Kenapa dia bermain-main dengan nyawanya sendiri untuk sesuatu yang tidak pasti. Bagaimana kalau semuanya tidak bisa kembali seperti semula, dan Bagas benar-benar meninggalkanku untuk selamanya.
Aku pasti tidak akan sanggup untuk hidup lagi.
Tapi lebih dari pada itu, aku menyesali satu hal yang tidak pernah aku ungkapkan pada Bagas sejak dia menyatakan perasaannya padaku. Satu hal yang saat ini sangat kusesali karena Bagas mungkin sudah merencanakan semua ini untuk mati meninggalkanku. Jadi, kapan aku bisa memberikan jawaban untuk Bagas atas perasaanku padanya?
Seharusnya aku mengatakannya sejak hari itu. Sejak Bagas menyuapkan bubur untukku. Seharusnya saat itu, aku memegang tangannya dan mengatakan bahwa aku juga sangat mencintai dan menyayanginya.
Kemudian setelah kini aku sadar, semuanya sudah terlalu terlambat untuk aku sesali.
***
Saat aku puas melampiaskan tangisanku sendirian, akhirnya aku kembali ke ruangan Bagas lagi. Meski Bagas bilang semuanya sudah menjadi rencananya, aku tetap tidak akan pernah bisa terima. Aku tidak akan membiarkan Bagas pergi meninggalkanku. Aku akan menggoyang-goyangkan tubuhnya dan memintanya untuk membuka mata.
Namun, saat aku sampai di depan ruangan Bagas, sudah tidak ada siapa pun lagi yang berdiri menunggu. Aku mempercepat langkah. Mencari siapa pun yang bisa aku tanyai. Dan saat aku memutuskan dengan seenaknya memasuki ruangan Bagas, yang aku temukan hanyalah perawat yang sedang membereskan ruangan itu.
"Di-di mana pasien yang dirawat di sini, Sus?" tanyaku dengan ekspresi tidak karuan.
Dua perawat yang sedang membereskan tempat itu saling berpandangan dengan tatapan sendu. Dan tak butuh waktu lama saat salah satu dari mereka akhirnya menjawab, "pasien sudah dipindahkan ke kamar jenazah, Kak."
Seketika saja aku merasa seperti dunia telah dijatuhkan tepat di depan mataku.
***
Aku membuka mata, dan menemukan tubuhku tidak berada di rumah sakit. Juga bukan berada di rumah. Aku tidak sedang berada di mana-mana. Aku bahkan tidak menginjakkan kakiku di tanah. Aku tidak tahu di mana aku sekarang. Hanya saja tempat ini, sama sekali belum pernah aku lihat sebelumnya. Tempatnya terasa begitu asing.
Ini seperti berada ... di dalam bioskop (?) tapi tidak ada kursi-kursi di sekitarku. Meski seluruh ruangan gelap dan hanya ada layar putih di depanku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai di tempat asing ini? Tapi saat aku mulai berjalan menjauhi layar putih yang sangat besar itu, ternyata muncul lagi layar putih besar yang lain, dan rupanya layar putih itu beranak pinak sampai aku merasa terkepung di ruangan yang dikelilingi layar putih.
Sebenarnya aku ada di mana? Pertanyaan itu terus terulang di dalam pikiranku.
Dan saat aku mulai frustrasi menemukan jawaban keberadaanku, layar besar yang tadinya hanya menampilkan gambar putih itu mulai memutarkan sebuah film.
Aku pikir itu film, karena gambarnya bergerak dan menampilkan sebuah adegan. Namun saat aku teliti baik-baik, adegan yang muncul di layar itu bukanlah sesuatu yang asing. Karena di sana aku melihat ada orang yang mirip dengan papa dan mama. Aku katakan mirip karena wajah mereka bukanlah wajah mama-papa yang terakhir kali aku ingat. Itu seperti wajah papa dan mama sewaktu mereka masih muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
JugendliteraturAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...