Adalah Ranti.
Yang pertama kali meledekku, saat teman sekelasku berteriak di ambang pintu begini. "Nar, ada yang nyariin lo tuh. COWOK!" katanya, sengaja menekankan kata 'cowok' dengan suara yang lumayan keras.
Aku cuma memberi jawaban oke, dan bersiap mengemasi barang-barangku untuk keluar kelas. Namun, Ranti yang ikut mendengar ucapan teman sekelasku tadi langsung bangkit dari kursi dan menyentuh pundakku.
"Lo ... punya pacar sekarang, Nar?" tanyanya dengan suara tercekat. Saking tidak percayanya dengan persepsi soal aku punya pacar.
"Bukan pacar. Cuma teman yang mau sama-sama masuk UI," jawabku jujur. "Mulai hari ini dan seterusnya, gue bakal belajar bareng sama dia biar bisa tembus seleksi masuknya."
Ranti melongo.
"Kalau lo mau ikut, lo juga bisa gabung bareng kita kok," ajakku pada Ranti. Tapi Ranti sepertinya masih setengah terkejut mendengar ucapanku. Jadi dia hanya menghempaskan tubuhnya kembali ke kursi.
"Kalau gitu gue duluan ya." Aku berlalu meninggalkan Ranti yang masih terbengong-bengong melihatku pergi.
Aku tahu Ranti tidak akan mengikutiku. Ranti benci belajar, dan dia tidak tertarik masuk universitas. Padahal aku tahu betul, sejak aku dan Ranti sekelas bareng di kelas XI, aku tahu dia masuk kelas IPA 1 karena kemampuannya yang lebih pintar dari yang lain. Namun, saat orang pintar digabungkan dengan orang-orang pintar lainnya, orang pintar macam Ranti entah kenapa merasa tertinggal dan memutuskan untuk menjadi bodo amat, sehingga dia datang ke kelas hanya sebagai rutinitas harian saja. Dan Ranti bilang, kalau dia akan langsung bekerja, karena setelah dia lulus ada adiknya yang akan masuk SMA, sementara keluarganya bukanlah keluarga yang berkecukupan yang mampu menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang paling tinggi.
***
Aku pulang bersama Bagas dan kami mulai mencari tempat belajar di perpustakaan kota. Bagas takjub saat pertama kali datang ke perpustakaan ini. Seumur-umur dia tinggal di kota ini, dia tidak pernah tahu kalau kota ini punya perpustakaan. Sepertinya Bagas perlu diberi pengarahan oleh Pak Wali Kota soal ini, sehingga dia tidak akan mempermalukan kotanya nanti saat berada di kota lain.
Tiba-tiba aku jadi teringat pertama kali aku tahu perpustakaan ini ketika aku masih kecil dulu. Mungkin saat aku masih sekolah dasar. Dan yang menyebalkan dari itu adalah aku datang ke perpustakaan ini bersama Dila.
Mungkin saat itu Dila masih belum segarang terakhir kali, sehingga kami masih bisa bermain sebagai saudara yang akur dan mungkin saling menyayangi. Namun, jelas itu bukan Dila yang aku doakan keberadaannya lenyap. Karena Dila yang aku ingat saat aku masih kecil adalah Dila yang baik hati dan lembut. Bukan Dila yang jahat yang sudah dirasuki iblis beserta pengikut-pengikutnya.
"Selama ada di sini, kita enggak boleh bersuara keras. Ada tulisannya di setiap sudut tuh," ucapku sembari menunjuk tulisan-tulisan 'dilarang berisik'.
Bagas mengangguk-angguk dan berbisik. "Pantesan suasananya jadi hening gini. Gue mau bersin aja ngerasa takut jadinya."
Aku tersenyum kecil padanya. "Tapi ini suasana yang pas buat belajar kan? Di sini juga banyak buku-buku penunjang yang bakal mudahin kita buat belajar."
Bagas mengangguk-angguk sambil kepalanya melihat sekeliling. Melihat buku-buku yang tersusun rapi di antara rak-rak buku. Aku ingat sensasi itu. Saat pertama kali diajak ke perpustakaan atau ke toko buku di mana banyak buku-buku berjejalan dengan rapi. Aku ingat saat jemariku mulai memilah-milah jenis buku, nama buku dan kover buku yang menarik pandangan. Saat itu aku sadar, kalau aku memang sudah suka membaca sejak aku masih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Teen FictionAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...