"Mama sama Papa benaran nggak ingat sama Kak Dila?" Aku mengonfirmasi ulang.
Mama dan papa menggeleng bersamaan.
Aku menahan napas tidak percaya. Beberapa detik kemudian jadi celingukan, mencari keberadaan Dila barangkali sudah pulang dari keluyurannya, sampai lupa nggak bantuin mama.
Tapi, di dapur dan di ruangan yang terhubung dengan dapur ini tidak ada bayangan apa pun. Tidak ada tanda-tanda siapa pun. Biasanya di jam segini, Dila akan menjadi makin afdal dalam memberikan makian berkedok ceramah dan nasehat padaku. Yang tidak akan berhenti sampai aku memutuskan kabur ke dalam kamar, dan diteriaki oleh Dila sebagai adik dan anak yang tidak berguna.
Tunggu sebentar, alih-alih syok bercampur bingung, seharusnya aku menyadari kalau keanehan ini tidaklah nyata. Ini mungkin saja mimpi. Ya, mimpi. Karena pulang sekolah aku langsung bergegas ke kamar dan main HP, hal itu pasti membuatku kecapean dan jatuh tertidur. Sehingga yang kualami sekarang adalah bagian dari bunga tidur semata.
Plakk!!!
Aku menampar kedua pipiku secara bersamaan untuk menyadarkan diri dari dunia mimpi. Mimpi ini, rasanya sudah tidak menarik lagi karena mama dan papa masih berdiri menatapku dengan penuh rasa bingung.
"Ya Allah, Nara, kamu ini apaan sih, bikin kaget Mama saja. Tahu-tahu ngeplak pipi gitu. Sakit kan?" Mama berkomentar dengan nada terkejut.
"Iya, sakit. Tapi katanya kalau lagi mimpi, nggak bakal ngerasa sakit, tapi kok ini sakit sih." Aku bergumam sendiri.
Mama membuang napas berat dan berkata. "Hari ini kamu benaran aneh deh, Nar. Sudah ngomong aneh-aneh soal Mama sama Papa yang punya anak selain kamu, ini lagi malah kamu meracau enggak jelas gitu."
"Mungkin itu cuma alasan Nara nggak mau bantuin Mama kali," Papa mulai cekikikan.
Mama langsung membuka mulut dan mengangguk-angguk paham. "Jadi begitu rupanya ya?" Mama menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Enggak mau bantuin Mama, ya?"
"Mau kok, Ma, mau!" Aku yang merasa tersudut jadi refleks membela diri. Dan sepertinya aku sadar kalau saat ini aku memang sedang tidak bermimpi.
Soalnya saat aku bermimpi, struktur waktunya akan menjadi aneh. Urutan kegiatan yang dilakukan pun akan menjadi campur aduk. Contohnya setelah melakukan A, akan menjadi J atau R bukannya B. Dan kadang-kadang yang aku pikir itu aku, ternyata malah berubah jadi orang lain.
Apalagi jika dibandingkan dengan kejadian di mimpi, kejadian yang sedang terjadi sekarang sangat terstruktur dan tidak tumpang tindih. Aku bisa dengan jelas merasakan kalau aku memanglah aku. Tidak berubah menjadi orang lain. Jadi akhirnya aku menyadari kalau ini bukanlah mimpi. Tapi kalau bukan mimpi, apa maksudnya dengan Dila Arumi bukanlah anak pertama papa dan mama?
Bukankah itu tidak mungkin? Karena sebenci-bencinya aku sama Dila, aku tahu betul kalau Dila adalah kakakku, kakak kandungku. Aku tahu beberapa persamaan bentuk wajah antara aku dengan Dila. Banyak orang bilang kalau mataku dengan mata Dila sangat mirip, berwarna coklat terang dan agak sayu. Aku jelas tahu orang yang bermata sayu cenderung memiliki mata yang tampak mudah menangis. Namun mata Dila 1000% tidak pernah tampak seperti akan menangis, justru tampak seperti mata yang selalu membuat orang menangis. Karena mata Dila saat menatapku selalu melebar dan tampak hampir copot.
Apa mungkin hari ini adalah hari ulang tahunku(?), sehingga mama dan papa kompak sedang mengerjaiku. Tapi tunggu, bukankah saat di sekolah Ranti juga memiliki ekspresi yang sama seperti mama dan papa, saat aku berusaha membahas soal Dila?
Aku akhirnya memutuskan untuk meninggalkan dapur dan menuju ke lantai dua. Rumahku memang terdiri dua lantai. Tapi di lantai kedua hanya ada balkon, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Di mana di situlah kamar Dila berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIKA DI(L)A TAK PERNAH ADA (TAMAT)
Teen FictionAku tidak tahu kenapa semua yang aku lakukan selalu salah di mata Dila, kakakku. Sampai aku berharap, jika saja aku tidak pernah punya kakak seperti Dila. Jika saja mama dan papa tidak pernah melahirkan Dila. Jika saja Dila lenyap dari muka bumi ini...