EL - 06

485 27 3
                                    

Sudah dua bulan berlalu sejak Kak Zafran menghilang, seolah ditelan bumi. Kehilangannya menyisakan bekas yang mendalam dalam hidupku. Setiap hariku terasa lebih lambat, diisi oleh kenangan yang terus menghantui pikiranku. Seperti burung terkurung dalam sangkar, aku berusaha keras untuk melupakan sosoknya, tetapi rasa rindu itu kerap menghantui, membuatku merasa kosong dan tidak berdaya. Dalam upaya untuk melupakan Zafran, aku terpaksa kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku, berharap kesibukan bisa menjadi pelarian dari rasa sakit ini.

Di tengah kesedihan ini, muncul seorang pria bernama Adrian Sasmita. Ia adalah seorang pengusaha sukses di dunia perfilman yang kutemui pertama kali di acara ulang tahun perusahaan papaku. Senyumnya yang hangat dan sikapnya yang sopan membuatku merasa nyaman, sesuatu yang sudah lama tidak ku rasakan. Tanpa aku sadari, kehadirannya mulai mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Zafran.

Adrian mulai mendekatiku dengan caranya yang manis dan penuh perhatian. Setiap pagi, pesan-pesan manisnya memenuhi ponselku, memberikan semangat baru di setiap awal hariku. "Selamat pagi, Nina. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa sarapan ya," tulisnya dengan nada lembut yang selalu membuatku tersenyum. Tak jarang, dia juga mengirimkan bunga-bunga segar ke kantorku, lengkap dengan catatan yang menyentuh hati. Meskipun aku belum bisa mencintainya sepenuh hati, aku tak ingin mengecewakan sosok yang sudah bersikap baik padaku.

Suatu sore, saat matahari mulai meredup dan langit berwarna keemasan, Adrian menjemputku dari kantor. "Nina, aku punya kejutan untukmu," katanya dengan senyuman cerah. Ia membawaku ke sebuah restoran mewah yang terletak di puncak gedung, menawarkan pemandangan kota yang menakjubkan. "Aku ingin membuatmu bahagia," ujarnya saat kami duduk menikmati hidangan malam yang lezat. Dalam hatiku, aku merasa ada harapan baru, meskipun masih ada bayangan Zafran yang mengintai.

Adrian selalu mendengarkan ceritaku dengan seksama. Ia membuatku merasa bahwa setiap yang aku katakan adalah penting baginya. Suatu malam, ketika kami duduk di taman yang sejuk, ia mengungkapkan, "Nina, aku tahu kamu masih merindukan Kak Zafran. Aku tidak ingin menggantikannya. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang bisa membuatmu bahagia." Dalam benakku, aku merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Di satu sisi, ada rasa bersalah karena menerima cinta yang belum sepenuhnya bisa kubalas. Namun, di sisi lain, ada rasa tenang ketika bersamanya.

"Adrian, kamu begitu baik. Aku benar-benar bersyukur bisa mengenalmu," kataku, berusaha jujur tanpa mengabaikan perasaanku yang rumit. Adrian tersenyum, menggenggam tanganku lembut. "Kita jalani ini perlahan-lahan, Nina. Aku yakin, seiring berjalannya waktu, cinta akan tumbuh dengan sendirinya." Satu harapan yang membuatku merasa sedikit lebih ringan, meski aku tahu bahwa hatiku belum sepenuhnya bisa berpindah.

Hari-hari berikutnya, Adrian menunjukkan cintanya dengan cara yang sederhana namun berarti. Dia selalu memastikan aku merasa nyaman dan dihargai. Di akhir pekan, dia mengajakku berlibur ke sebuah vila di pegunungan. "Aku ingin kamu bisa bersantai dan menikmati waktu bersama," ucapnya dengan tulus. Di vila tersebut, kami menikmati momen-momen berharga. Kami berjalan-jalan di hutan yang sejuk, berbincang di bawah bintang-bintang, dan terpesona oleh keindahan alam yang menenangkan jiwa.

Suatu malam, setelah menikmati makan malam yang lezat di teras vila, kami duduk bersisian di bawah langit berbintang. Dalam ketenangan malam itu, suara dedaunan yang berdesir dan cahaya bintang yang berkelap-kelip membuat suasana semakin intim. "Adrian," kataku sambil menatap langit malam. "Aku tahu kamu berusaha keras untuk membuatku bahagia. Mungkin aku belum bisa mencintaimu sepenuhnya saat ini, tetapi setiap kali aku bersamamu, aku merasa ada yang berbeda dalam diriku." Aku berharap pernyataan itu tidak membuatnya merasa tersakiti.

Adrian menatapku dalam-dalam, seolah berusaha menangkap semua perasaan yang terpendam. "Aku tidak ingin memaksakan apapun, Nina. Yang aku inginkan hanyalah melihatmu bahagia. Aku bersedia menunggu sampai kamu siap." Kata-katanya membuatku terharu. Rasanya seperti mendapatkan pelukan hangat saat aku merasa sendirian. Mungkin, dia bukan Zafran, tetapi dia memiliki caranya sendiri untuk membuatku merasa berharga.

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang