EL - 08

533 30 1
                                    

Tepat tiga bulan setelah Nina memulai hubungan barunya dengan Adrian, hari itu terasa istimewa, bagaikan halaman baru yang ditulis dengan tinta emas. Adrian membawanya ke sebuah taman yang terkenal akan keindahan dan romantisnya, tempat yang dipenuhi bunga-bunga yang sedang mekar dengan segala warna dan wangi yang menawan. Sinar matahari sore membanjiri taman itu dengan kehangatan, menciptakan suasana yang membuat jantung Nina berdebar penuh harapan. Setiap langkah yang mereka ambil seakan menuntun mereka menuju masa depan yang cerah dan bahagia.

Saat mereka berjalan beriringan di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rimbun, aroma bunga-bunga yang sedang mekar meresap ke dalam hidungnya. Namun, di balik kebahagiaan yang menyelimuti hatinya, ada bayang-bayang masa lalu yang tak kunjung pudar. Ketika tiba-tiba Adrian berhenti dan berjongkok di hadapannya, jantung Nina berdegup kencang. Dengan senyuman lembut yang terukir di wajahnya, Adrian membuka sebuah kotak kecil berisi cincin berlian yang berkilauan seperti bintang di malam hari.

"Nina, will you marry me?" tanyanya dengan suara penuh harapan yang meluluhkan hati.

Air mata haru langsung menggenangi mata Nina. Momen ini begitu indah dan mengharukan, tetapi dalam hatinya, ada rasa berat yang menyesakkan. Bayangan Zafran, kakaknya yang kini berjuang melawan penyakit, melintas dalam pikirannya, menghalangi langkahnya untuk menerima tawaran yang begitu romantis itu.

"Give me a little bit more time, Ian," jawabnya perlahan, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Suara Nina bergetar, seolah mengandung semua rasa sakit dan keraguan yang mengisi hatinya.

Adrian tampak terkejut, tetapi ia segera menanggapi dengan pengertian. "I understand, Nina. Take all the time you need," katanya sambil memeluknya lembut, memberikan rasa aman yang selama ini ia cari. Namun, di dalam pelukan itu, Nina merasakan gelombang perasaan bersalah dan rindu yang mengoyak hatinya.

Setelah malam itu, Nina merasakan panggilan yang kuat untuk menyelesaikan satu hal yang mengganjal di hatinya. Ia tahu bahwa ia harus berbicara dengan Kak Zafran sebelum bisa melangkah lebih jauh dalam hidupnya bersama Adrian. Ia bertekad untuk menemukan keberadaan kakaknya, mencari tahu bagaimana kabarnya saat ini. Melalui asistennya, Nina akhirnya mendapatkan alamat apartemen Zafran, tempat yang penuh kenangan dan makna.

Setiba di depan apartemen, perasaannya campur aduk. Dengan napas yang dalam, ia menekan bel di dekat pintu, tetapi tidak ada jawaban. Sebuah keraguan mulai merayap masuk ke dalam hatinya. Mungkin Zafran sedang tidak ingin diganggu. Namun, saat ia hendak bergegas pergi, tiba-tiba sebuah suara lemah terdengar, "Tolong... tolong..." Suara itu, meski lirih, cukup jelas menembus keheningan.

Hati Nina berdegup kencang, dan tanpa berpikir panjang, ia mencari satpam untuk membantunya membuka pintu apartemen itu. Ketika pintu terbuka, pemandangan yang tersaji di hadapannya membuatnya tertegun. Zafran terjatuh telungkup di lantai, dikelilingi urinnya itu. Apartemen itu tampak berantakan, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan yang tak terlihat antara Zafran dan penyakit yang merenggut kekuatannya.

"Jangan khawatir, Kak. Aku di sini," ucap Nina dengan suara bergetar saat ia berlari menuju kakaknya. Tanpa pikir panjang, ia berusaha membantunya bangkit, mencoba membersihkan kekacauan yang terjadi. Satu per satu, Nina merapikan barang-barang yang berserakan, hatinya dipenuhi rasa sakit melihat kondisi Zafran yang begitu memprihatinkan.

Setelah Zafran duduk dengan tenang, matanya berkaca-kaca saat ia menatap Nina. "Nina, aku divonis terkena ataxia telangiectasia," katanya, suara lembutnya mengandung beban yang berat. "Aku sudah kehilangan kendali pada tangan kanan dan kaki kananku. Sekarang, kaki kiriku sudah mulai kehilangan kendali juga." Setiap kata yang terucap bagaikan duri yang menusuk hatinya.

Kata-kata itu seolah membuat dunia Nina terhenti sejenak. "Kembalilah ke rumah, Kak. Di rumah ada banyak orang yang bisa membantu Kakak," ujarnya dengan penuh harapan, meski ia tahu betapa keras kepala kakaknya.

Namun, Zafran menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, Nina. Aku tidak ingin merepotkan kalian. Aku hanya ingin dimasukkan ke panti rehabilitasi untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus. Di sana, aku bisa mendapatkan perawatan yang aku butuhkan tanpa membebani keluarga." Ada ketegasan dalam suaranya, tetapi Nina dapat merasakan sakit di balik setiap ucapannya.

Air mata mulai mengalir di pipi Nina. "Kak, kita ini keluarga. Tidak ada yang merepotkan. Tolong, izinkan kami membantu." Ia merasa terjebak antara keinginan untuk membantu dan rasa kehilangan yang mendalam.

Zafran menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Nina, ini keputusanku. Aku hanya ingin kalian bahagia dan tidak perlu khawatir tentangku." Ada keikhlasan dalam tatapan Zafran yang membuat Nina merasakan ketidakberdayaan yang menyakitkan.

Setelah beberapa saat terdiam, Nina mulai bercerita tentang kedekatannya dengan Adrian, bagaimana mereka bertemu, bagaimana hubungan mereka berkembang, dan momen saat Adrian melamarnya. Setiap kata yang diucapkannya penuh dengan cinta dan harapan, namun di balik itu, ada rasa bersalah yang terus menghantui.

Zafran menghela napas panjang, seolah mencoba menampung segala emosi yang bergejolak. "Adrian pria yang baik, Nina. Kau pantas untuk bahagia bersamanya," katanya dengan suara pelan namun tulus. Namun, di dalam hati Nina, ia merasakan kegundahan yang semakin dalam.

"Tapi, Kak... bagaimana denganmu?" tanyanya, suaranya bergetar penuh kepedihan. Ia merasa seolah-olah harus memilih antara kebahagiaannya dan kebahagiaan kakaknya.

Zafran menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan rasa tenang yang seakan menenangkan badai dalam hatinya. "Nina, aku tidak bisa membahagiakanmu seperti Adrian. Menikahlah dengannya, dan aku akan tetap jadi kakakmu yang selalu mendukungmu dari jauh." Ada sebuah pengorbanan yang teramat dalam di balik kata-katanya, dan Nina merasakan luka yang tak terlukiskan di dalam hatinya.

"Aku tidak mau kehilanganmu, Kak. Kau selalu membahagiakanku. Keberadaanmu sudah cukup," jawabnya, air mata tak tertahankan jatuh di pipinya. Ia tahu bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang dicintainya berjuang melawan rasa sakit yang tiada henti.

Zafran memandangnya dengan mata yang berbinar. "Kau harus bahagia, Nina. Itulah yang paling penting. Jangan biarkan aku menjadi beban. Aku akan baik-baik saja di tempat yang bisa merawatku dengan baik." Suaranya tenang, tetapi setiap kata yang terucap mengandung rasa sakit yang mendalam.

Dengan hati yang penuh kesedihan, Nina mengangguk sambil menangis, memeluk Kak Zafran dengan erat. Dalam pelukan itu, semua kenangan indah dan momen bahagia kembali terlintas dalam benaknya. Ia teringat bagaimana Zafran selalu melindunginya, bagaimana ia selalu menjadi sandaran saat hidup menguji mereka. Cinta mereka sebagai saudara adalah jalinan yang kuat, tak akan terputus meski badai menerpa.

"Aku mencintaimu, Kak. Aku akan selalu mencintaimu," bisiknya, suaranya penuh kehangatan dan ketulusan. Ia tahu bahwa dalam momen-momen sulit seperti ini, cinta adalah satu-satunya yang akan membuat mereka bertahan.

Setelah momen emosional itu, Nina merasa ada keputusan yang harus diambil. Ia ingin memastikan bahwa Zafran mendapatkan perawatan yang tepat dan tidak merasa sendirian. "Kak, aku akan mencari tahu tentang panti rehabilitasi itu. Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar untukmu," ujarnya dengan tegas, berusaha menunjukkan bahwa ia akan selalu ada untuknya.

Zafran mengangguk, senyuman lemah mengembang di wajahnya. "Aku percaya padamu, Nina. Kau selalu bisa diandalkan." Dalam pandangannya, Nina melihat rasa syukur dan keteguhan yang menguatkan.

Meskipun perasaannya campur aduk, Nina merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Zafran. Ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya, tetapi Zafran akan selalu menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya. Dengan semangat baru, Nina berjanji akan terus mendukung

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang