EL - 18

578 30 3
                                    

Di pagi yang cerah itu, keluarga besar berkumpul di meja makan, menciptakan suasana yang hangat dan intim. Nina duduk di samping Kak Zafran, yang tampak lemah dan letih. Setiap suapan yang diberikan Nina begitu hati-hati, seolah-olah ia sedang menyuapi seorang anak kecil yang rapuh. Kak Zafran, dengan gerakan lambat dan terbatas, menerima makanan dari tangan Nina. Setiap gigitan adalah perjuangan, dan setiap tarikan napas terdengar berat, namun tidak ada keluhan yang keluar dari bibirnya. Ia hanya ingin membuat Nina merasa tenang.

Di tengah kebersamaan itu, Papa memecah keheningan dengan sebuah pengumuman penting. "Papa ada rencana untuk mengadakan acara syukuran pernikahan kalian sekaligus perayaan ulang tahun perusahaan. Ini agar Zafran tidak jadi pusat perhatian, Papa takut kalau Zafran kecapekan," ucap Papa dengan suara tegas namun penuh kasih.

Kak Zafran, yang sudah bersandar lemah di kursinya, berusaha merespons. Dengan suara serak dan napas yang tersengal, ia berkata, "Se...tu-ju, Pa..." Setiap kata yang keluar darinya adalah hasil perjuangan berat, namun ia tetap mengiyakan dengan sepenuh hati. Nina tahu, di balik kondisi tubuh yang semakin melemah, Zafran ingin membahagiakan Papa dan Tante Vira. Rasa hormat dan cinta yang dalam terhadap mereka membuatnya tetap berusaha kuat.

Waktu berlalu dan hari acara pun tiba. Di hari itu, Kak Zafran tampak berbeda. Meskipun tubuhnya semakin lemah, ia mengenakan setelan jas hitam yang membuatnya terlihat gagah. Rambutnya yang hitam lebat disisir rapi, dan senyum kecil menghiasi wajahnya, meskipun jelas tampak letih di baliknya. Nina, yang sejak pagi menyiapkan segala kebutuhan Kak Zafran, selalu berada di sampingnya, memastikan bahwa setiap detik dari pesta itu tidak memberatkan suaminya.

Di bawah kilauan lampu pesta yang mewah, tamu-tamu berdatangan. Namun, tidak semua mata memandang dengan kagum. Bisikan-bisikan yang seharusnya tak terdengar justru menghantam telinga Nina seperti pecahan kaca.

"Nina kan model terkenal, cantik, punya karir sukses. Kok bisa ya dia nikah sama Kak Zafran yang sekarang kayak gitu?" bisik salah seorang tamu dengan nada mencemooh.

"Iya, lihat saja tuh, Zafran sekarang udah juling. Padahal dulu kan tampan," timpal tamu lain, tanpa peduli bahwa kata-kata mereka bisa melukai siapa pun yang mendengarnya.

"Kamu lihat kan, dia bahkan nggak bisa makan sendiri sekarang. Aduh, kasihan banget, berantakan kayak anak kecil." Mereka tertawa kecil, mempermalukan Kak Zafran di hadapan tamu-tamu lain.

Mata Nina berkaca-kaca. Ia tahu dunia ini bisa sangat kejam, dan orang-orang yang tadinya memuji kini berubah menjadi penghakim tanpa hati. Setiap kata yang dilontarkan itu seperti duri yang menghujam langsung ke dalam hatinya. Tak ada yang tahu betapa besar perjuangan yang dilalui Zafran dan betapa ia bertahan di tengah sakit yang terus merongrong tubuhnya. Mereka hanya melihat luarnya, dan dengan mudah menghakimi tanpa pernah tahu kisah sebenarnya.

Nina ingin menghentikan semua bisikan-bisikan itu, namun tangannya terhenti ketika Kak Zafran yang lemah memegang tangannya. "Gak us-ah... Nin... Kakak ga-k...pa-pa," bisiknya dengan napas terputus-putus, darah tiba-tiba mengalir dari hidungnya. Kak Zafran menahan rasa sakit itu sekuat mungkin, menutupinya dengan senyuman yang menyembunyikan penderitaan di baliknya.

Nina segera mengambil tisu dan dengan lembut membersihkan darah yang menetes dari hidung Zafran. Ia juga memberinya seteguk air dengan sendok kecil, berusaha memastikan bahwa Zafran tetap nyaman. Walaupun Nina tahu betapa besar rasa sakit yang ditahan suaminya, Zafran tetap ingin menjaga wajah tenangnya demi orang-orang di sekelilingnya, terutama Nina.

Pesta berlanjut, dengan Papa memberikan pidato yang indah tentang kesuksesan perusahaan dan rasa syukurnya atas pernikahan Nina dan Zafran. Semua mata tertuju pada Papa, tetapi tiba-tiba Zafran terbatuk keras, menghentikan seluruh suasana pesta. Dahak bercampur darah keluar dari mulutnya. Nina yang panik segera mendekat, mengusap punggung suaminya yang menggigil dan tampak kesakitan.

"Kita ke rumah sakit ya, Kak," pinta Nina, suaranya dipenuhi kekhawatiran saat ia menyentuh dahi Kak Zafran yang panas.

Namun Zafran tetap menolak, meski napasnya tersengal-sengal. "Ga-k usah... nan-ti... pa...da pa-nik. Kakak... butuh... istirahat saja," katanya dengan suara yang semakin pelan, hampir tidak terdengar.

Nina akhirnya memutuskan untuk membawa Zafran pulang lebih awal. Ia tidak ingin mengambil risiko lebih jauh. Sesampainya di rumah, Nina dengan penuh kelembutan membawa Zafran ke kamar tidur dan membaringkannya di tempat tidur. Matanya yang redup menyiratkan kelelahan yang mendalam, namun di balik semua itu, ada cinta yang tidak pernah luntur untuk Nina.

"Kak, biar aku panggil dokter ya," kata Nina, suaranya bergetar menahan air mata yang hampir jatuh.

"Tidak... perlu... Nina. Kakak... hanya butuh... istirahat," jawab Zafran dengan suara yang terdengar seperti bisikan. Matanya terpejam, namun Nina bisa merasakan penderitaan yang dirasakan suaminya.

Malam itu, Nina duduk di samping tempat tidur Zafran, menggenggam tangan suaminya yang terasa dingin dan lemah. Air mata mengalir di pipinya, namun ia tetap berusaha kuat. Setiap batuk yang keluar dari mulut Zafran membuat hatinya semakin hancur. Rasa sakit yang ditahan Zafran adalah juga rasa sakit yang dirasakan Nina. Setiap kali Zafran mengerang dalam tidurnya, Nina mengusap dahi suaminya dengan penuh kasih sayang, berusaha memberikan sedikit ketenangan.

Pagi harinya, kondisi Zafran tampak semakin memburuk. Matanya hampir tidak bisa terbuka, dan tubuhnya semakin lemah. Dengan rasa cemas yang tidak tertahankan, Nina akhirnya memanggil dokter. Dokter datang dan setelah memeriksa kondisi Zafran, ia berkata dengan tegas, "Zafran perlu perawatan intensif. Kondisinya sangat kritis dan butuh penanganan medis lebih lanjut."

Mendengar itu, Zafran menatap Nina dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Nina... aku ti-dak ingin... mere-potkan kamu," katanya dengan suara serak, hampir tak terdengar.

Nina menggenggam tangan suaminya erat, seolah tidak ingin melepaskannya. "Kak, jangan pernah berpikir seperti itu. Aku akan selalu ada untuk Kakak," jawabnya lembut, suaranya dipenuhi rasa cinta yang tulus.

Dokter memberinya obat penenang, dan tak lama kemudian, Zafran tertidur dengan wajah yang masih menampakkan penderitaan. Nina duduk di sampingnya, tidak bergerak sedikit pun, mengawasi setiap tarikan napas suaminya yang kini semakin teratur. Di dalam hati, ia hanya bisa berharap agar Tuhan memberinya kekuatan—untuk tetap tegar, untuk tetap bertahan, demi cinta yang mereka bagi di tengah badai yang begitu hebat.

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang