EL - 16

627 32 18
                                    

Kemoterapi yang dijalani Kak Zafran semakin menunjukkan efek samping yang mengerikan. Tubuhnya semakin melemah, rambutnya rontok, dan kesadarannya sering hilang timbul. Setiap hari, Nina menyaksikan perjuangan kakaknya melawan rasa sakit yang tak tertahankan, dan hati Nina terasa hancur saat melihat penderitaan yang harus ditanggung oleh orang yang sangat dicintainya.

Pagi itu, Nina duduk di samping Kak Zafran yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Suara mesin dan alat medis di sekeliling mereka menjadi latar belakang konstan, menciptakan atmosfer suram yang menggelayuti ruangan. Aroma antiseptik dan bau obat-obatan menyatu, menambah kesan dingin pada suasana. Dengan lembut, Nina menyuapi Kak Zafran sarapan pagi sambil mengelus tangannya. Kulit kakaknya semakin dingin dan tipis, seolah segenap kehangatan tubuhnya perlahan menghilang.

"Kak, bagaimana rasanya hari ini?" tanya Nina lembut, berusaha menembus suasana yang penuh kesedihan. Suaranya bergetar, penuh harapan meskipun hati kecilnya tahu bahwa kondisi Kak Zafran semakin memburuk.

Kak Zafran mengangkat matanya yang lelah dan berusaha tersenyum, tetapi senyumnya tampak pudar, tertutup oleh rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. "Nina... semua... sakit... sekali," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah hasil perjuangan yang sangat besar.

Air mata mulai menetes dari pipi Nina. "Kak, aku di sini untuk Kakak. Aku akan terus berjuang bersama Kakak," ucapnya dengan suara bergetar, berusaha menahan tangis di tengah penderitaan yang semakin mendalam. Dia merasakan kepedihan yang teramat sangat, seolah rasa sakit Kak Zafran juga merasuki jiwanya.

Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan efek kemoterapi semakin menyiksa Kak Zafran. Setiap kali dia terbangun dari tidurnya, dia sering merasa mual dan lemah. Nina selalu berada di sampingnya, menggenggam tangannya, menyuapinya makanan, dan berusaha memberikan dukungan. Dengan sabar, Nina membacakan cerita-cerita favorit mereka dari masa lalu, berharap bisa sedikit menghibur kakaknya meski hanya sejenak.

Suatu malam, ketika Kak Zafran terbangun dari tidurnya, Nina duduk di sampingnya dengan penuh kekhawatiran. "Kak, aku sudah memikirkan sesuatu," katanya dengan suara bergetar, jantungnya berdebar-debar. "Aku ingin menikah dengan Kakak."

Kak Zafran menatapnya dengan tatapan kosong, matanya setengah terbuka menunjukkan kekhawatiran mendalam. "Nina... jangan... merepotkan... Kakak." Suaranya lirih, tetapi penuh kejujuran.

Nina menahan air mata yang mengalir deras di pipinya. "Tidak ada yang merepotkan, Kak. Aku ingin selalu berada di samping Kakak, dan menikah dengan Kakak adalah cara terbaik agar aku bisa merawat Kakak tanpa batas." Dalam hatinya, Nina tahu bahwa keputusan ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang komitmen untuk saling mendukung di saat-saat terburuk.

Kak Zafran berusaha menggerakkan bibirnya dengan susah payah. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti perjuangan yang melelahkan. "Nina... nanti......kakak........me-usah......kanmu," ujarnya, dan dalam nada itu, terdeteksi rasa cemas yang mendalam.

Genggaman tangan Nina semakin erat, merasakan ketidakberdayaan dan kesedihan yang mendalam. "Kak, aku tahu ini sulit. Tapi, jika Kakak mau, aku bisa menjadi istri Kakak. Aku akan menjaga Kakak, memberikan segala yang aku punya untuk membuat Kakak merasa lebih baik."

Kak Zafran berusaha mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan sisa tenaga yang ada. "Nina... Kakak..."

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, Kak Zafran setuju dengan berat hati. Mereka memutuskan untuk melangsungkan pernikahan di ruang rawat inap, yang hanya dihadiri saksi-saksi, papa, dan Tante Vira. Ruang rawat inap yang sebelumnya dipenuhi alat medis kini menjadi saksi dari pernikahan mereka yang sederhana namun penuh makna.

Ketika upacara pernikahan dimulai, Kak Zafran berjuang keras untuk mengucapkan ijab kabul. Suaranya terdengar putus-putus, dan setiap kata yang diucapkannya membuatnya terlihat semakin lemah. "Saya... terima... nikah... Nina... sebagai... istri..." Di tengah kesedihan dan keputusasaan, saat itu, satu harapan baru muncul di hati Nina.

Air mata menetes dari pipi Nina, merasakan betapa berartinya momen ini. "Kak Zafran, aku terima dengan sepenuh hati. Aku akan selalu ada di sini untuk Kakak, tidak peduli apapun yang terjadi." Kata-katanya dipenuhi ketulusan dan cinta yang mendalam.

Kak Zafran mencoba tersenyum meskipun tubuhnya sangat lemah. Wajahnya tampak pucat dan mata yang biasanya penuh semangat kini kosong dan lelah. "Nina... terima... kasih... banyak..." Suaranya bergetar, dan dari nada itu, Nina bisa merasakan betapa berharganya momen ini bagi kakaknya.

Suasana di ruang rawat inap sangat emosional. Papa dan Tante Vira tidak bisa menahan air mata, dan Nina merasa seperti baru saja membuat keputusan besar dalam hidupnya. Meskipun pernikahan ini tidak berlangsung seperti yang dia impikan, dia tahu ini adalah langkah yang tepat untuk mendukung Kak Zafran di saat-saat sulitnya.

Hari-hari selanjutnya terasa semakin berat. Kak Zafran semakin lemah, sering kali hanya bisa berbaring dengan kepala tertunduk ke bahunya jika tidak diberi penyangga. Suatu pagi, saat Nina sedang membersihkan Kak Zafran dan memakaikannya diapers serta gaun rumah sakit, dia tampak kebingungan dan kehilangan kesadaran. Tubuhnya yang sebelumnya tampak sangat rapuh kini semakin tidak bertenaga.

Kak Zafran duduk di kursi roda, tampak begitu rapuh, dan tiba-tiba, dia mulai bergetar hebat. Matanya terpejam rapat, dan dengan suara hampir tak terdengar, dia berbisik, "Nina... terlalu... sakit..." Sebuah ketakutan melanda hati Nina, dan dia merasa seolah-olah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya.

"Nina... terlalu... sakit..." bisiknya, suaranya penuh kepedihan, sebelum dia terputus dari dunia sekelilingnya.

Nina berusaha membangunkannya, menggoyangkan bahunya dengan lembut, merasakan getaran tubuhnya yang tidak terkendali. "Kak, Kakak di sini. Cobalah fokus pada suara Nina. Kakak baik-baik saja. Cobalah membuka mata."

Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, Kak Zafran mulai membuka matanya, tetapi tatapannya tampak kosong dan bingung. "Nina... siapa... ini?" tanyanya dengan nada bingung, seolah tidak mengenaliku.

Hatiku terasa hancur mendengar kata-katanya. "Kak, aku Nina. Istrimu. Kakak di rumah sakit. Kakak mengalami kesulitan. Aku di sini untuk Kakak." Suara Nina bergetar, dipenuhi rasa cemas dan harapan.

Beberapa menit kemudian, Kak Zafran mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran kembali. Matanya perlahan-lahan mulai fokus, dan dia tampak mencoba mengingat apa yang terjadi. "Nina... maaf... kalau... Kakak... bingung."

Nina mengusap air mata dari pipinya, mencoba memberikan senyuman yang penuh pengertian dan cinta. "Tidak apa-apa, Kak. Kakak tidak perlu meminta maaf. Aku tahu ini sangat sulit. Aku ada di sini, dan aku akan selalu ada di sini." Kata-kata itu adalah janjinya, sebuah komitmen untuk terus berjuang bersama.

Hari-hari ini terasa semakin melelahkan. Kak Zafran terus berjuang melawan rasa sakit dan kebingungan yang timbul, tetapi Nina tetap berada di sampingnya, memberikan semua dukungan dan kasih sayang yang bisa dia berikan.

Dengan penuh ketulusan, Nina memegang tangan yang kaku, menggenggamnya erat. "Kak, kita akan terus berjuang bersama. Aku tidak akan pernah meninggalkan Kakak." Dalam momen-momen sulit seperti ini, di tengah ketidakpastian dan kesedihan, cinta mereka menjadi cahaya yang menerangi kegelapan.

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang