EL - 11

527 25 1
                                    

Kondisi Zafran semakin memburuk seiring dengan perlakuan yang diterimanya di tempat rehabilitasi. Setiap pagi, saat jam lima tepat tiba, dia dibangunkan dengan cara yang sangat kasar oleh seorang perawat wanita yang dingin dan tak berperasaan. Suara teriakan perawat itu mengiris telinga Zafran, tak memberi ruang untuknya bergerak perlahan. Ia merasakan gerakan kasar yang sering kali membuat tubuhnya yang lemah terjengkang di kursi roda, nyeri yang menyiksa menggelayuti setiap sendi dan ototnya.

"Bangun! Sudah pagi!" teriak perawat itu dengan nada acuh tak acuh, seolah Zafran hanyalah sebuah barang mati yang tidak perlu diperlakukan dengan lembut. Mata Zafran terbuka dengan berat, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menggerakkan tubuhnya yang semakin lemah. Dia merasa seperti ditarik kembali dari jurang mimpi yang indah menuju kenyataan pahit yang menyakitkan.

Wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah, dan napasnya tersengal-sengal. Setiap hari adalah perjuangan baru, dan Zafran merasakan keputusasaan yang menyengat. Perlahan, perawat itu memandikannya dengan cara yang lebih menyiksa daripada menenangkan. Semua pakaian Zafran dilepas tanpa rasa belas kasihan. Dia terpaksa dibaringkan di lantai ubin yang dingin dan keras, suhu dingin ubin itu seakan meresap hingga ke tulang, menyiksa setiap bagian dari tubuhnya yang sudah lemah.

Ketika Zafran menggigil dan berusaha memprotes, perawat itu menyiram tubuhnya dengan air dingin yang sangat menusuk. Air itu seakan menyetrum seluruh sarafnya, dan ia semakin menggigil merasakan kepedihan yang mendalam. "Su-su-suster, dingin!" suaranya bergetar, bibirnya membiru akibat kedinginan.

"Jangan banyak bicara. Ini harus cepat selesai," balas perawat itu dengan nada datar, seolah-olah Zafran hanyalah sebuah objek yang harus dibersihkan tanpa mempedulikan perasaannya. Dia mengabaikan rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakan Zafran, tidak memperhatikan bagaimana wajahnya yang pucat semakin menambah kesedihan dalam hatinya.

Ketika membersihkan area sensitif Zafran, perawat itu tidak menunjukkan belas kasihan. Dia menyiram dengan air dingin dan menggunakan sikat kasar, tanpa memikirkan betapa sakitnya tindakan tersebut bagi kulit Zafran yang sensitif dan berpendar kemerahan akibat kemoterapi. Perlakuan itu membuat Zafran merasakan pedih yang tak terlukiskan, dan ketika dia dipakaikan diapers dengan cara yang sembrono, setiap gerakan itu terasa seperti menyayat hatinya.

"Su-suster, pelan..." Zafran memohon, suara terputus-putus dan penuh dengan rasa sakit.

"Jangan banyak protes. Ini sudah lebih dari cukup," jawab perawat itu, menampakkan wajah yang tidak peduli, seolah Zafran hanyalah sebuah angka dalam daftar pasien yang harus diurusnya. Semua harapan Zafran untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi seakan sirna dalam sekejap.

Setelah pakaian selesai dipakaikan, Zafran dijemur di bawah terik matahari yang menyengat tanpa ampun. Diapers yang dikenakannya sering kali terlalu penuh dan kotor, membuat Zafran merasa semakin tidak nyaman dan terhina. Dia duduk di sana, merasakan kotoran yang seringkali mengotori tubuhnya. Rasa malu dan jijik menyelimuti hatinya. "Su-suster, kotor..." Zafran berusaha memberi tahu, suaranya semakin lemah dan penuh dengan rasa sakit.

"Sudah tahu, nanti juga diganti," jawab perawat dengan nada tak peduli, mengabaikan penderitaan Zafran, seolah-olah perasaannya tidak berarti. Zafran hanya bisa menahan air mata yang ingin mengalir, merasakan hatinya semakin hancur setiap kali dia diperlakukan dengan tidak manusiawi.

Makanan yang diberikan kepada Zafran sering kali tidak layak konsumsi. Dia sering kali tidak diberi makan, atau jika diberi, makanan yang disajikan sudah dingin dan keras. Perut Zafran yang kosong semakin terasa sakit, dan dia mengalami kelaparan yang luar biasa. Setiap kali suara perutnya keroncongan, dia merasa seperti terjebak dalam siksaan yang tiada akhir. "Su-su-suster, lapar..." ujarnya, suaranya semakin lemah dan nyaris tidak terdengar.

"Tunggu giliranmu," balas perawat dengan nada dingin, seolah-olah kelaparan Zafran hanyalah masalah kecil yang tidak perlu diperhatikan. Dalam hati, Zafran berdoa agar ada secercah harapan, tetapi setiap harapan itu semakin samar, seolah tertutup awan gelap yang tak kunjung pudar.

Dengan kondisi yang semakin parah, Zafran mengalami kesulitan berbicara dan bergerak. Napasnya terasa berat dan sesak, setiap kali dia berusaha berbicara, napasnya semakin sulit, terbatuk-batuk dengan darah yang sering keluar dari mulutnya. Batuk yang disertai darah ini menambah rasa sakit dan penderitaan yang sudah dialaminya. Dia merasakan dunia di sekelilingnya mulai kabur, dan semua harapan seakan terenggut darinya.

Suatu hari, ketika Papa datang mengunjunginya, Zafran berusaha tersenyum meski hatinya hancur. Dengan tubuh yang semakin kurus dan lemah di kursi rodanya, kulitnya pucat, dan bibirnya pecah-pecah, dia ingin menunjukkan kepada Papa bahwa dia masih berjuang.

"Bagaimana kabarmu, Zafran?" tanya Papa dengan nada penuh kekhawatiran, tidak menyadari betapa buruknya keadaan Zafran.

"Ba...ba...ik, Pa," jawab Zafran dengan suara yang lemah dan napas yang terputus-putus. "Jangan... khawatir..." Dia berusaha menahan air mata agar tidak jatuh, ingin terlihat kuat di depan Papa.

Papa mengelus kepala Zafran dengan lembut, tetapi tidak menyadari betapa parahnya penderitaan yang dialaminya. Zafran berjuang keras untuk menyembunyikan kesedihannya, berusaha untuk tidak menangis di hadapan Papa, berdoa agar Papa tidak merasakan ketidakberdayaannya.

Setelah Papa pulang, Zafran kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Dia duduk di kursi rodanya, menatap langit yang semakin mendung dengan tatapan kosong dan penuh keputusasaan. Hari demi hari berlalu, dan perlakuan buruk di tempat rehabilitasi terus berlanjut. Rasa isolasi semakin dalam, dan dia merasa terputus dari dunia luar. Kesedihan dan keputusasaan menyelimuti hidupnya, seperti bayangan gelap yang tak kunjung pergi.

Setiap malam, Zafran berdoa agar penderitaannya segera berakhir. Dia berharap ada seseorang yang datang dan membawanya keluar dari neraka ini. Namun, setiap pagi, dia kembali dihadapkan pada kenyataan yang sama: kebrutalan dan ketidakpedulian yang menyiksa.

"Su-su-suster, tolong... berhenti," Zafran mencoba memohon ketika perawat itu kembali memperlakukannya dengan kasar, suaranya dipenuhi rasa sakit dan keputusasaan.

"Tutup mulutmu dan terima saja," balas perawat itu dengan nada dingin, tidak peduli dengan penderitaan Zafran. Dia merasa seolah terkurung dalam tubuhnya sendiri, di mana semua harapan telah lenyap. Zafran hanya bisa menangis, tubuhnya yang semakin kurus menggambarkan betapa dalamnya penderitaannya.

Dalam malam yang gelap, Zafran terbaring di kursi rodanya, merasakan setiap detak jantungnya, setiap tarikan napas yang semakin berat. Dia berharap ada jalan keluar dari siksaan ini, berharap ada secercah cahaya yang bisa menerangi kegelapan yang menyelimuti hidupnya. Namun, saat tatapannya kembali tertuju pada dinding dingin di depannya, harapan itu tampak semakin jauh, seperti bintang yang hilang di tengah langit malam. Zafran tahu bahwa dia harus terus berjuang, meski setiap hari terasa seperti perang yang tidak ada akhirnya.

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang