EL - 14

533 27 1
                                    

Kehidupan di rumah sakit kian terasa berat bagi Nina dan Kak Zafran. Ketika mimisan yang semakin parah disertai rasa sakit yang tak tertahan, dokter akhirnya merekomendasikan agar Kak Zafran menjalani kemoterapi. Keputusan ini diambil sebagai langkah terakhir untuk mencoba memperlambat perkembangan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Nina tahu bahwa ini adalah langkah yang penuh risiko, namun dia bertekad untuk mendampingi Kak Zafran sepanjang proses ini, tidak peduli seberat apa pun tantangannya.

Hari pertama kemoterapi dimulai dengan suasana yang penuh harapan dan kecemasan. Ruangan itu dikelilingi oleh alat-alat medis yang dingin, tetapi di tengah semua itu, Nina duduk di samping ranjang Kak Zafran, memegang tangannya yang kurus dan dingin dengan lembut. Setiap sentuhannya adalah upaya untuk memberikan sedikit kenyamanan di tengah ketidakpastian yang melanda. Infus kemoterapi yang perlahan mengalir ke tubuh Kak Zafran tampak seperti pengingat yang tak terelakkan akan ketidakberdayaannya. Di layar monitor di samping ranjang, detak jantungnya berdetak lambat dan monoton, seakan mengikuti irama penderitaan yang sedang dia alami.

Setiap tetes cairan infus yang memasuki tubuh Kak Zafran seolah menambah beban berat yang sudah dia pikul. Nina mengamati mata Kak Zafran yang memancarkan ketakutan yang mendalam, seolah dia berjuang melawan monster yang tidak terlihat. Setiap kali Kak Zafran berusaha berbicara, suaranya terdengar seperti bisikan angin, lemah dan penuh rasa sakit. Air mata perlahan mengalir di pipi Nina, tak tertahan oleh tekadnya untuk tetap kuat.

"Kak, Nina di sini. Kakak tidak sendiri," ucap Nina dengan lembut, berusaha untuk memberikan dukungan yang semampunya. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruangan yang dingin dan steril.

Kak Zafran hanya bisa tersenyum lemah, usahanya yang tampak begitu berat. "Nina... maaf... merepotkan," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, membuat hati Nina bergetar.

Nina menepuk tangannya dengan lembut, merasakan betapa dinginnya kulitnya. "Jangan bilang begitu, Kak. Kakak tidak merepotkan. Nina ada di sini untuk Kakak, dan Kakak tidak sendirian."

Setiap sesi kemoterapi membawa tantangan baru yang memerintah tubuh Kak Zafran. Muntah dan mual menjadi sahabat setianya, sementara nafsu makannya menghilang begitu saja, seolah menguap bersama harapan. Nina selalu berada di sampingnya, berusaha keras untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ia menyediakan air dan makanan ringan, meskipun kebanyakan dari apa yang ditawarkannya sering kali ditolak oleh tubuh Kak Zafran yang lemah.

Suatu malam, setelah sesi kemoterapi yang sangat berat, Kak Zafran terbangun dengan tubuh yang gemetar dan keringat dingin menetes dari dahinya. Nina segera duduk di sampingnya, mengelus punggungnya dengan lembut, berusaha mengurangi ketegangan di tubuhnya yang tampak sangat menderita. "Kak, Nina ada di sini. Jangan takut," bisiknya, suaranya lembut dan penuh kasih, mencoba menenangkan napas Kak Zafran yang cepat dan terputus-putus.

Kak Zafran menatapnya dengan mata yang penuh kelelahan dan rasa sakit, seolah-olah setiap detik terasa seperti siksaan. "Ni-na... maaf... ja-ngan khawatir," katanya, suara itu penuh kepedihan.

Air mata Nina menetes lagi, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tegar. "Kak, jangan bilang maaf. Kakak tidak perlu merasa bersalah. Nina yang seharusnya berterima kasih karena Kakak mau bertahan. Kita akan melalui ini bersama."

Seiring berjalannya waktu, kesulitan Kak Zafran dalam berbicara semakin terasa. Dia sering kali berjuang untuk mengungkapkan kata-kata, setiap usahanya membuatnya tampak semakin lemah dan putus asa. Nina terus berusaha menjadi pendengar yang sabar, mendengarkan setiap kata yang terucap meskipun dengan kesulitan. Dalam hatinya, dia berdoa agar Kak Zafran bisa menemukan kekuatan untuk terus berjuang.

Di malam yang lain, Kak Zafran terbangun dan mengeluh tentang sakit di seluruh tubuhnya. Nina duduk di sampingnya, menggenggam tangan Kak Zafran yang dingin dan gemetar, merasakan getaran lemah di dalamnya. Suaranya terdengar seperti erangan lembut, penuh dengan rasa sakit yang tak tertahan. "Kak, apa yang bisa Nina bantu?" tanyanya dengan penuh kepedulian, berusaha menyamankan tubuh Kak Zafran yang tampak sangat menderita.

Kak Zafran berusaha tersenyum meskipun wajahnya tampak sangat pucat dan lemah. "Ni-na... aku... gak... pa-pa," jawabnya dengan susah payah.

Nina meneteskan air mata, hatinya hancur melihat Kak Zafran dalam keadaan seperti ini. "Kak, jangan sekali lagi bilang maaf. Kakak tidak pernah merepotkan. Nina ada di sini karena Kakak adalah segalanya bagi Nina."

Malam-malam di rumah sakit terasa panjang dan melelahkan. Setiap hari, Nina terus berada di samping Kak Zafran, memberikan semua dukungan dan kasih sayang yang bisa dia berikan. Melihat Kak Zafran berjuang melewati setiap tantangan adalah bukti betapa kuatnya ikatan di antara mereka, meskipun badai kehidupan terus mengguncang.

Dalam kesibukannya merawat Kak Zafran, Nina hampir melupakan janji makan malamnya dengan Adrian. Ketika dia menyadari bahwa Adrian sudah menunggu lebih dari dua jam, hatinya terasa berat. Dengan penuh penyesalan, dia memutuskan untuk meninggalkan Kak Zafran sejenak dan pergi menemui Adrian.

Saat tiba di restoran, Nina melihat Adrian sudah menunggu dengan ekspresi wajah penuh kekecewaan dan kepedihan. Rasa bersalah menghantui langkahnya saat dia mendekati meja Adrian dan segera meminta maaf. "Adrian, maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud mengabaikan janji kita," katanya, suaranya penuh penyesalan.

Adrian menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca, wajahnya menunjukkan campuran antara rasa sakit dan kemarahan. "Nina, kamu berhasil membuatku merasa seperti orang jahat," katanya dengan nada penuh kesedihan. "Di sana ada orang yang sangat membutuhkanmu, tapi aku malah meminta perhatianmu untukku. Aku merasa sangat egois."

Air mata mulai mengalir di pipi Nina. "Adrian, bukan begitu. Kak Zafran benar-benar membutuhkanku saat ini, dan aku tidak bisa meninggalkannya. Tapi aku sangat menyesal jika membuatmu merasa seperti itu."

Adrian menarik napas dalam-dalam, wajahnya penuh rasa sakit. "Aku mengerti, Nina. Aku tahu kamu melakukan yang terbaik. Tapi, aku merasa tersingkir dan tidak dihargai. Mungkin, itu kesalahan aku sendiri." Dia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

Nina merasa terjepit antara tanggung jawabnya kepada Kak Zafran dan perasaannya terhadap Adrian. Meskipun dia tahu Kak Zafran sangat membutuhkannya, dia juga tidak ingin kehilangan Adrian, yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, dia berdoa agar bisa menemukan jalan tengah di antara keduanya.

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang