EL - 20

647 31 5
                                    

Hari-hari yang berlalu terasa semakin berat bagi Nina. Kondisi Zafran semakin merosot dengan cepat, tubuhnya kini hanyalah bayangan dari kekuatan yang dulu pernah dimiliki. Setiap gerakan kecil, bahkan untuk sekadar menarik napas, terasa seperti beban yang tak terhingga baginya. Setiap kali Nina melihat suaminya, hatinya teriris, mengetahui bahwa tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan penderitaan ini. Meskipun ia sudah memberikan perawatan terbaik, seolah semuanya sia-sia.

Pada suatu pagi yang suram, saat Nina mengganti perban di bokong Zafran-luka dekubitus yang terbentuk akibat terlalu lama berbaring-sebuah panggilan telepon mengalihkan perhatiannya. Tante Siska, bibinya yang baik hati, menelepon untuk membawa kabar bahagia. Anak sulungnya baru saja melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat. Tante Siska mengundang Nina dan Zafran untuk merayakan momen istimewa itu bersama keluarga.

“Kak, mau ikut ke rumah Tante Siska?” tanya Nina lembut, memandangi wajah Zafran yang semakin pucat.

Zafran mencoba mengangguk, namun gerakannya begitu lamban. “I...ya...i...kut,” jawabnya dengan susah payah, suaranya serak seperti suara seseorang yang sudah terlalu lama menahan penderitaan.

Nina tahu, perjalanan ini mungkin terlalu berat bagi Zafran, tetapi ia tak ingin meninggalkannya sendirian di rumah. Mereka pun berangkat.

Saat tiba di rumah Tante Siska, suasana penuh kegembiraan menyambut kelahiran anggota keluarga baru. Namun, bagi Nina, kebahagiaan itu terasa jauh. Bagaimana bisa ia merayakan sesuatu ketika suaminya perlahan-lahan kehilangan kehidupannya? Zafran duduk di kursi roda, kepalanya bersandar lemah, matanya setengah tertutup. Setiap tarikan napas terdengar berat dan menyakitkan, seolah-olah udara yang ia hirup tak pernah cukup.

Di tengah perbincangan itu, Nina bertemu dengan Rangga, anak angkat Tante Siska. Rangga dulu menyukai Nina, dan kini pandangannya yang dingin tertuju pada Zafran. Ada sesuatu yang merendahkan dalam tatapan matanya.

“Ya ampun, Zafran sekarang benar-benar nggak berdaya ya. Gimana bisa melindungi Nina kalau keadaan lo begini?” cemoohnya dengan nada sinis. Nina merasakan amarah membuncah, tapi ia memilih menahan diri. Zafran sudah terlalu banyak menderita, dan ia tak ingin menambah beban emosinya.

Tante Siska menyarankan agar Zafran dibawa ke kamar tamu untuk beristirahat. Nina setuju dan dengan hati-hati membaringkan Zafran di tempat tidur. Melihat suaminya begitu lemah, Nina merapikan selimutnya, memeluknya sebentar, dan meninggalkannya untuk bergabung dengan keluarga di ruang tamu.

Namun, Nina tidak tahu bahwa Rangga mengikuti Zafran ke kamar tamu. Dengan niat buruk, Rangga memasuki kamar dan mendekati Zafran yang tengah tertidur lemah. Ia menendang tempat tidur, membuat Zafran terguncang. “Hei, bangun, Zafran!” teriaknya dengan kasar. Tubuh Zafran yang rapuh terjatuh ke lantai dengan suara yang menyakitkan. Rangga menatapnya dengan tatapan penuh penghinaan.

“Kamu nggak berguna, Zafran. Lihat diri lo sekarang, cacat! Lo kira Nina cinta sama lo? Dia cuma hutang budi sama keluarga lo!” serunya penuh kebencian. Zafran hanya bisa meringkuk di lantai, menahan sakit di seluruh tubuhnya. Nafasnya tersengal, matanya berusaha fokus, tapi pandangannya mulai kabur.

Rangga melanjutkan dengan lebih kejam lagi, “Nina? Lo pikir dia mau punya anak sama lo? Dengan keadaan lo begini? Gw yakin Nina masih perawan! Lo nggak akan bisa ngasih apa-apa ke dia.”

Tawa Rangga terdengar menggema di ruangan, tapi Zafran hanya bisa terdiam. Tubuhnya terlalu lemah untuk melawan, terlalu sakit untuk berkata-kata. Rangga, dengan kebengisan yang tak terbayangkan, mengambil alat setrum yang ia bawa, dan menyetrum tubuh Zafran yang sudah rapuh. Tubuh Zafran langsung bergetar hebat, tak terkendali, dan teriakan tertahan di tenggorokannya. Kotoran dan urin keluar dari tubuh Zafran, popok yang dipakainya bocor, mengotori tubuhnya yang sudah tidak berdaya.

Setelah puas dengan kekejamannya, Rangga meninggalkan Zafran yang tergeletak di lantai, dalam kondisi sangat mengenaskan. Ruangan itu dipenuhi bau busuk, udara yang sesak oleh penderitaan. Zafran terbaring di sana, dengan nafas yang tersenggal-senggal, tubuhnya kejang-kejang, wajahnya penuh kesakitan.

Nina, yang merasa ada yang tidak beres, segera berlari menuju kamar tamu. Saat ia membuka pintu, apa yang dilihatnya membuat hatinya hancur. Di lantai, tergeletak Zafran, tubuhnya terbalut urin dan kotoran, wajahnya penuh penderitaan, dan napasnya sangat berat.

“Kak! Kak Zafran!” Nina berteriak panik, air mata langsung membasahi pipinya. Ia segera mendekati Zafran, membalikkan tubuhnya dengan hati-hati. "Kak... apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?"

Zafran membuka matanya sedikit, napasnya masih tersengal-sengal. “Ni...na,” suaranya lemah, terputus-putus di antara rasa sakit yang menindihnya. “Ma...af... aku... ti-dak bi-sa... ja-ga... kamu. Aku... maaf... membuatmu... seng-sara...”

Nina menggenggam tangannya erat-erat, menangis. "Kak, jangan bicara begitu! Kakak nggak pernah bikin Nina sengsara. Tolong bertahan, ya? Aku akan panggil ambulans, Kak."

Zafran menatapnya, matanya penuh kepedihan. “Sa-akit... Ni-na. Tolong... ja-ngan bi-arkan... aku... sen-di-ri...”

Nina memeluk tubuh Zafran yang lemah, air matanya jatuh tanpa henti. “Kak, Nina nggak akan pernah ninggalin Kakak. Aku di sini. Aku sayang sama Kakak, selalu.”

Ambulans tiba tak lama kemudian, membawa Zafran yang masih dalam kondisi kritis. Sepanjang perjalanan, Zafran terus menggenggam tangan Nina, meski genggamannya semakin lemah. Setiap detik berlalu dengan rasa takut yang menyelimuti hati Nina. Pandangannya terpaku pada suaminya yang terbaring lemah di atas tandu, napasnya semakin pendek, sementara rasa sakit yang dialaminya terlihat jelas dari wajahnya.

Nina terus berdoa dalam hati, memohon agar Zafran diberikan kekuatan untuk bertahan. Tapi, dalam tatapan lemah suaminya, Nina merasakan kepasrahan yang mendalam—sebuah isyarat bahwa Zafran sudah terlalu lelah untuk terus melawan.

Eternal Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang