4. PELINDUNG TERSEMBUNYI

31 6 1
                                    

Kilatan cahaya menjadi makanan sehari-hari bagi orang terpandang di atas rakyat. Senyum palsu terukir indah di hadapan Maya dengan sejuta janji palsu. Jas putih dengan berpuluh lencana tinggi menghiasi tubuhnya yang menjulang tegap, memancarkan aura yang tak biasa. Wajahnya terukir tegas dengan mata setajam elang. Karismanya memancar kuat hingga menembus layar Televisi. Para wartawan mengerubunginya bagai gula berharga dengan pertanyaan yang terkadang melenceng. Siapapun yang bertanya hal tak masuk akal, pria tersebut akan memicingkan matanya.

Benda tumpul berbusa terus disodorkan ke arah mulut membuatnya risih. Pria itu memanggil ajudannya dengan kode untuk segera menghentikan ini semua. Dengan sigap, sang ajudan melingkari tuannya untuk menuntun ke tempat yang aman.

"Terimakasih, Amar..." ucapnya menghela lega setelah situasi tadi. Ia melepaskan setelan jas kebanggaannya asal lalu menghempaskan diri ke atas kursi kerjanya yang sangat terasa nyaman.

"Sudah menjadi tugasku, Pak" balas ajudannya tegas sedikit membungkuk dan berlalu pergi meninggalkan sang Gubernur Jawa Tengah itu yang bernama, Tri Senda Dali. Mari kita panggil ia Dali saja.

Tak pernah sehari pun ia menjadi orang pemalas. Tiap harinya selalu ada agenda padat yang harus ia laksanakan sebagaimana pemimpin pada umumnya. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul. Bukan bermaksud jahat dengan membenci para wartawan yang ingin mengetahui pemimpinya, hanya saja, terkadang bicara itu melelahkan untuk orang yang menguras pikiran setiap detik.

Seperti sekarang, bukanya beristirahat setelah berpidato. Dali harus segera mengurusi berkas penting. Harta, tahta, dan wanita. Tinggal wanita saja yang belum ia dapatkan. Ahh maaf, rasanya ia tak pantas mendapatkan wanita. Dali tak ingin menyiksa belahan jiwanya jika ia terus menerus sibuk. Apa gunanya menjadi pria kaya jika kehadiran pulang ke rumah saja harus dijadwal? Sebenarnya itu hanya alasan saja, karena pada kenyataannya, Dali memang belum jatuh hati pada siapapun.

Malam semakin larut. Matahari sudah pulang tenggelam pada tempatnya, tapi berbeda dengan Dali yang masih terus duduk di kursi kerja dengan tekun. Bahkan ia lupa menghidupkan lampu ruangan jadilah ruangan mewah itu gelap gulita. Hanya tersisa lampu meja saja yang menyala.

Alis tebalnya semakin berkerut membuat matanya menggelap. Tiba-tiba ia merasakan merinding yang tak biasa. Suhu ruangan yang memang sudah dingin karena AC semakin dingin. Ia menghentikan kegiatannya, menatap lengan kanan yang masih memegang pulpen klasik. Detik jam dinding terdengar jelas di telinganya, menembus dada. Hatinya berkecamuk.

Brak!!

Kaca jendela pecah seketika membuat Dali berdiri tegak lalu mendekat. Angin malam menerpa kulit coklatnya lembut. Ruangannya berada di lantai tiga, membuat pecahan kaca jendela terjun kebawah hingga terdengar riuh para manusia. Dali mengernyit heran hingga ia menangkap sesosok manusia berkepala burung dengan sayap membentang hebat tanpa kaki menatapnya serius dari luar jendela. Perhiasan emas yang terpasang di setiap anggota tubuhnya cukup menyilaukan.

"Aruna..." gumamnya pelan hampir tak terdengar.

"Halo?? pak? bapak baik-baik saja?" terdengar suara berasal dari monitor otomatis yang terhubung ke pihak keamanan.

Dali masih termenung, menatap sosok itu serius tanpa menghiraukan panggilan.

"Pak! apa yang terjadi disana? tolong jawab untuk memastikan bapak baik saja" Dali sama sekali tak mendengar panggilan dari Amar. Ia masih menatap mata sosok itu tajam. Hingga, kepala sosok itu mengangguk yakin. Melihat itu, Dali mengangkat alisnya terkejut. Dadanya berdegup kencang tak karuan.

"Mala..." gumamnya pelan tak percaya. Sekali lagi, Aruna mengangguk yakin menatap Dali serius. Melihat konfirmasi gerak tubuh yang Aruna berikan, tebakannya tak mungkin salah. Hatinya kembali berdegup kencang seperti akan lepas.

DiajengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang